Tujuh

Setelah berhasil membujuk pulang Panimba Sagara dan kawan-kawan, Sultan Suriansyah kemudian menyelenggarakan upacara khusus pemancangan tiang guru masjid Kerajaan Banjar. Sesuai dengan rencana, pemancangan 4 tiang guru masjid dimaksud dilakukan  oleh 4 tokoh sakti mandraguna, yakni Aria Malangkan, Patih Balit, Patih Mahit, dan Patih Muhur (masing-masing tokoh  memancangkan 1 tiang guru).

Upacara khusus pemancangan tiang guru dimaksud berlangsung dalam suasana riang gembira. Setiap hari warga kota Muara Banjar, pria wanita, tua muda, ikut bergotong royong membangun masjid kerajaan. Pekerjaan pembangunan masjid itu mulai dilakukan sejak pagi buta dan baru berakhir hingga senja tiba.

“Terima kasih, aku bangga dengan hasil kerja kalian semuanya. Sekarang, mengingat hari sudah hampir senja maka kalian kuizinkan untuk pulang kembali ke rumah masing-masing. Beristirahatlah dengan baik agar besok hari kita bisa bergotong royong kembali,” ujar Sultan Suriansyah.

Demikianlah yang berlangsung dari hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan. Pembangunan masjid kerajaan itu dilakukan secara bergotong royong oleh segenap warga negara Kerajaan Banjar yang tinggal di seantero kota Muara Banjar.

Hingga pada suatu pagi mereka dikejutkan oleh pemandangan yang menimbulkan amarah yang amat sangat, lokasi pembangunan masjid kerajaan itu porak poranda. Tanah tempat di mana masjid kerajaan akan didirikan sudah tidak karuan lagi bentuknya. Berlumpur dan sebagian besar telah digenangi air kembali. Empat tiang guru yang sudah berhasil dipancangkan juga tercabut dari lubang pancangnya dan bergelimpangan di lokasi pembangunan masjid dimaksud.

“Paman Patih, siapa yang bertanggung-jawab atas keamanan lokasi pembangunan masjid ini?” tanya Sultan Suriansyah kepada Khatib Dayan.

“Ampun, Paduka Sultan. Orang yang bertanggung-jawab atas keamanan lokasi pembangunan masjid adalah Aria Malangkan.

“Ampun, Paduka Sultan. Hamba Aria Malangkan.”

“Selediki,  siapa yang melakukan semua ini?!”

“Baik, Paduka Sultan.”

“Sementara Aria Malangkan menyelidiki siapa pelaku pengrusakannya, maka pembangunan masjid ini kita hentikan dulu.”

Menurut ceritanya, mulai malam itu Aria Malangkan dan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar lokasi pembangunan masjid. Tapi, sampai sejauh ini mereka belum berhasil membekuk biang kerok pengrusakan lokasi pembangunan masjid yang mereka cari. Hingga akhirnya Aria Malangkan memutuskan meminta bantuan kepada
Ning Kurungan buaya siluman yang tinggal di kedalaman Sungai Kuin.

“Aria Malangkan, ada keperluan apa hingga malam-malam begini kau memanggilku naik ke darat?” tanya Ning Kurungan.

“Selamat datang dan terima kasih atas kesediaanmu memenuhi panggilanku.”

“Hehehe ...” Ning Kurungan terkekeh.

Ning Kurungan adalah seekor buaya siluman yang sejak lama sudah menjalin persahabatan dengan Aria Malangkan. Biasanya, jika naik ke darat ia akan berubah wujud dulu menjadi manusia. Kali ini ia muncul ke permukaan Sungai Kuin dalam bentuk aslinya sebagai buaya. Buaya ini bertubuh besar dan warna kulitnya yang kuning keemasan tampak bercahaya terkena sinar bulan. Meskipun masih tetap dalam wujud buaya, Ning Kurungan ternyata bisa berbicara dalam bahasa manusia.

“Ning Kurungan. Aku sekarang ini sedang mengemban titah Paduka Sultan. Lihatlah, lokasi pembangunan masjid ini porak poranda karena ulah makhluk misterius. Aku ditugaskan untuk menyelidiki siapa gerangan makhluk misterius yang melakukan pengrusakan ini. Aku sendiri sudah bekerja keras selama sebulan penuh, tapi hasilnya nihil.”

“Lalu, kenapa kau memanggilku?”

“Aku menduga pelaku pengrusakannya adalah makhluk air seperti dirimu.”

“Oh, begitukah?. Ketika mau naik ke darat tadi aku sempat berpapasan dengan seekor buaya hitam. Tapi, aku tidak sempat berbuat apa-apa karena buaya hitam itu langsung menjauh begitu melihatku  datang.”

“Wah, kalau begitu cepatlah kau kembali masuk ke air kejar buaya hitam itu nanti keburu melarikan diri ke lain perairan.”

Blap .... buaya kuning itu langsung menyelam. Tapi tak lama kemudian ia muncul lagi menemui Aria Malangkan.

“Ada apa, kok muncul lagi?”

“Buaya hitam itu adalah pelaku pengrusakan yang kau cari. Ia sudah mengakuinya. Katanya hal itu dilakukannya atas suruhan Pangeran Temenggung”

“Kurang ajar. Lalu, apa tindakanmu?”

“Kami berkelahi. Tapi aku kalah sakti.”

“Hah. Kau kalah, Ning Kurungan?”

“Tapi, jangan khawatir aku sudah memanggil kawan-kawanku untuk mengeroyoknya sampai mati.”

“Kalau begitu, cepatlah. Tunggu apa lagi? Keroyok saja!”

Blap ... buaya kuning itu kembali menyelam.

Malam itu Aria Malangkan menunggu dengan harap-harap cemas. Ia khawatir Ning Kurungan dan kawan-kawan gagal mengeroyok buaya hitam.

Tiba-tiba....

“Aria Malangkan ...”

“Kaukah itu, Ning Kurungan!”

“Ya. Ini aku.”

“Apa yang terjadi?”

“Kami sudah berhasil membunuhnya. Besok bangkainya akan timbul di hilir Sungai Kuin.

“Syukurlah, kalau begitu. Terima kasih atas bantuanmu.”

“Aku tak bisa lama-lama menemuimu. Aku harus segera kembali untuk mengobati luka-lukaku.”

“Sekali lagi terima kasih dan titip salam buat kawan-kawanmu di bawah sana.”

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, warga kota Muara Banjar yang tinggal di hilir Sungai Kuin langsung gempar begitu melihat ada bangkai buaya hanyut ke muara sungai. Buaya hitam itu ternyata besar sekali.

Setelah semua rintangan dan halangan berhasil diatasi, maka pembangunan masjid kerajaan dilanjutkan kembali. Sebagai tanda syukur kehadirat Allah swt, maka di lokasi pembangunan masjid diselenggarakan acara selamatan secara besar-besaran.

Khatib Dayan yang ditunjuk sebagai pembaca doa selamat berkali-kali mengucapkan untaian doa di bawah ini :

“Ya Allah. Tegakkanlah masjid kami.”

“Amin”

Tamat.
Akhirul kalam.


Klik Daftar Isi ataBiografi Tajuddin Noor Ganie


0 comments: