Wednesday, March 13, 2019

SIULAN KEHIDUPAN, Cerpen Korrie Layun Rampan




    
Tak dapat kusembunyikan bahwa aku mencintai wanita itu. Bukan hanya karena ia cantik dan kemudian menderita di bawah tekanan suaminya, akan tetapi hatiku mengatakan bahwa aku mencintainya karena cinta itu sendiri. Karena itu aku harus mengamankan hati dan diriku, aku harus mencari pondokan yang baru. Terlibat cinta dengan istri induk semang kurasa bukanlah hal yang terpuji. Bukan hanya induk semang, terlibat cinta dengan wanita yang masih berumah tangga bukanlah perbuatan yang dapat dibanggakan.
    
Meskipun masih tersisa waktu tiga bulan lagi, akan tetapi aku pamit juga. Tak kutahan mendengar percekcokan suami istri itu, kadangkala melewati batas, dan buahnya adalah derita si istri dalam tangis atau teriakan minta tolong. Kadang kala keduanya sama meninggalkan bekas lebam-biru karena saling pukul-memukul dengan kayu.
    
Sedih jika aku mendengar teriakan atau tangisan si istri. Rasaku ingin kurangkul ia ke dada, kulindungi dari lelaki jahat yang menyakitinya, akan tetapi tak mungkin kulakukan hal itu karena ia memang istri lelaki itu. Lebih-lebih jika anak gadis mereka ikut menangis, rasanya ingin aku menjadi pahlawan untuk kedua wanita itu. Yang satu ingin kulindung karena aku mencintainya, yang lain ingin kulindung karena ketidakmampuannya melindungi diri sendiri. Dalam usianya yang baru tiga tahun, ia sama sekali tidak memahami apa yang dipersengketakan orang tuanya.
    
Aku pamit dengan berat hati. Terlebih jika memikirkan bagaimana nasib wanita itu di bawah kekejaman lelaki yang menjadi suaminya. Si istri yang seperti gadis baru mekar dengan suami yang cukup berumur itukah sumber sengketa? Saat kusalami untuk pamit, kurasakan genggaman wanita itu seperti suatu isyarat bahwa ia meminta perlindunganku, karena ia lebih menerima bahasa cintaku yang tak pernah kuucapkan.
    
Aku terbebas dari masalah orang lain. Di tempat kosku yang baru aku lebih bisa konsentrasi, karena tidak lagi diganggu oleh kegaduhan orang bertengkar dengan segala sumpah serapah. Tak terasa aku telah berkejaran dengan waktu, dan sepuluh tahun aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri wanita yang kucintai secara diam-diam. Selama setahun aku mondok di rumahnya, selama itu aku memendam perasaan hati, alangkah berbahagianya jika di suatu ketika ia mungkin kujadikannya istri.
     
Akan tetapi ia istri lelaki lain. Tak ada keberanianku untuk merebutnya dari suaminya, apalagi kalau mengingat bahwa aku saat itu hanya mahasiswa yang miskin, sementara ia merupakan istri lelaki yang cukup beruang. Dari kamar rumah sewaan saja suaminya dapat memetik jutaan rupiah. Sementara aku? Untuk membayar sewa kos saja harus meminta kiriman. Apa yang bisa kubanggakan?
    
Namun mata wanita itu adalah mata yang mengundang belas kasihan. Kurasa deritanya seperti kurasakan denyut nadiku. Genggamannya melepas aku pergi seperti ucapan agar aku balik kembali di suatu ketika. Menjemputnya dan membebaskannya dari belenggu seorang lelaki yang jahat.
    
Adakah ia memang tidak mencintai lelaki itu?
    
Ia kawin paksa?
    
Karena harta?
    
Bergidik bulu romaku jika membayangkan bahwa wanita itu mau saja terus berada di bawah kekejaman karena harta?! Tetapi hatiku mengatakan lain. Matanya yang sering kutatap jika aku berpapasan saat pergi atau pulang kuliah, menandakan bahwa ia benar-benar menderita. Ia bukanlah tipe wanita yang mengagungkan  harta.
    
Lalu mengapa ia tetap bertahan di rumah itu?
    
Dan mempunyai anak?
    
Sepuluh tahun yang lalu rasanya seperti sepulas mimpi.
    
Ya, segalanya seperti mimpi.
    
Wanita itu tiba-tiba berada di depanku untuk tujuan wawancara penerimaan karyawan.

                                                                        ***
    
“Retno Setyawati,” kudengan suaraku sendiri. Ia merupakan peserta terakhir. Saat mata kami saling bertemu, ketika ia melangkah melewati  ambang pintu, kulihat ia tertegun sesaat. Sepuluh tahun yang lalu wajah itu hampir tidak berubah, hanya garis-garis kedewasaan tampak menegas pada sorot matanya.
    
Aku persilakan ia duduk. Sepuluh tahun yang lalu tak pernah aku duduk berhadap-hadapan dengan wanita itu, meskipun ingin sekali aku memegang tangannya, mengelus jemarinya yang mulus, atau membujuk saat ia tersedu di balik pintu, karena ia istri lelaki yang memiliki kamar sewaan tempat aku mondok.
    
“Pak Bambang Stiajit?” kudengar suaranya ke luar dari bibir yang bagus berwarna merah karena sehat.
    
“Ya,” suaraku seperti bersipongang di dalam gua. “Yang sepuluh tahun lalu indekos di tempat Ibu. Sudah enam tahun aku berada di kantor ini.”
    
Wawancara berjalan lancar, akan tetapi lebih banyak melenceng pada hal-hal yang bersifat pribadi.
    
Wanita itu mengisahkan pengalaman hidupnya, perkawinan, pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.
    
Dahulu ingin sekali aku memiliki saat seperti ini untuk dapat bercakap-cakap dengannya, akan tetapi aku harus menahan diri. Namun kini wanita di depanku ini justru membawa kehadirannya tanpa kuminta. Adakah memang takdir yang menentukan bahwa aku harus bertemu lagi dengan Retno Setyawati? Memangkah segala yang terjadi di dalam hidup ini telah diatur oleh kekuasaan yang tak kelihatan?
    
“Setelah Bapak pergi, aku merasa seperti sebatang kara di dunia ini,” suara itu menyimpan kegetiran yang perih. “Akhirnya satu per satu anak-anak kos di situ pergi juga. Setelah lulus SMA aku juga pergi!”
    
“Bercerai?”
    
“Tak kutahan hidup di bawah kekejaman dan luka trauma. . . .”
    
“Waktu itu sebenarnya Anda nyambi sekolah?”
    
“Aku terpaksa melahirkan saat akan ujian SMP. Setahun kemudian aku ikut ujian ekstrane, dan masuk SMA.”
    
Tak kutahu jika wanita itu berjuang dengan mendidik dirinya sendiri kalau dilihat bahwa kehidupan keluarganya sangat mapan. Apa lagi yang dicari?
    
“Selepas SMA aku minta talak tiga dan aku menjadi TKW.”
    
“TKW?”
    
“Ngeri kedengarannya. Akan tetapi aku menjalaninya dengan pertolongan Allah. Tiga tahun lamanya aku mengumpulkan uang, dan aku kembali ke Indonesia. Aku masuk universitas. Baru sebulan lalu aku diwisuda.”
    
Hampir mulutku ternganga. Betapa Retno Setyawati berjuang untuk dirinya sendiri. Tetapi mengapa ia bercerai? Karena selalu bertengkar dengan suaminya? Karena selalu disakiti? Mengapa pula ia menikah saat masih di SMP?
    
Kulihat tanggal lahir pada ijazahnya, baru dua puluh delapan tahun. Masih muda. Baru delapan belas saat aku mondok di rumahnya, dan saat itu ia sedang merampungkan SMA? Karena niat sekolahnya itukah ia selalu bertengkar dengan suaminya?
    
Tak kutanyakan mengapa ia melamar di kantor tempatku bekerja sebab yang ingin kuketahui adalah mengapa ia menikah dan kemudian bercerai. Di mana anaknya? Mengapa tadi ia mengatakan luka trauma?
    
“Di mana mantan suamimu?”
    
“Di rumahnya. . . .”
    
“Anakmu?”
    
“Bersama kakaknya.”
    
“Kakak? Jadi Anda sudah punya anak sebelum itu?”
    
“Belum.”
    
“Belum? Lalu kakak anakmu itu siapa?”

                                                                        ***
    
Retno Setyawati menceriterakan latar belakang hidup pribadinya bahwa ia sebenarnya diambil orang tua mantan suaminya dari panti asuhan.
    
“Sampai kelas dua SMP aku rasanya bahagia,” bibir itu mulai dengan pengakuan. “Sampai segalanya terjadi.”     
    
“Kau diperkosa calon suamimu?”
    
“Bukan!”
    
“Lalu?”
    
“Ia sebenarnya tumbal. Ia biseks!”
    
“Tumbal biseks?  Jadi kalian sering bertengkar karena ia biseks? Karena mantan suamimu itu suka nyeleweng?”
    
“Salah satunya memang itu. Selebihnya karena trauma.”
    
Sulit aku menduga apa yang dimaksud Retno Setyawati.
    
“Trauma? Maksudmu apa?”
    
“Saat aku hamil ayah ibu mantan suamiku itu meninggal dalam kecelakaan pesawat udara.”
    
“Apa hubungannya dengan trauma?”
    
“Aku sebelumnya dinikahkan dengan mantan suamiku itu.”
    
“Kau dipaksa?”
    
“Lebih daripada itu!”
    
Retno menceriterakan bahwa akhirnya ia harus menerima perkawinan itu karena terpaksa. Satu-satunya lelaki yang bisa menutup aib hanyalah mantan suaminya itu.
    
“Mengapa?” aku makin penasaran.
    
“Bapak tadi menanyakan anakku.”
    
“Ya. Kakak anakku itu mantan suamiku.”
    
“Mantan suamimu? Aku tak mengerti,” aku makin penasaran.
    
“Aku menderita trauma karena aku diperkosa ayah mantan suamiku itu. Itulah sebabnya hanya mantan suamiku itu yang mampu menutup aib keluarga. Bagaimana mungkin aku hidup dengan luka hati semacam itu? Aku melahirkan anak dari ayah suamiku sendiri!”
    
“Jadi mantan suamimu itu kakak anakmu?”
    
“Ya. . . .”
                                                                        ***
    
Ruwet sekali kisah hidup Retno Setyawati. Akan tetapi saat wawancara kuakhiri, aku sudah tahu bahwa aku harus menyelamatkan Retno. Sepuluh tahun yang lalu aku yakin aku mencintainya, dan kini kurasa aku tetap mencintainya. Nanti akan kukatakan bahwa ia tidak lulus sebagai karyawan akan tetapi ia lulus tes sebagai istri!
    
Di mobil aku bersiul kepada kemacetan Jakarta sambil mencari alamat Retno Setyawati. Umurku baru dua puluh sembilan, dan Retno dua puluh delapan. Masih berapa tahun lagi ia mampu melahirkan bukan karena trauma tetapi karena cinta.
    
Aku terus bersiul kepada kehidupan. . . .

                                                                                                      
Jakarta, 30 Januari 1996
(Kado untuk D di Perumnas III Bekasi)

0 comments: