Saturday, April 6, 2019

Bekerja di dalam Negeri atau Mengabdi untuk Negeri Orang Lain?



Urusan kerja sering sekali dikaitkan dengan perkara perut. Bahkan, ada ungkapan bekerja keras demi sesuap nasi. Itulah sebabnya, tak jarang pula ketika masih dalam masa prakerja, banyak orang sudah berpikir tentang gaji yang memuaskan.

Dari pemikiran yang berpusat pada materi itulah, sebagian orang rela meninggalkan tanah kelahirannya menuju kota atau negara lain. Ada yang menjadi asisten rumah tangga hingga pejabat penting dan terhormat. Tapi, apakah semua melulu materi?

Mungkin ada alasan selain itu. Terlebih dalam hal prakerja. Ketika di desa tidak ada perguruan tinggi, sangat wajar orang bermukin di kota atau luar negeri untuk menuntut ilmu. Dan fokus sebagian dari mereka adalah belajar, bukan sekadar gaji saat bekerja kelak. Kemudian setelah lulus kuliah, mereka membangun desanya, tanah airnya.

Lantas, mana yang lebih ideal, bekerja di dalam negeri atau mengabdi untuk negeri orang lain?

Nah, sebelum menjawab pertanyaan itu, di sini ada ulasan singkat tentang sebuah novel berkaitan dengan perkara kerja ini. Judulnya Tengah Hari di Spijkenisse. Di manakah Spijkenisse? Bisa dikatakan Spijkenisse adalah sebuah kotamadya yang berada di  Provinsi Zuid Holland atau Holland Selatan. Provinsi itu bisa juga disebut Holandia Selatan yang  terletak di sebelah barat Belanda. Dengan kata lain berada di luar negeri bagi orang Indonesia.

Secara singkat novel ini berisi sebuah kisah seorang pemuda Indonesia bernama Aryo yang bekerja sebagai asisten seorang terapis senior, Mark, di kotamadya itu. Sebagai terapis senior, Mark memberikan banyak ilmunya kepada Aryo dalam bidang fisioterapi. Hari-harinya diisi dengan pekerjaan menerapi pasien demi pasien di sana. Meski disibukkan dengan pekerjaan, rasa rindu kepada keluarga di Indonesia tentu menggelayuti hatinya. Terkadang dia juga sedih saat menerapi pasien-pasien itu karena teringat bapaknya yang juga sedang sakit tanpa dirinya di sana (baca: di dekat ayahnya). Ini sebuah sayatan batin yang tak bisa diobati hanya sekadar berbicara lewat saluran telepon atau telekomunikasi lainnya.

Untunglah di Spijkenisse ia juga memiliki kenalan bernama Frederica. Siapa dia? Adalah seorang perempuan yang membuat Aryo gugup dan salah tingkah. Wajar saja demikian karena pemuda Indonesia itu belum pernah berhubungan dekat dengan perempuan, apalagi berpacaran. Novel yang ditulis Redhite Kurniawan ini mengalir lancar dengan bahasa yang mudah dimengerti. Pria kelahiran Lumajang, 18 Desember 1977 tersebut menyajikannya dengan apik. Mungkin pengalaman menulisnya lah dan juga suntingan Nadya Andwiani sehingga novel berjumlah halaman 300-an itu menarik untuk dibaca dan diapresiasi.

Khusus mengenai pertanyaan yang menjadi judul di atas, agaknya kita kembalikan ke individu masing-masing saja. Terpenting, tetap Indonesia dan terus memajukan negeri ini dengan cara terhormat dan bermartabat.


0 comments: