Monday, February 22, 2021

Puisi-Puisi Armijn Pane


Bertemu

Di tepi pantai laut kami bersua,
Dan kami memandang ke dalam mata masing-masing,

Yang penuh sengsara, penuh duka,
Karena negeri digenggam bangsa asing.

Dengan diam kami berjabat tangan,
Sambil menantang muka saudara yang muram caya,

Kami bersama pergi berjalan,
Melalui dataran di senjakala.

Angin meniup jubah kami,
Bagai mengembus kain mati.

Sumber: Timbul via PB 113. September 1933


Tenangan Tiada

Entah apa yang mendorong aku kehidupan baru,
Meninggalkan menistakan kehidupan lama.

Setiap kali aku terbujuk gemerlap restu,
Sekejap lagi aku tersuram gelap derita.

Aku tiada jera-jera mencari keliling cahaya,
Entah apa mendesak aku menghimbau harapan.

Setiap kali aku lupa cahaya bulan hanya sementara,
Gelap gulita yang akan kudapat ditinggalkan

Bukankah begitu bangsa semua-muanya,
Harapan bersinar menarik kehidupan baru.

Bukankah masyarakat diobah-obah dicoba,
Sekejap saya, rupanya derita yang ditunggu.

Tiadakah hidup dalam hati pikiran nyata,
Adakah gunanya berjuang merobah yang
ada.

Baikkah berusaha menggerakkan massa,
Merobah susunan tiada tentu mana yang baka.

Tiadakah baik berdiamkan tangan,
Menutupkan pikiran, arahkan tiada.

Tiadakah baik meniadakan angan,
Meniadakan diri dalam tenangan Tiada.

Sumber: Pujanggan Baru 111/2, Agustus 1935


Video Pembacaan Puisi Bertemu:



Tentang Penyair



ARMIJN PANE lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatra Utara, 18 Agustus 1908. Pada 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan modernisme sastra.

Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah novel “Belenggu” (1940). Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane. Pada 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan jasanya dalam bidang sastra.

Pada Februari 1970, beberapa bulan setelah menerima penghargaan tersebut, ia meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun.

-----------------------------------------------

Sumber tulisan: Lautan Waktu
Sumber foto penyair: Wikipedia
Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: