Tarian Badai Sang Wartawan


Komalawati Sutawijaya

            Aku mengeluh pendek. Merasa kesal. Tak enak dengan kalimatnya. Tak kubalas. Kubiarkan. Setengah dilempar, ponsel tak berdosa itu hingga tergeletak tak berdaya. Untung tak hancur, sebab mengenai kasur busa maha empuk.
            Aku juga tahu, yang akan membayar itu mereka, bukannya dia. Tapi dia itu Sang Ketua para kepala sekolah SD di kecamatan, yang menampung hasil musyawarah dan akhirnya memutuskan. Sudah lebih tiga bulan masih juga belum disosialisasikan. Mengapa media yang lain, yang berbahasa Indonesia, mudah sekali masuk? Cepat. Datang satu kali, langsung diberi jawaban yang memuaskan. Tapi media yang kutawarkan,  susah? Apa karena berbahasa daerah? Sehingga orang-orang tak berminat.
Harus diakui, pada saat ini, bahasa daerah sangat memprihatinkan. Banyak orang, mulai dari kalangan anak-anak, remaja hingga orang tua juga, jarang menggunakan bahasa daerah, malah tak jarang sama sekali tak menggunakannya. Bahkan, ada anggapan, menggunakan bahasa daerah sendiri, membuatnya malu, merasa tak dihargai, juga kurang bergengsi. Akhirnya, mereka memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-harinya. Ini tidak saja terjadi di kota-kota besar, melainkan juga di daerah-daerah terpencil. Ironis.
            Ponselku berbunyi. Nada panggilan yang sangat kukenal.
            “Ada apa, Kang?”
            “Kedengarannya, lagi suntuk ya, Neng cantik?”
            “Kamu tau kan  apa yang bikin aku kesel,” kataku berusaha menekan suaraku. Sementara dalam dada, bergemuruh seperti ombak.
            “Ama kepala sekolah perempuan itu?”
            “Hmm…”
            Terdengar Yuda tertawa. Kontan muka kutekuk seperti pakaian yang tak pernah disetrika selama belasan tahun. Dongkol hatiku, dia malah tertawa seenaknya.
            “Kenapa lagi Ibu… Ibu siapa namanya?”
            “Tak perlu tahu!” sahutku pendek, masih kesal. Kulirik jam kikuk di samping laptop di atas meja kecil. Jarum jam pendek menunjuk ke angka sembilan. “Kalo pun aku kasih tau namanya, kamu ngga bakalan kenal! Kamu kan bukan orang Cihandeuleum!”
            Yuda berhenti tertawa. “Itulah perjuangan seorang sales!”
            “Aku bukan sales!” darahku tiba-tiba naik. “Aku wartawan!”
            “Kalo yang suka…”
            “Udah… kamu ngga usah telepon aku kalo cuma mau bikin aku tambah bete!” kataku sewot. Entah kenapa, darahku cepat sekali naik setiap emosiku terpancing. Hm, mungkin warisan dari almarhum papa.
            “Oke … sabar, ya! Selamat menunaikan tugas sebagai seorang wartawati…” kata Yuda lembut. Aku diam. “Malam Minggu yang akan datang, aku mau ngenalin kamu ama kedua orang tuaku. Mau… kan?”
            Aku masih diam. Kumatikan ponsel sebelum membalas ucapan “bye” nya.
***
            Lima bulan ke belakang, aku wisuda dan memperoleh gelar sarjana ekonomi. Setelah itu, aku kembali ke kampung halaman sambil menunggu pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmuku, manajemen pemasaran,. Daripada melamun dan jadi pengangguran, kuterima tawaran teman SMU yang bekerja di sebuah redaksi majalah Sunda. Wartawan. Tawaran itu segera kuterkam.
Sebenarnya itu cita-citaku dulu. Selain itu, aku mempunyai keinginan untuk menularkan minat baca di daerahku, juga mencari anak-anak dan remaja yang berpotensi dalam hal kepenulisan. Karena melihat situasi bahasa daerah yang sangat memprihatinkan, aku merasa peduli. Sayang, saat ini profesi wartawan lokal mendapat sorotan negatif. Tak dipungkiri, sejak ada dana BOS, sekolah menjadi sasaran para wartawan lokal. Dan berita miring pun sering kudengar. Tentang wartawan yang berbondong-bondong, menginterogasi sekolah seperti pada maling, tak jarang mengintimidasi setelah itu, dan ujungnya, minta uang. Tapi aku tak mau disamakan. Karena, niatku bukan untuk memaksa menjual media, tapi demi bahasa daerah.
            Masalah aku mendapat ketidaknyamanan hati, hanya karena bertemu dengan kepala sekolah perempuan yang angkuh itu. Hm, siapa yang suka dengan pemimpin yang bermuka masam, perkataan pedas juga sikap yang tak ramah pada orang yang mempunyai tujuan baik. Aku tak habis pikir, apakah dia pernah merasakan bangku sekolah? Belajar Pendidikan Pancasila dan Moral juga bahasa Indonesia? Aku nilai, selain bahasa daerahnya buruk sekali, bahas Indonesia pun jauh lebih buruk.
Sebagai wartawan dari media Sunda, aku selalu mengajaknya berbicara dengan bahasa Sunda lengkap dengan tata bahasa yang benar. Tapi, mereka selalu menjawab atau mendahuluinya dengan bahasa Indonesia. Yah, bahasa Indonesia bahasa nasional yang wajib semua warga menguasainya. Namun, kita pun tak boleh lupa dengan bahasa  daerah kita dilahirkan, atau dari mana kita berasal.
            “Teh Dania!”
            Aku mengeluh pendek, lalu beranjak dari kursi. Menuju ke depan, membuka pintu.
            “Katanya mau diantar ke SDSN Pasirparia?” tanya keponakanku yang baru keluar dari Madrasah Aliyah.
            “Oke…” aku segera memasukkan nota, pulpen, kartu pers dan kamera digital ke dalam tas coklat yang bergelayut di bahu kiriku. Mengambil helem di atas bupet, lalu meraih jaket yang tergantung di kapstok. Sedang malas membawa motor sendiri. Pikiran lagi semrawut. Takut tiba-tiba menabrak kerbau. Makanya, memilih diantar keponakan laki-lakiku.
            “Bu… mau ketemu siapa?” seorang guru yang memakai pakaian Pemda mengamatiku, mulai dari atas rambut hingga bawah kaki. Tatapnya mengandung curiga. Mungkin dikiranya aku peminta sumbangan.
            “Mau ketemu Bapak kepala sekolah. Ada?” jawabku tegas.
            “Ibu… dari mana?” guru yang sepertinya masih tenaga pengajar honorer ini balik bertanya. Apa aku disangka anak buahnya Nordin M. Top yang sudah tewas itu, yang akan menyimpan bom waktu di sekitar sini. Aku menelan ludah.
            “Aku dari Dayang Sumbi,” jelasku tetap tegas, tak merasa takut karena tak punya niat jelek datang ke sini. Kucoba mengeluarkan kalimat dengan bahasa Sunda, tapi orang ini sepertinya tak mengerti. Mengapa? Tak mengerti atau pura-pura tak mengerti? Hatiku tergelitik. Aneh, di daerah yang lebih mirip kampung, jauh dari keramaian, orang-orang merasa gengsi berbicara bahasa Sunda.
            “Ooooh… majalah Sunda Dayang Sumbi?’ dia mendadak ramah. Aku geleng-geleng kepala.
            Aku mengangguk.
            “Ibu… wartawati?
            Aku tak mengangguk, hanya menarik sedikit ujung bibirku.
            “Bapak kepala sekolah sedang kedatangan tamu dari kantor UPTD. Tapi ngga akan lama. Tunggu aja, Bu!” katanya dengan ramah yang kurasa dibuat-buat, lalu menunjukkan bangku kosong tak jauh dari tempatku berdiri. “Mangga…
            Aku tersenyum kecut. Baru kata ‘mangga’ yang keluar dari mulutnya. Ah, mudah-mudahan saja dia akan terbiasa lagi dengan bahasa asalnya, doaku dalam hati penuh harap.
***
            Angin senja hari meniup lembut wajahku. Rambutku yang tergerai, melambai-lambai. Senja yang menawan. Aku duduk di samping Yuda, di bangku yang ada di taman kecil belakang rumahku.
            “Kang Yuda serius. Bukankah kamu mau ketemu dengan kedua orang tuaku?”
            “Mau sekali, Kang.”
            “Tak menyesal walau orang tuaku keadaannya…”
            “Keadaannya gimana, Kang?” aku memotong pembicaraan Yuda yang belum tuntas.
            “Ayahku hanya seorang pedagang es cendol. Begitu juga dengan ibuku… hanya penjual gorengan yang berkeliling kampung setiap harinya…”
            Aku tersenyum penuh arti. Jiwaku terasa damai. Lelaki seperti Yuda yang kuinginkan. Walau bukan berasal dari golongan kaum berada, tapi hatinya begitu mulia. Dia tak pernah malu dengan kemiskinan yang selama ini mendekap erat  keluarganya. Walau akhirnya mampu juga dia menyelesaikan kuliahnya.
            “Ngga ada yang kusesali, Kang…”
            Yuda akhirnya menguntai senyum. Bijak. Lalu menutup bibirnya. Tak bicara lagi. Semilir angin senja melenakan kami yang menikmati keheningan untuk beberapa saat. Hanya suara angin yang terdengar, saling bergesekan.
            “Di mana aku bisa ketemu dengan orang tuamu?”
            “Di lembur, Akang.”
            “Katanya Akang ngga punya lembur!”
            “Lembur-ku ada di kabupaten yang sama denganmu.”
            “Di mana?” desakku penasaran.
            “Ah, ntar juga kamu bakal tau. Biar kejutan.”
            Hari Sabtu pagi, pak Permana, kepala sekolah SDSN Pssirparia meneleponku. Ramah sekali. Aku sangat menyukainya. Selain tampan, dia baik. Berbeda sekali dengan istrinya, bu Defi, yang sudah membuatku tersinggung dan sakit hati. Bukan karena tak menerima media dengan alasan yang kurang masuk akal, tapi kalimatnya yang pedas.
            Tak sampai sepuluh menit, aku sudah berada di tempat yang dijanjikan oleh pak Permana. Rumah Makan Kapau, tepatnya di Jalan Durian, di pusat kecamatan.
            “Makan? Mau kikil, tongkol, bayah atau…”
            Aku cepat menggelengkan kepala. “Makasih. Sebelum kemari, aku makan dulu.”
            Aku tak dapat menolak ketika dia menyerahkan segelas susu soda. Sesekali, aku mengajaknya berbicara bahasa Sunda, tapi dia tampak gugup. Menjawab, kasar dan salah pengucapan. Aku membetulkannya dengan sabar. Dia tampak suka sekali cara aku berbicara.
            “Kamu ko pandai sekali bicara bahasa Sunda!” kata pak Permana setelah selesai makan. Disulutnya sebatang rokok. Hatiku geli. Bagaimana aku tak bisa bahasa itu, aku kan dilahirkan di sini, di Tatar Pasundan, terlahir dari wanita Sunda yang dinikahi pria Sunda. Selain itu, aku pun dibesarkan di sini. Walau sempat tinggal selama lima tahun di kota sebesar Bandung, aku pun tak boleh melalaikan bahasa itu. Dan sekarang, di kampungku, dengan menyandang gelar ‘wartawati’ aku harus berhasil menularkan minat baca dan tulis dalam dua bahasa, Sunda dan juga Indonesia, walau kuakui, menularkan bahasa Sunda jauh lebih sulit dan menantang.
            “Mulai bulan depan, semua SD yang tercakup di kecamatanku, akan bermitra dengan mediamu. Semoga Neng wartawati pun sudi membantu kami yang gagap berbahasa sunda,” pak Permana menguntai senyum.
            Aku menatapnya penuh haru. Istrinya yang mempunyai wewenang di kecamatan lain, justru menolak media Sunda juga niatku dengan alasan yang menyakitkan dan tak bersahabat. Sebaliknya, suaminya, malah membuatku senang.
            Beberapa saat kami bicara tentang banyak hal.
            “Begini, Neng…”pak Permana meneruskan kalimatnya, tetap menatapku. “Kebetulan malam ini Bapak mau bermalam di Hotel Lembang. Ada kerjaan dikit dan pingin refreshing aja. Mendinginkan pikiran dari kepenatan. Cuma semalam. Maksud bapak…”
            “Maksud Bapak apa?”
            “Mau…”
            “Mau apa?” desakku. Hatiku mendadak gelisah.
            “Mm.. mengajak Neng bermalam bersama di sana.”
            Aku tersentak. Jantungku hampir lepas. Pak Permana tersenyum, tak manis, malah menyeringai yang tampak dalam penglihatanku. Seperti serigala yang kelaparan. Aku bergidik ngeri.
            Segera berdiri, mengambil tasku. Tanpa menungu hitungan detik, kubalikkan tubuhku. Lelaki pendosa!
            Sampai di rumah, kujatuhkan tubuh. Air mataku tumpah. Aku gadis yang punya harga diri. Demi menjadi wartawati, menjual media, mempunyai tujuan baik untuk bahasa, harus menjual harga diri? Kugelengkan kepala kuat-kuat.
***
            Mataku melirik. Yuda ada di belakang. Senyum. Senyum yang membuatku tak bisa tidur semalaman. Senyum yang menentramkan jiwa, mengalirkan rasa indah.
            “Ayah ibuku menunggumu. Di rumah.” Yuda menunjuk ke rumah yang paling besar dan mewah yang ada di kampung ini. Halilintar terasa menyambar.
            “Jadiiii… ayah ibumu?” aku melotot.
            “Pak Permana dan Ibu Defi,” jawab Yuda santai.
            Gigiku beradu. Gemeletuk. Amarah tak tertampung. Ingin segera kumuntahkan.
            “Bukan tukang es cendol dan penjual gorengan?” aku menatapnya sinis. Kebencian memuncak sampai ubun-ubun.
            “Bukan,” sahut Yuda pendek, lalu tersenyum. Senyum yang membuat perutku mual.

            Motor Vario baru warna putih kubawa lari, meninggalkan Yuda yang mematung. Tak sudi tujuh turunan!


Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.


0 comments: