Thursday, October 24, 2019

Mendikbud Baru, Keresahan Baru


Jika menyangkut pendidikan formal di Indonesia, maka secara otomatis akan terhubung pula dengan yang namanya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Dan, rasa-rasanya dunia kerja saat ini mewajibkan calon pegawainya pernah belajar di lembaga pendidikan formal. Sebut saja alumnus dari sebuah universitas negeri di Indonesia. Saya sengaja tak mau menyebutkan nama universitasnya itu apa. Alasannya singkat saja, takut dikira iklan.

Kewenangan Kemendikbud tentunya berpengaruh terhadap aturan yang berlaku di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi. Kita sudah mafhum soal hal itu. Contoh mudahnya soal kurikulum yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut. 

Dan, kebijakan Kemendikbud bisa saja berbenturan dengan kondisi di lapangan. Masih ingat, 'kan soal pemberlakuan lima hari belajar oleh Mendikbud Muhajir Effendi sekitar dua tahun lalu? Tak sedikit yang protes terhadap kebijakan itu.

Nah, kemudian bagaimana dengan Nadiem Anwar Makarim sebagai Mendikbud baru saat ini? Di hari pelantikannya saja, 23 Oktober 2019, reaksi masyarakat Indonesia sudah begitu besar dan luas.

Ya, beragam pendapat berseliweran di berbagai media. Khususnya yang merasa resah atas dilantiknya ia sebagai orang nomor satu di Kemendikbud RI.

Mengapa demikian? Pastinya ada hukum kausalitas dalam hal ini. Lalu apakah itu?

Pertama, mengenai latar belakang pendidikan sang Mendikbud baru. Realitasnya, ia tak memiliki dasar ilmu kependidikan apa pun. Secara ringkasnya, Nadiem mendapatkan gelar sarjananya dari Jurusan Hubungan Internasional di Brown University, Amerika Serikat. Lalu mengikuti pertukaran pelajar di London School of Economics (bidang ekonomi). Terakhir ia meraih gelar Master of Business Administration di Harvard Business School.

Hukum alam selalu saja mengamini pernyataan bahwa serahkan urusan tertentu kepada yang ahlinya. Artinya, jika urusan A diserahkan kepada yang ahli di bidang A, akan lebih mudah diselesaikan daripada apabila diserahkan kepada yang ahli di bidang B. Misalnya bergini, orang sakit tentu diserahkan ke dokter, dan bukan ke pengacara.

Bagian pertama inilah yang melahirkan keresahan sebagian rakyat Indonesia. Pertanyaan yang muncul, mengapa bukan seorang pakar atau ahli di bidang pendidikan yang menjadi memimpin Kemendikbud RI? Bukankah lebih tepat jika seorang Nadiem menjadi Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian?

Kedua, pengalaman kerjanya. Nama Nadiem Anwar Makarim pertama kali muncul di khalayak ramai atau publik sebagai pendiri salah satu perusahaan jasa transportasi daring. Lagi-lagi saya sengaja tidak menyebutkan nama jasa transportasinya apa. Alasannya masih sama.

Sebelumnya ia bekerja sebagai konsultan manajemen dan pengusaha.

Dari sini jelas dirinya tak memiliki pengalaman di bidang pendidikan. Dalam hal ini, agaknya ia lebih pantas menjadi Menteri Perhubungan sesuai bidang yang digelutinya, yakni bidang transportasi.

Mengapa demikian? Sebab, di lapangan, pengalaman adalah guru terbaik bagi setiap orang. Artinya, jika seseorang telah memiliki pengalaman dalam memasak misalnya, ia akan lebih profesional menyajikan menu istimewa. Jika sebaliknya? Inilah yang membuat sebagian rakyat Indonesia resah.

Ketiga, menyangkut agama. Ini fakta yang tak terbantahkan bahwa sebagian rakyat Indonesia merasa resah dengan masa depan pendidikan agama di sekolah pascapelantikan Nadiem sebagai Mendikbud RI. Apa yang diresahkan?

Ada keresahan bahwa pendidikan agama, khususnya Islam, perlahan akan dikikis di sekolah dan perguruan tinggi. Kok, bisa resah seperti itu?

Padahal, namanya saja sangat Arab, yakni Nadiem Anwar Makarim. Bahkan, orang bisa saja melabelinya sebagai pemeluk Islam garis keras yang super radikal. Beda jika ia bernama Alexander atau Thomaz. Melihat hal ini seharusnya tidak ada keresahan tersebut, 'kan?

Begini ceritanya. Latar belakang keluarga, pendidikan, dan kehidupan Nadiem dinilai jauh dari Islam. Beredar berita bahwa kedua orang tuanya sangat sekuler. Ia juga belajar di lembaga pendidikan umum. Dan, yang paling menjadi sorotan adalah, ia menikah dengan wanita nonmuslim di gereja. Anaknya juga dibaptis. Jadi, wajar muncul keresahan yang demikian bagi sebagian rakyat Indonesia.

Keresahan di atas pun terus bergulir sebagai bola hangat yang perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak.

Lantas, bagaimana kelanjutannya?


0 comments: