Tuesday, April 16, 2019

Contoh Puisi-Puisi Bertema Politik Karya Penyair Ternama Indonesia



Selama ini terkesan bahwa suara sastrawan seakan lenyap apabila dihadapkan dengan perkara politik di Indonesia. Hampir tak ada dari mereka yang bersuara lantang di televisi atau sekadar melalui gelombang radio dalam memberikan pandangan-pandangan tentang dunia pemerintahan kini dan yang akan datang. Tapi sebenarnya, banyak juga kalangan sastrawan yang bersuara keras mengkritik pemerintahan lewat karya-karya berkualitas mereka.

Di bawah ini ada contoh puisi-puisi bertema politik.

Aku Tulis Pamflet Ini Karya  W.S. Rendra

AKU TULIS PAMFLET INI

Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an

Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang


Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan

Aku tulis pamflet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.

Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.

Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.

Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah

yang teronggok bagai  sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.

Aku tulis pamflet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !

Pejambon Jakarta 27 April 1978


Bunga dan Tembok Karya Wiji Thukul

BUNGA DAN TEMBOK

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi


Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!


Para Pemimpin dari Negeri Bukan Dongeng karya Dorothea Rosa Herliany

PARA PEMIMPIN DARI NEGERI BUKAN DONGENG

Bayi itu telah tumbuh menjadi dewasa.
dan kini menjadi raksasa
hari ke hari ia tumbuh besar, lalu
menggelembung dalam dusta yang indah.

Ia tumbuh dan kuat.
Lalu seperti elang raksasa,
Menancapkan cakar tajamnya.

Maka lihatlah!
Betapa kokoh kepalsuan.

Jakarta, 1998


Tahanan Ranjang Karya Joko Pinurbo

TAHANAN RANJANG

Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang.
Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya
dan menjebloskannya ke nganga waktu yang lebih dalam.

“Selamat tinggal, negara.
Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara.
Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.”

Ranjang memang sering rusuh dan rawan kekuasaan
Penuh horor dan teror. Di sana ada psikopat gentayangan
sambil mengacung-acungkan pistol dan berteriak:
“Tiarap. Kau akan kutembak.”
Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak:
“Angkat tangan. Pistolmu tak bisa lagi meledak.”

Ada yang lari meninggalkan ranjang.
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang.
Pada kelambu merah ia baca tulisan:
“Ini penjara masih menerima tahanan.
Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.”

1999

0 comments: