Dua


Sejak meletusnya perang saudara antara Pangeran Samudera melawan Pangeran Temenggung, maka kota Muara Banjar yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Banjar yang didirikan oleh Pangeran Samudera menjadi sasaran utama penyerbuan pasukan perang yang setia kepada Pangeran Temenggung.

Pangeran Temenggung dan para sekutu politiknya yang tetap setia kepadanya memang merasa cemas dengan perkembangan Kerajaan Banjar yang begitu pesat dari hari ke hari. Dalam tempo relatif singkat para kepala pemerintahan, kepala suku, kepala balai, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh agama, dan orang-orang sakti mandraguna banyak yang menyatakan diri bergabung ke dalam wilayah pemerintahan Kerajaan Banjar dan denga sukarela mengikrarkan sumpah setianya kepada Pangeran Samudera.

Sehubungan dengan kenyataan bahwa kota Muara Banjar telah dijadikan sebagai sasaran utama penyerbuan pasukan perang Pangeran Temenggung, maka Pangeran Samudera berusaha memperkuat pertahanan di semua pintu masuk menuju ke pusat pemerintahan Kerajaan Banjar tersebut. Setiap pintu masuk tidak saja dijaga oleh pasukan perang biasa tetapi juga dijaga oleh  sejumlah tokoh sakti mandraguna.

Tersebutlah seorang tokoh sakti mandraguna bernama Awi Tadung (22 tahun) yang mendapat tugas menjaga pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar. Tempat tinggal Awi Tadung sesungguhnya jauh dari pusat keramaian ibukota Kerajaan Banjar, karena pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar ini sesungguhnya adalah jalan setapak yang di kiri dan kanannya banyak ditumbuhi pohon rumbia.

Meskipun tinggal jauh dari pusat kota, namun sebagai tokoh yang sakti mandraguna, maka namanya dikenal luas di seantero Kerajaan Banjar. Hampir bisa dikatakan tidak ada seorang pun warga negara Kerajaan Banjar yang tidak mengenal jatidiri Awi Tadung.

Nama asli Awi Tadung adalah Awirusan. Nama atau lebih tepatnya gelar Awi Tadung diberikan orang kepadanya karena Awirusan memiliki seekor ular yang selalu melilit di pergelangan tangan kirinya. Ular dimaksud warnanya hitam legam dan merupakan jenis ular berbisa yang terkenal paling ganas. Di kalangan warga negara Kerajaan Banjar, ular jenis ini lazim  disebut sebagai tadung mura (ular kobra). Tapi yang lebih unik lagi ular yang melilit di tangan kiri Awi Tadung ini bukanlah ular biasa, tapi adalah ular buntung (ular yang tidak mempunyai ekor).

Ular buntung ini sangat setia kepada Awi Tadung. Konon, ular buntung dimaksud akan langsung bereaksi keras jika mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain. Setiap kali mendengar Awi Tadung bertengkar dengan orang lain, maka hampir bisa dipastikan lawan bertengkar Awi Tadung itu akan tewas secara mengenaskan. Tubuhnya berwarna hitam legam dan  dipenuhi  dengan bekas gigitan ular berbisa.

Memang, setiap kali bertengkar dengan orang lain, Awi Tadung selalu memerintahkan ular buntungnya untuk membinasakan musuhnya itu. Tugas mematuk musuh Awi Tadung itu dikerjakan oleh ular buntung pada malam hari, yakni ketika yang bersangkutan tertidur lelap di rumahnya. Suatu hal yang mengerikan, pembunuhan atas musuh Awi Tadung dimaksud tidak hanya dilakukan oleh ular buntung itu sendiri, tetapi dilakukannya bersama-sama dengan puluhan ekor ular lainnya.

Terkesan dengan keganasan ular buntung peliharaan Awi Tadung dalam membunuh musuh-musuhnya, maka Pangeran Samudera kemudian meminta bantuan Awi Tadung untuk menugaskan ular buntung peliharaannya sebagai penjaga pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar. Tugas tersebut dijalankan dengan baik oleh ular buntung dan kawan-kawannya sesama ular yang tinggal di hutan rumbia di dekat rumah Awi Tadung. Sudah tidak terbilang lagi berapa jumlah pasukan perang Pangeran Temenggung yang tewas dipatuk ular berbisa ketika mencoba menyusup memasuki kota Muara Banjar dari arah  ujung utara.

Awi Tadung dan ular buntung sesungguhnya bersaudara kembar. Keduanya sama-sama dilahirkan oleh Umbu Kitai, seorang wanita warga kampung setempat. Ayah Awi Tadung adalah seorang petani yang banyak memiliki tanah persawahan dan perkebunan di daerah ujung utara kota Muara Banjar, namanya : Abah Kitai.

Ketika Awi Tadung dan ular buntung dilahirkan, bidan kampung yang menolong persalinannya langsung pingsan begitu melihat Umbu Kitai melahirkan seorang anak manusia dan seekor ular hitam. Abah Kitai dan Umbu Kitai juga sempat terpana beberapa saat karenanya.

“Sabarlah, Bu. Mungkin sudah takdir kita berdua mempunyai anak seekor ular. Sebaiknya kita ambil hikmahnya saja, Bu,” ujar Abah Kita mencoba menyabarkan perasaan istrinya.

Ringkas cerita, Abah Kitai dan Umbu Kitai kemudian memberi nama Awirusan untuk anaknya yang berwujud manusia dan Awirusin untuk anaknya yang berwujud ular hitam. Tapi, di kemudian hari orang lebih mengenal Awirusan sebagai Awi Tadung dan Awirusin sebagai  ular buntung.

Hari demi hari berlalu, Awi Tadung dan kembarannya ular hitam tumbuh dewasa secara bersama-sama di rumah yang sama pula. Sesuai dengan kodrat dan wujudnya masing-masing, maka bila Awi Tadung tidur di tilam, maka ular hitam kembarannya lebih suka tidur di dalam pedaringan beras.

Kebiasaan ular hitam yang demikian itu sering membuat Umbu Kitai jengkel. Setiap kali Umbu Kitai mengambil beras di pedaringan, tangannya selalu dipatuk oleh anaknya ular hitam. Saking kagetnya, tidak jarang Umbu Kitai yang latah itu terpekik berlama-lama karena ulah nakal anaknya sendiri. Ular hitam anaknya itu agaknya suka sekali bercanda dengan ibunya dengan cara seperti itu.

Tidak hanya Umbu Kitai yang jengkel dengan ulah ular hitam yang demikian itu. Abah Kitai juga demikian. Hingga pada suatu pagi, Umbu Kitai kembali mengambil beras untuk ditanak, ketika itulah tangannya kembali dipatuk ular hitam. Umbu Kitai terpekik. Entah bagaimana, Abah Kitai yang mendengar pekikan kaget istrinya itu, langsung meradang  saking marahnya. Tanpa pikir panjang lagi orang tua itu dengan refleks meraih mandau (sejenis parang) dan cras langsung menetakkannya ke arah ular hitam. Untunglah, ular hitam tidak tewas terkena tetakan mandau itu, karena tetakan itu cuma mengenai ekornya.

Sejak kejadian itu ular hitam tidak lagi tinggal di rumah bersama-sama dengan ayah, ibu dan saudara kembarnya. Tapi tinggal di hutan rumbia tak jauh dari rumahnya. Di tempat tinggalnya yang baru ini ular hitam berhasil menempatkan dirinya sebagai pimpinan komunitas ular. Beberapa tahun kemudian ia datang berkunjung ke rumah orang tuanya, ketika itulah Abah Kitai dan Umbu Kita mengetahui jika ular hitam anaknya itu sudah  tidak memiliki ekor lagi akibat terkena tetakan mandau ayahnya sendiri.

Abah Kitai sempat meneteskan air mata karena menyesali perbuatannya puluhan tahun yang silam. Tapi apa hendak dikata semuanya itu telah terjadi dan tak mungkin diperbaiki lagi. Sejak itulah ular hitam itu dikenal sebagai ular buntung. Sejak itu pula, ular buntung tidak lagi tinggal di hutan rumbia tapi kembali tinggal di rumah orang tuanya. Setiap hari ia selalu berada di sekitar Awirusan saudara kembarnya yang berwujud manusia. Awirusan sendiri sangat sayang dengan Awirusin, ke mana-mana selalu dibawanya dengan cara dilingkarkannya di tangan kirinya. Akibatnya lambat laun orang-orang lebih mengenalnya sebagai Awi Tadung dibandingkan dengan nama aslinya Awirusan.

Pangeran Samudera sangat menghargai jasa-jasa Awi Tadung dan ular buntung yang selalu siap siaga menggagalkan usaha penyusupan dan penyerbuan yang dilakukan oleh anggota pasukan perang Pangeran Temenggung melalui pintu masuk di ujung utara kota Muara Banjar. Pangeran Samudera sangat terkesan dengan kemampuan yang ditunjukkan oleh Awi Tadung dan ular buntung, karena selama berlangsung perang saudara, tidak ada seorang pun anggota pasukan perang Pangeran Temenggung yang berhasil menerobos masuk ke pusat kota Kerajaan Banjar.

...selanjutnya

Klik Daftar Isi atau Bagian Tiga


0 comments: