Bahasa Cinta


Nina Rahayu Nadea

            Malam sudah semakin larut. Jam dinding telah berbunyi sebelas kali. Kesunyian semakin merayapi jantung kehidupan. Dan aku semakin terlelap dalam kesenyapan.  Rasa kantuk yang kutunggu tak  jua datang. Alhasil, aku pun hanya melamun menikmati sendunya malam. Rintik hujan mengantarkanku pada sebuah lamunan yang singgah di hati.
            Kulirik istriku yang tertidur pulas. Dengan daster yang sedikit belel dan tanpa riasan ia begitu memesona. Hidung mancungnya, bibir mungil dan bentuk mukanya yang lancip, menambah ayu wajahnya. Kecantikan begitu jelas terpancar dari wajahnya. Ah, ia  benar-benar ayu. Wanita asli Solo.
Anganku melayang ke masa lalu, saat perkenalanku dengannya. Mengingatnya aku tersenyum sendiri. Gara-gara salah menafsirkan bahasa, kami akhirnya bisa bersatu. Bersatu dalam dua bahasa yang berbeda. Ya, kekeliruan dalam menafsirkan arti kata menyebabkan cinta kami bertemu. Maklum, aku orang Sunda sedangkan ia Solo. Tapi berkat kekeliruan itu, bahasa cinta telah memersatukan kami berdua.
***
            Setelah puas menyaksikan kesenian Wayang Orang yang berada di Gedung Kesenian Solo, aku pun berlalu. Riuh orang membicarakan sang lakon. Perut keronconganku sudah tak mau diajak kompromi lagi. Aku pun meninggalkan tempat itu untuk mencari makan.
            Sepanjang jalan Komplek Sriwerdari aku jajaki, tapi rasa-rasanya tak ada satupun tempat makan menarik yang mengusik hati ini untuk bertandang. Walau rasa lapar menyerangku,  aku tak ingin momen di tempat ini berlalu.  Maklum aku bukan asli orang Solo.  Baru dua hari  aku berada di kota ini untuk mengikuti pelatihan tentang pembuatan batik Solo yang diselenggarakan kantorku. Tentu saja, aku tak akan menyia-nyiakan waktuku untuk wisata kuliner di tempat ini. Tengkleng, timlo, aneka bakso khas solo telah mampir ke tenggorokanku. Kini, aku ingin menikmati hal lain yang belum pernah aku rasakan.
            Trotoar sepanjang jalan Slamet Riyadi telah aku singgahi.  Mataku melirik ke sana kemari. Tak ada makanan yang aneh. Di penghujung jalan aku berhenti. Rasa lelah menyerangku. Aku berniat menyetop becak saat itu ketika segerombolan orang datang dan berkata dengan riangnya.
            “Lumayan enak masakannya ya?”
            “ Iya takan kecewa kita makan di sana.”
            “Apalagi itu lho si mbakyunya cantik amat! ngiler aku.”
            “Ah kamu ini, cewek aja yang dipikirin.”
            Mendengar percakapan mereka, niatku untuk menyetop becak akhirnya kuurungkan. Langkahku terhenti sejenak. Kemudian tanpa dikomando kakiku berbelok mencari jejak petualangan segerombolan orang tadi. Kembali kutelusuri jalan itu.  Hingga di tikungan terakhir aku menemukan sebuah warung nasi kecil. Di sana bertuliskan ”Jangan Tresno”. Huh, aku pun penasaran dibuatnya. Segera aku masuk ke dalamnya. Deretan kursi telah penuh. Kepalaku memanjang ibarat jerapah celingukan ke sana ke mari mencari tempat yang kosong. Tapi tak kutemukan. Akupun berniat  keluar ketika si pemilik memanggilku.
            “Makan toh Mas!”
            Suara ayunya membuatku sontak berbalik ke arah wanita si punya suara. Dan aku tertegun memandang wajahnya yang ayu. Wanita Solo yang sangat ayu, lembut dan memesona. Beberapa detik tatapanku melekat pada wajah itu. Tatapam kami beradu. Aku segera memalingkan mukaku berpura-pura melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan pembeli.
            “Ya..tapi kayaknya dah penuh, Mbak!”
            “Monggo di dalam masih ada tempat yang kosong, Mas” katanya dalam logat Jawanya yang kental.
            Aku mengikuti wanita itu dan aku ditempatkan di sebuah ruangan yang tampak seperti rumah. Mungkin tempat alternatif yang selalu digunakan apabila pembeli penuh.       Hal itu dapat kulihat dari coretan di dinding dekat dengan meja tempatku duduk.  Tapi tempatnya lebih bersih di banding dengan yang ada di depan.
            Menu makanannya tak ada yang menarik, biasa saja. Sama seperti makanan khas Sunda. Maka tak kusia-siakan sayur lodeh. Aku jadi teringat Emakku yang setiasa membuatkan Sayur lodeh kesukaanku. Dalam satu minggu, ada beberapa kali menu sayur lodeh yang Emak sajikan spesial untukku. Emak sangat tahu kegemaranku. Kini ketika Emak telah tiada, aku pun tak dapat menikmati menu yang kurindukan. Rasa rindu pada sosok yang bernama Emak segera menyerang kepalaku.
Kutuangi nasiku dengan sayur lodeh. Rasanya mirip dengan yang Emak buat. Sebelum kusantap kuteliti sayur kesukaanku. Ada keluweh, rebung, tangkil dan daunnya, terong panjang berwarna hijau dan … aha, aku tercekat pada sosok benda berwarna  hijau  muda, dan yang menarik bentuknya menyerupai hati. Si pemilik mempunyai jiwa seni yang tinggi rupanya. Untuk menarik perhatian pembeli, ada bahan lain yang tidak biasa disajikan dalam sayur lodeh. Segera kucicipi benda berbentuk hati itu. Empuk agak kenyal sedikit dan aku tak aneh dengannya. Pepaya muda. Wow pepaya muda berbentuk hati menjadi hiasan dalam sayur ini. Luar biasa.
            Sayur lodeh semakin sedap bila ditambah sambal.  Rasanya maknyus! Hari ini aku makan dengan nikmatnya.
            “Dengan apa makannya, Mas?”
            Aku menunjuk beberapa makanan yang telah mengenyangkan perutku. ”Sama sayur yang ada hatinya”
            “Oh Jangan tresno!”
            “Apa tresno!”
            “Iya, jangan tresno!”
            “Maaf bukan maksud saya tresno, tapi sayurnya ada gambar hati”
            “Ya, Mas, namanya jangan tresno, kalau di sini jangan itu sayur, Mas! Jadi maksudnya sayur tresno!”
            “Oh, pantasan aku langsung tresno, Mbak ! Aku langsung bergurau demi menghilangkan rasa Maluku. Aku pikir jangan tresno artinya jangan cinta. Ternyata sayur cinta. Waduh ada-ada saja!
            “Tresno..ya tresno, Mas! Tapi, tresno-nya ama jangan tresno!”
            “Tresno-nya ingin sama si pembuat jangan tresno…! “ Aku menggodanya
            Seketika merah muka wanita itu .
            Semenjak itu aku sering datang ke warung nasinya hanya untuk merasakan sayurnya yang enak dilidah dan membuat lidahku bergoyang dan yang lebih penting aku ingin senantiasa menikmati wajah ayu perempuan itu.
            Beberapa hari saja aku sudah mengenal perempuan yang bernama Widariningsih itu. Ia anak pemilik dari yang punya warung ini. Kelihaiannya dalam memasak, membuat orang tuanya memercayakan warung nasinya kepada Jeng Sri,  begitulah seterusnya aku menyebut wanita itu.
            Sayang aku hanya seminggu berada di kota Solo. Sedih yang teramat sangat ketika aku harus berpisah dengannnya. Dan, untuk sementara aku harus melupakan keanggunannya yang membuatku semakin cinta.
Tapi, perbedaan kota tak menghindari komunikasi. Hampir tiap minggu suratnya tak pernah telat datang padaku.  Surat yang ia kirimkan ibarat obat mujarab yang kerap mengobati deritaku karena rindu. Jeng Sri telah membuat hatiku kepincut setengah mati dan senantiasa membelah  derita hatiku karena sang rindu. Rindu Jeng Sri, juga  jangan tresno.
***
            “Mengapa Mas memandangku terus seperti itu?” Tiba-tiba istriku bangun.
            “Jeng Sri cantik banget rupanya…kebetulan aku kelonin dong..!”
            “Mas enten-enten mawon, koq ujug-ujug dadi koyo ngene?”
            “Ngak ada apa-apa aku hanya tresno karo sliramu!” Aku memeluk istriku mesra
            “Yo wis aku tresno kalian panjenengan!”
            Kucolek pipi istriku. Sudah hampir dua tahun ia berada di Tanah Sunda namun bahasa Jawanya tetap saja mengental.  Hal yang membuatku semakin mencintainya adalah bahasanya yang penuh dengan bahasa cinta.
Kupeluk istriku mesra. Kehangatan mulai membahana di tubuhku. Dan ketika jiwaku melayang menggapai sagara keindahan di luar sana, suara bayi mungil kami membuyarkan semuanya…
            “Duh..anakku manis, cah ayu, kowe kaganggu nduk, ojo nangis, Bapakmu goda wae.
            Istriku segera meneteki Murni, anak kami yang baru berumur satu tahun. Kuperhatikan mereka. Suasana seperti ini paling membuatku bahagia menyaksikan kehangatan ibu dan anak dalam suatu pelukan. Kupeluk mereka bahagia.
“Besok, buatkan  aku jangan tresno yah.”
Mangga Akang nu kasep!” Selorohnya.

Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: