INTAN PURUKCAHU

           

SATU
Malam sudah semakin larut. Embun yang turun dari langit menambah dinginnya hawa di lokasi pendulangan intan Purukcahu.

Tapi, Pak Bahar (41 tahun) belum tidur juga, dia masih duduk melamun di depan gubuknya.
Sementara itu isterinya (Bu Laila, 37 tahun), putrinya (Ijah, 6 tahun), dan putranya (Udin, 3 tahun) sudah sejak sore tadi tertidur lelap di tempat tidurnya masing-masing.

Lelaki setengah baya itu tengah merenungi nasib buruknya sekeluarga di kampung orang.
Sebagai pendulang intan profesional Pak Bahar telah gagal memenuhi ambisinya untuk memperbaiki nasib keluarganya.

Betapa tidak?

Sudah enam bulan ini ia sekeluarga terpuruk di sini. Ia ikut mengadu nasib menjadi pendulang intan di Purukcahu.

Tapi hasilnya nihil. Jangankan memperoleh intan sekarat dua karat, intan sekecil biji sawi dibelah tujuh saja tak pernah ia temukan di sini.

Nasib.

Nasib.

Nasib.

Pak Bahar menjadi semakin penasaran dengan nasib buruknya itu, karena para pendulang intan lainnya justru hampir setiap hari memperoleh intan secara silih silih berganti.

Ada yang menemukan intan sebesar 1 karat, bahkan ada yang langsung kaya mendadak karena memperoleh intan sebesar 10 karat.

Kontradiksi antara nasib buruknya dan nasib baik orang lain membuat Pak Bahar teringat kembali pada nasihat mertuanya dulu.

Ketika itu mertuanya melarang ia ikut-ikutan pergi mendulang intan ke Purukcahu, karena menurut hasil penerawangan mertuanya, intan yang ada di Purukcahu hanya untuk para pendulang intan Purukcahu saja.

Memang, sebagai seorang pendulang intan yang profesional, tidak biasanya Pak Bahar mengalami  nasib buruk secara berkepanjangan seperti sekarang ini.

Biasanya, Pak Bahar selalu berhasil menemukan setidak-tidaknya sebutir intan dalam setiap lubang pendulangan yang digalinya. Intan yang diperolehnya selama ini paling kecil sebesar setengah karat.

Bahkan, ketika mendulang intan di Sarang Tiung beberapa tahun yang lalu ia berhasil menemukan intan sebesar 5 karat.

Hasil penjualan intan yang lumayan besar itu dibelikannya sebuah rumah yang cukup besar di kampung Cempaka.

Ia datang ke Purukcahu karena tergiur dengan berita-berita besar tentang keberhasilan para pendulang intan setempat memperoleh sejumlah intan berukuran besar, di atas 10 karat.
Saking tergiurnya maka Pak Bahar kemudian nekad menjual rumahnya, dan mengajak anak istrinya pergi mengadu nasib mendulang intan ke Purukcahu.

“Siapa tahu di sana nanti kita memperoleh intan yang cukup besar,” ujarnya mengiming-imingi anak istrinya ketika itu.

Purukcahu, terletak jauh di pedalaman  Kalimantan Tengah, untuk sampai ke sini Pak Bahar sekeluarga harus naik mobil angkutan umum dari kota Banjarbaru ke kota Muara Teweh.
Lamanya perjalanan sekitar satu hari penuh.

Selanjutnya naik kelotok (bahasa Banjar artinya perahu bermesin dengan bunyi tok, tok, tok) selama 2 hari 2 malam menuju ke lokasi pendulangan intan Purukcahu yang ditujunya.
Sungguh, suatu perjalanan yang sangat melelahkan secara fisik dan psikis.

Enam bulan sudah Pak Bahar sekeluarga berada di pendulangan intan Purukcahu.
Tapi hasilnya nihil.

Uang bekal yang dibawanya dari kampung Cempaka telah habis terpakai untuk biaya transportasi dan biaya hidup sehari-hari selama berada di Purukcahu.

Bahkan, untuk menghemat pengeluaran maka sejak dua bulan yang lalu Pak Bahar sekeluarga terpaksa melakukan pengetatan anggaran.

Mereka tidak lagi makan nasi tiga kali sehari, tetapi cuma satu kali sehari, selebihnya cuma memakan ubi kayu rebus saja.

Semakin hari situasinya semakin buruk saja, pada minggu-minggu terakhir ini keluarga Pak Bahar tidak lagi makan nasi.

Sepanjang hari mereka sekeluarga cuma makan ubi kayu rebus saja, bahkan mereka sering tidak makan.

Akibatnya, Ijah dan Udin menjadi kurus kering, tinggal kulit pembalut tulang, dan perut keduanya menjadi buncit karena kurang gizi.

Begitu pula halnya dengan Pak Bahar dan istrinya.

Wajah keduanya tampak lebih tua dari usia yang sebenarnya. Pucat pasi dan kuyu tak bersemangat.

“Akh, pusing kepalaku memikirkan semuanya itu. Sebaiknya aku tidur saja. Tidak ada gunanya aku duduk melamun berlama-lama di sini. Cuma menambah stress saja,” ujar Pak Bahar setelah lelah melamun di depan gubuknya.


DUA

Matahari sudah naik begitu tinggi.

Tapi Pak Bahar belum juga pergi bekerja ke lubang pendulangan intan miliknya.
Ia cuma duduk-duduk mencangkung sambil melamun di depan gubuknya.

Hari itu ia sengaja tidak pergi mendulang intan dengan dalih sudah terlalu siang untuk bekerja.
Hari itu ia memang bangun kesiangan akibat kelelahan karena tadi malam terlalu lama duduk melamun  merenungkan nasib buruk yang berkepanjangan.

Tadi malam Pak Bahar baru tidur sekitar pukul 03.00 dini hari.

Kelakuan Pak Bahar yang demikian itu tak luput dari perhatian istrinya.

Bu Laila sengaja tak mengusik suaminya yang yang terlambat bangun tidur hari ini.
Ia juga prihatin dengan beban hidup yang harus ditanggung Pak Bahar.

“Pak!,” ujar istrinya membuka percakapan.

“Ya, ada apa, Bu? Tanya Pak Bahar agak gelagapan karena dipanggil secara tiba-tiba seperti itu.

“Aku sudah tidak tahan lagi tinggal di sini, Pak.”

“Tidak tahan. Memangnya kenapa, Bu?”

“Lama-lama di sini kita sekeluarga bisa mati kelaparan, pak.”

“Habis, mau ke mana lagi kita, Bu?”

“Bagaimana kalau kita pulang saja, pak?”

“Pulang. Pulang ke mana, Bu?”

“Ya, pulang ke kampung Cempaka, Pak. Mau ke mana lagi kalau bukan ke sana?”

“Bukankah kita sudah tidak punya rumah lagi di sana, Bu?”

“Kita bisa menumpang di rumah ayah, Pak.”

“Aku malu pulang ke sana, Bu.”

“Mengapa harus malu, Pak?”

“Aku malu pada ayah, karena aku dulu mengabaikan nasihat beliau yang melarang kita pergi ke
sini, Bu?”

“Aku kira lebih baik menanggung malu seperti itu, pak. Dari pada harus mati kelaparan di sini.”

“Bagiku justru sebaliknya, Bu. Lebih baik mati kelaparan di kampung orang daripada harus menanggung malu di kampung sendiri.”

“Huh, dasar egois. Keras kepala. Keras hati. Lebih mementingkan diri sendiri!” ujar Bu Laila mengumpat-ngumpat karena begitu jengkelnya kepada pak Bahar suaminya.

“Terserah, apa katamu, Bu!”

“Coba pikir, Pak. Apakah Bapak tidak kasihan melihat Ijah dan Udin. Keduanya ikut menderita karena ulah bapak. Tubuh keduanya kurus kering karena kekurangan makan di sini. 

“Lalu, apa yang bisa kita lakukan di kampung Cempaka?"

“Bapak bisa bekerja apa saja di sana.”

“Lalu, di mana kita tinggal, Bu?”

“Untuk sementara waktu kita menumpang di rumah ayah dan ibuku, Pak.”

 “Nah, itulah yang aku tidak mau, Bu.”

“Soal tempat tinggal di sana bisa kita kompromikan, Pak. Aku akan nunut pada keputusan, Bapak.”

“Begini saja, Bu. Bila ibu memang bersikeras ingin pulang kembali ke kampung Cempaka, pulanglah. Aku tidak keberatan. Bawalah Ijah dan Udin. Aku sendiri ingin tetap tinggal di sini.

Apa pun yang terjadi."

“Apa yang akan Bapak perbuat di sini?”

“Entahlah, mungkin bunuh diri,” jawab Pak Bahar sekenanya.

“Dasar lelaki keras kepala. Tidak bertanggung jawab!" Umpat Bu Laila sambil terisak karena jengkelnya.

”Terserah apa kata ibu saja. Pokoknya aku ingin tetap tinggal di sini. Di pendulangan intan ini!” ujar Pak Bahar tak kalah sengitnya.

Setelah itu Pak Bahar pergi meninggalkan  gubuknya. Bu Laila menangis sejadi-jadinya. Perasaan sedih, jengkel, kesal, dan putus asa berkecamuk jadi satu di dalam hatinya.
Untunglah, Ijah dan Udin tidak berada di sekitar tempat kejadian perkara, sehingga keduanya tidak mengetahui ayah dan ibunya bertengkar sengit hari itu.

Ternyata Pak Bahar tidak pergi jauh. Ia pergi ke gubuk Pak Dulah. Di sana ia menawarkan semua perkakas yang menjadi alat kerjanya sebagai pendulang intan, yakni linggis, linggangan, parang, dan ayakan.

“Mengapa dijual, Pak Bahar. Bukankah semuanya ini merupakan alat kerja yang penting bagi Pak Bahar sendiri. Pak Bahar mau berhenti sebagai pendulang intan?,” tanya Pak Dulah.

“Aku terpaksa menjualnya, Pak. Istriku perlu uang untuk ongkos pulang ke Cempaka.”

“Berapa harganya semua ini, Pak?”

“Seratus ribu rupiah.”

“Bagaimana kalau lima puluh ribu rupiah saja, Pak?”

“Maaf, Pak. Jika kurang dari seratus ribu rupiah istriku tak bisa pulang ke Cempaka.”

“Aku kebetulan punya uang sembilan puluh ribu rupiah saja, Pak. Bagaimana  kalau aku beli semuanya ini dengan harga sembilan puluh ribu rupiah?”

Setelah berpikir sejenak Pak Bahar lalu mengiyakan.

“Ya, saya setuju, Pak.”

Setelah menerima uang dari Pak Dulah, Pak Bahar segera bergegas kembali ke gubuknya.

“Bu, ini ada uang sembilan puluh ribu rupiah. Pakailah untuk ongkos pulang ke Cempaka.”

“Bapak sendiri bagaimana?”

“Aku tetap tinggal di sini.”

“Bagaimana dengan bekal hidup Bapak di sini?”

“Akh, aku jangan kau pikirkan, Bu. Aku seorang lelaki yang sudah terbiasa hidup menderita kurang makan seperti ini.”

“Maafkan aku, Pak. Aku terlalu emosi sehingga sempat berkata-kata kasar pada Bapak,” ujar Bu Laila sambil mencium tangan Pak Bahar.

Pak Bahar cuma manggut-manggut saja.

Ketika itulah Ijah dan Udin pulang kembali ke gubuknya setelah lelah bermain seharian di lokasi pendulangan intan.

“Ijah, Udin. Sini. Kalian berdua ikut pulang ke rumah kakek. Ingat, jangan nakal di sana. Jangan sampai membuat kakek marah.”

Ijah dan Udin mengangguk, keduanya lalu mencium tangan Pak Bahar secara bergantian. Bu Laila cuma terisak melihat adegan yang sangat mengharukan itu.

Sore itu juga Bu Laila, Ijah, dan Udin pergi ke pelabuhan sungai Purukcahu. Mereka diantarkan oleh Pak Bahar.

“Maafkan Bapak, Nak. Bapak tidak bisa mengantarkan kalian sampai ke rumah kakek. Baik-baiklah kalian di sana. Turuti apa kata ibumu,” ujar Pak Bahar menasehati kedua anaknya.
Ijah dan Udin mengangguk-angguk.

Sebelum naik ke kelotok Bu Laila, Ijah, dan Udin kembali mencium tangan Pak Bahar.

“Sekali lagi maafkan aku, Pak,” ujar Bu Laila sambil terisak-isak.

“Ya, ya. Aku maafkan, Bu,” ujar Pak Bahar.

Tidak lama kemudian kelotok itu berangkat menuju ke kota Muara Teweh.


TIGA

Sepulangnya dari pelabuhan sungai Purukcahu, Pak Bahar kembali duduk melamun di depan gubuknya.

“Tanpa linggis, linggangan, parang, dan ayakan, apa lagi yang bisa kukerjakan di sini?.

“Tanpa semua alat kerja itu praktis aku tak bisa lagi mendulang intan.”

“Tapi, aku tak malu pulang kembali ke kampung Cempaka. Aku malu pada para tetangga, dan lebih-lebih lagi malu kepada ayah mertuaku,” ujar Pak Bahar kepada dirinya sendiri.

Pak Bahar masih ingat, betapa enam bulan yang lalu, ketika ia pamit kepada ayah mertuanya, beliau sejak dini sudah berwanti-wanti agar Pak Bahar tidak ikut-ikutan pergi mendulang intan ke Purukcahu.

“Intan di sana untuk orang sana,” ujar ayah mertuanya ketika itu.

“Akh, itu cuma takhyul, Pak,” bantah Pak Bahar ketika itu.

“Terserah apa pendapatmu. Tapi, itulah pendapatku,” ujar mertuanya sengit.
Boleh jadi, karena terlalu asyik melamun, maka pikiran dan perasaan Pak Bahar menjadi kosong melompong karenanya.

Ketika itulah ada bisikan setan merasuk ke dalam pikiran dan perasaannya.

Tanpa sadar Pak Bahar berjalan menuju ke lubang pendulangan intan miliknya, lalu masuk, dan duduk sambil bersandar di dasar lubang pendulangan itu.

Malam semakin larut. Embun sudah mulai turun membasahi bumi.

Hawa menjadi semakin dingin.

Tapi, Pak Bahar tak peduli, ia tetap duduk bersandar di dasar lubang pendulangan intan itu.
Matanya terpejam dan pikirannya menerawang. Ia diam seribu bahasa.

Ia ingin melampiaskan rasa jengkel, rasa kesal, dan rasa putus asanya dengan cara menyiksa diri di lubang pendulangan intan itu.

Ia sengaja tidak makan dan minum.

Tegasnya ia ingin bunuh diri pelan-pelan.

Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang diperbuat Pak Bahar di dalam lubang pendulangan intan itu.

Selain lokasinya terisolir, lubang pendulangan intan milik Pak Bahar juga cukup dalam, yakni sekitar 5 meter.

Begitulah, tanpa terasa Pak Bahar sudah tiga hari tiga malam duduk bersandar sambil berdiam diri tanpa makan minum di dalam lubang pendulangan intan itu.

Tubuhnya sudah mulai lunglai, ia telah mengalami dehidrasi yang parah sekali.
Situasinya menjadi semakin buruk lagi karena pada malam ke tiga hujan turun dengan lebatnya.
Lubang pendulangan intan tempat Pak Bahar duduk bersandar sudah mulai digenangi air.
Tubuh Pak Bahar menggigil karena kedinginan yang amat sangat. Tapi Pak Bahar tetap tak bergeming.

“Biarlah aku mati tenggelam di dasar lubang pendulangan intan ini,” ujar Pak Bahar di dalam hatinya.

Pada saat-saat kritis itu tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih menerobos masuk ke dalam lubang pendulangan intan itu.

Ternyata yang datang adalah seorang lelaki tua berambut putih.

Pakaiannya serba kuning persis seperti pakaian dinas seorang pawang buaya di Kalsel.

“Hei, sedang apa kamu di sini?!” tanya Pak Tua.

“Aku mau mencari mati!” sahut Pak Bahar sekenanya.

“Wajahmu pucat sekali. Sudah berapa lama kamu berdiam diri di sini, Nak?!”

“Sudah tiga hari tiga malam.”

“Tanpa makan minum?”

“Ya.”

“Kenapa kamu berbuat nekad begini?”

“Aku putus asa, Pak Tua.”

“Putus asa?. Kenapa putus asa?. Putus asa adalah dosa kata Rhoma Irama!”

Pak Bahar kemudian menceritakan apa yang terjadi dan sudah dialaminya selama ini.

“Kasihan. Malang benar nasibmu, Nak.”

“Begitulah, Pak Tua.”

Suasana menjadi hening.

“Oh iya, Pak Tua. Benarkah, kata ayah mertuaku, intan-intan yang ada di Purukcahu ini hanya untuk orang-orang Purukcahu juga. Para pendulang intan yang berasal dari luar Purukcahu seperti diriku tak bakalan memperoleh intan jika ikut-ikutan mengadu nasib mendulang intan di sini?”

“Akh, tidak juga, Nak. Siapa saja mempunyai peluang untuk memperoleh intan di sini. Tak peduli apakah ia penduduk asli Purukcahu ataukah ia seorang pendatang dari luar daerah.”

“Ngomong-ngomong, jika boleh tahu. Bapak Tua ini sesungguhnya siapa?”

“Aku adalah orang gaib yang berasal dari alam bawah tanah. Aku sekarang sedang mengemban tugas sebagai penabur intan ke dalam lubang pendulangan tertentu yang ada di kawasan ini. Intan-intan yang kutaburkan pada malam ini akan ditemukan oleh para pendulang intan pada esok hari. Tidak sembarang lubang pendulangan boleh kutaburi intan. Hanya lubang pendulangan yang terdaftar di dalam buku catatan yang kubawa ini saja yang boleh kutaburi intan pada malam ini.”

“Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Jika boleh tahu apakah namaku juga terdaftar sebagai calon pendulang intan yang bakal memperoleh intan di sini?”

Pak Tua itu kemudian membuka catatan yang dipegangnya.

“Nama kamu siapa, Nak?”

“Bahar. Lengkapnya Muhammad Baharuddin.”

“Wah, wah. Pantas saja kamu tidak pernah memperoleh intan di sini. Namamu tak ada di dalam daftar yang kupegang ini.”

“Kalau begitu tolong namaku dimasukan ke dalam daftarmu itu, Pak Tua.”

“Wah, mana bisa begitu, Nak. Ini bukan daftar penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bisa direkayasa sedemikian rupa sebagaimana yang terjadi di Republik Mimpi. Selain itu, tugasku juga bukan sebagai pembuat daftar, tapi cuma sebagai pemegang daftar.”

“Duh, malang sekali nasibku, kalau begitu, Pak Tua” keluh Pak Bahar.

“Tapi, masih ada harapan bagimu, Nak. Besok pagi akan datang ke sini empat orang pendulang intan asal Palangka Raya. Salah seorang di antaranya, yakni Pak Ganyun tercatat sebagai orang yang bakal memperoleh intan sebesar 5 karat. Intan dimaksud terselip di antara batu dulangan yang tengah dimasukkan ke dalam ayakan.”

“Lalu, apa hubungannya denganku Pak Tua.”

“Aku menyarankan kamu ikut menggabungkan diri ke dalam kelompok Pak Ganyun dan kawan-kawan.”

“Baiklah, kalau begitu.”

“Namun, harap diingat setelah menemukan intan dimaksud, Pak Ganyun dan kawan-kawan tidak akan pernah menemukan intan lagi barang sebutir di sini. Jatahnya sudah habis. Selain itu, untuk masa-masa selanjutnya kamu jangan lagi menekuni profesi sebagai pendulang intan."

“Kenapa harus begitu, Pak Tua?”

“Sesuai daftar yang ada padaku, maka kamu tidak akan pernah menemukan intan lagi. Jatahmu sebagai pendulang intan sudah habis begitu kamu dulu menemukan intan sebesar 5 karat di Sarang Tiung dulu.”

“Wah, pantas saja. Sejak itu aku tak pernah memperoleh intan lagi.”

“Begitulah, Nak.”

“Kalau begitu, aku harus bekerja sebagai apa lagi, Pak Tua?”

“Terserah kamu saja, Nak. Asal jangan sebagai pendulang intan saja.”

“Baiklah, Pak Tua.“

“Kalau begitu, aku mau pamit saja, Nak. Sebentar lagi matahari akan terbit. Dan ini kuberi kamu tiga biji kurma. Makanlah, Insya Allah tenagamu akan segera pulih kembali seperti sedia kala."

Sekejap kemudian Pak Tua itu terbang melayang ke luar lubang pendulangan intan milik Pak Bahar. Selanjutnya menghilang entah ke mana.

Sepeninggal Pak Tua, Pak Bahar segera memakan tiga biji kurma dimaksud. Ajaib, kekuatan tubuhnya segera pulih kembali seperti sedia kala.


EMPAT

Benar saja, keesokan harinya terbetik berita ada 4 orang pendulang intan dari Palangka Raya.
Mereka baru datang di lokasi pendulangan intan Purukcahu, dan sedang berjalan-jalan mencari lokasi untuk menggali lubang pendulangan intan. Pak Bahar bergegas menemui mereka.

“Assalammu alaikum wa rahmatullah hi wa barakatuh.”

“Wa alaikum salam wa rahmatullah hi wa barakatuh.”

“Kenalkan namaku, Pak Bahar.”

“Aku Pak Ganyun, dan ini kawan-kawanku Pak Badun, Pak Camul, dan Pak Tugur. Kami berempat mau mengadu nasib mendulang intan di sini.”

Pak Bahar mengulurkan tangannya dan bersalam-salaman dengan Pak Ganyun dan kawan-kawan.

“Aku sendiri sudah lama menjadi pendulang intan di sini. Tapi hasilnya masih nihil.”

“Itu berarti Pak Bahar sudah berpengalaman sebagai pendulang intan.”

“Begitulah, kira-kira.”

“Kami sendiri belum ada yang berpengalaman sebagai pendulang intan.”

“Nah, bagaimana kalau aku bergabung saja dengan kelompok Pak Ganyun dan kawan-kawan?”

“Wah, dengan senang hati kami bersedia menerimanya.”

Ringkas cerita, sejak pagi itu Pak Bahar aktif kembali sebagai pendulang intan.

Kali ini ia berstatus sebagai anggota kelompok Pak Ganyun.

Tugas Pak Bahar adalah sebagai pencuci batu dulangan.

Tugas ini sengaja diberikan kepadanya, karena Pak Bahar satu-satu orang yang berpengalaman mempergunakan alat kerja mendulang intan yang disebut linggangan.

Linggangan bentuknya seperti caping raksasa yang dibuat dari batang pohon berukuran besar.

“Pak Bahar, aku menemukan ini, Pak. Coba dilihat siapa tahu ini Galuh, Pak,” ujar Pak Ganyun tiba-tiba. Bar, dada Pak Pak Bahar berdebar.

Pak Bahar segera menerima benda bulat yang diangsurkan Pak Ganyun. Lalu mencucinya dengan air yang ada di dalam linggangan.

“Alhamdulillah. Ini Galuh, Pak. Galuh!. Ayo kita bershalawat. Allahumma sholi ala Muhammad!” pekik Pak Bahar

“Salim alaihi,” sahut  Pak Ganyun dan kawan-kawan secara bersamaan (koor).

Selepas itu para pendulang intan lain berkerubung mendekati dan mengelilingi Pak Bahar dan kawan-kawan.

Mereka semua ingin melihat dari dekat intan yang baru saja ditemukan itu.

Persis seperti yang sudah dikatakan oleh Pak Tua kepada Pak Bahar tempo hari, intan dimaksud besarnya memang 5 karat. Intan itu sendiri terselip di antara bilah-bilah bambu ayakan yang dipegang Pak Ganyun.

Pada hari itu juga mereka berlima meninggalkan lokasi pendulangan intan Purukcahu menuju ke kota Muara Teweh, dan selanjutnya dari sana melanjutkan perjalanan ke kota Martapura untuk menjual intan hasil temuan mereka.

Puji Tuhan, intan tersebut kemudian laku dijual dengan harga tujuh puluh lima juta rupiah, dan hasil penjualannya dibagi lima. Pak Bahar mendapat bagian lima belas juta rupiah.

“Alhamdulillah!” Pekik Pak Bahar mengucap syukur ke hadirat Ilahi Robbi.
Selepas pembagian uang hasil penjualan intan, Pak Ganyun dan kawan-kawan kembali ke kota Palangka Raya dengan menumpang pesawat terbang.

Sementara itu Pak Bahar kembali ke kampung Cempaka.

Kedatangan Pak Bahar ke kampung Cempaka sudah pasti disambut hangat oleh istri dan anak-anaknya.

Apa lagi Pak Bahar pulang dengan membawa hasil kerja yang lumayan besar.

Sebelum bertolak kembali ke Palangka Raya, Pak Ganyun dan kawan-kawan menyempatkan diri singgah di rumah Pak Bahar.

“Pak Bahar, bulan depan kita bertemu lagi di Purukcahu,” ujar Pak Ganyun ketika berpamitan sesaat sebelum naik ke pesawat terbang.

“Insya Allah, Pak Ganyun.”


LIMA

Sebulan telah berlalu, Pak Bahar tetap saja berada di kampung Cempaka. Ia tidak berangkat ke Purukcahu.

“Buat apa aku ke sana? Bukankah aku sudah dinasihati oleh Pak Tua agar jangan lagi menekuni profesi sebagai pendulang intan?” ujar Pak Bahar kepada istrinya yang mengingatkan kesepakatannya dengan Pak Ganyun dan kawan-kawannya tempo hari.

Sekarang, Pak Bahar menekuni profesi barunya sebagai penjual alat-alat untuk mendulang intan, seperti linggis, linggangan, dan ayakan.

Suatu hari Pak Bahar menerima sepucuk surat dari Pak Ganyun.

Pak Bahar membuka amplop surat itu dengan hati berdebar.

Ia khawatir Pak Ganyun memarahinya karena dirinya tak kunjung datang ke Purukcahu sebagaimana yang telah disepakati tempo hari.

“Maaf, Pak Bahar. Kami berempat tidak jadi kembali ke Purukcahu untuk mendulang intan sebagaimana yang telah kita sepakati tempo hari. Sekali lagi mohon maaf.”

“Pucuk dicinta ulam tiba,” ujar Pak Bahar tersenyum sambil melipat surat kiriman Pak Ganyun.

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: