Thursday, March 14, 2019

Sastrawan dan Politik, Apakah Benar-Benar Terpisah Satu Sama Lain?



Tidak sedikit orang beranggapan sastrawan itu manusia yang istimewa. Tidak sekadar mahir berkata-kata indah, tetapi juga memiliki kematangan jiwa, baik dari sisi intelektual, emosional, spiritual, sosial, maupun sisi-sisi lainnya dalam hidup dan kehidupan. Singkat kata, sastrawan dianggap sebagai manusia arif dan bijaksana. Itulah sebabnya, tak jarang pula orang yang dikenal masyarakat sebagai sastrawan, enggan disebut sastrawan karena merasa belum pantas menyandang sebutan istimewa itu.

Mungkin anggapan seperti itu tidak seratus persen salah. Dan tidak pula seratus persen benar.  Yang jelas, sastrawan itu manusia biasa. Bukan diciptakan dari api, bukan pula dari cahaya, apalagi setaraf dengan nabi. Tidak!

Seperti manusia umumnya, sastrawan punya akal, punya hati. Hidup berdampingan dengan manusia-manusia lainnya. Bisa di sebuah desa, atau bisa di kota dalam sebuah negara. Dalam kaitannya dengan yang terakhir tadi, tak bisa dipungkiri bahwa sastrawan merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri yang memiliki identitas sebagai warga negara tertentu. Sebut saja Indonesia, Malaysia, atau negara lainnya.

Sudah barang tentu, sastrawan masuk dalam perkara pemimpin dan rakyat. Ya, kalau ia bukan pemimpin, ya rakyat. Artinya, sastrawan hidup di wilayah yang di dalamnya ada orang yang memimpin dan orang-orang yang dipimpin (kebanyakan sastrawan ada di area ini).

Lalu, apakah sastrawan hanya sekadar dipimpin atau memimpin (lingkup politik) dalam sebuah negara? Tentu tidak.

Semua yang hidup pastilah bergerak. Terutama manusia. Ada perenungan terhadap dunia sekitar, termasuk juga dalam hal kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan permasalahan di masyarakat, khususnya kesejahteraan. Jika ia penyair, hasil kontemplasi batinnya bisa diwujudkan dalam bentuk puisi. Begitu pula dengan sastrawan yang menggeluti genre-genre lainnya. Pemikiran mereka (baca: para sastrawan) misalnya, beragam. Ada yang berisi kritik terhadap pemerintah, ada pula yang sebaliknya. Karena, kembali kepada hal dasar bahwa pemikiran manusia tidak semuanya sama.

Nah, berikut adalah contoh puisi-puisi bertema politik karya Radhar Panca Dahana yang termuat dalam buku sekumpulan puisi politiknya berjudul Manusia Istana.

SEJILID KOMIK KRITIK-POLITIK

tapi ia sudah jadi sinema
di bioskop dan dividi rumah tangga
hiburan murah tampaknya mewah
negeri indah di tumpukan sampah.
di paripurna perlemen, kursi kabinet
meja hakim, seragam polisi, tongkat
jenderal hingga pemimpin pilihan
publik, katanya.

cerita-retorika dimainkan
kebijakan diputuskan
perdebatan digulirkan
ramai benar rumah negara kita
seolah benar negeri ini ditata
tapi di ujung telepon
atau sudut ruang pemerintahan
tekanan tawar-menawar dan ancaman
mendahului semua cerita
melampaui segala prakira
hanya beberapa kepala berbunyi kapita
pakaian necis, rambut kelimis
membuat semua yang merasa kuasa
tak berdaya: jadi kelinci lucu
atau bidak-bidak yang berlagak lagu
membuat politik menjelma kronik
jadi gosip berpilin kritik.

tata negara kini tata kapita           
ekonomi mesin: rakyat diperalat
konstitusi tinggal katakata mati
bukan lagi singgasana berkuasa
gergasi modal tak kasat mata
intelijen jadi darahnya
triliuner lokal makelarnya
dan komik pun terus cerita
pahlawan palsu genit bergaya
media massa memamahnya
kita mengunyahnya.

dan kemiskinan jadi jambannya
kebodohan hasil residunya
bencana di ampas masa depannya.

di kursi penonton
sinema itu tetap memesona
wanita cantik hero yang tampan
negeri kini tinggal hiburan
direproduksi untuk bisnis sampingan.
betapa lucu gaya pimpinan
pahlawan lugu tidur kemalaman
rakyat senang menjadi korban.

komik ini, komik politik
entertainment tak ada habisnya
kesenangan di sisa jiwa.


DEMONKRASI PAGI INI

belum lewat jam enam pagi.
2.100 kaki memadati garasi
seri E, alphard, camry, dan satu pintu
lamborghini, sejak subuh pergi
berganti spanduk dan slogan,
megafon, kamera dividi, dan
sarapan pagi, lengkap:
nasi padang, telor, sambal,
ayam panggang, dan tusuk gigi.

“saudarasaudara, mari kita mulai
dengan santiaji!”

keserakahan dan korupsi
jadi urat nadi di negeri ini
kita adalah darahnya saudarasaudara!
keparat dan bajingan asing
komprador yang melulu bising
mengisi kantor dan rekening
lalu kita, jadi nasabahnya, saudara!

jadi, janganlah bimbang
mari berjuang dan menang!
lawan perusak negara, lawan
ayo, bariskan ambisi
kuras habis negeri ini.
merdeka! merdeka!
merdeka kekayaan kita.

lewat sedikit jam tujuh pagi
2.100 bersalin 10.000 sepatu
memacu nafsu, mengepal tinju

hari ini parlemen, istana, mahkamah,
kejaksaan, dan ka-pe-u kita serbu!
turunkan penguasa dan penipu
benalu kesejahteraan
juga kerakusan kita.

hahaha … tak perlu ragu, saudaraku
semua ada ganjarannya
semua aman kantongnya
semua ikut saja denganku
elitelit yang demonkratis
demondemon yang bau amis
lipat 10.000 jadi 10 juta
jarah 10 juta jadi semiliar harta
selamatkan semua,
lengkap dengan subsidi, be-el-te,
hibah, pinjaman, valuta, saham,
dan kapital segala modal.

kabarkan pada semua
turun ke jalan naik singgasana
di bank terdekat kita bersua
berbagi rizki dan sedikit kuasa
tanpa tanya tanpa mengapa.

demonkrasi .. hidup demonkrasi
dengarlah aku bersumpah
kita akan jadi sejarah
membela tanah tumpah darah
demi bangsa tegak dan gagah
demi harta kita melimpah
bersekutu sedikit dengan penjajah
sekadar taktik, tak apalah
yang penting, kita tak pernah kalah
hahaha … tak pernah kalah.

demonkrasi …
hidup demonkrasi!


KAMPANYE HARI KE-5

“wahai durga kala
hujani kami dengan ludahmu
pengapkan hidung dengan dusta
dan biar mereka, seratus juta telinga
mendengar: dunia milik mereka!
            bangsa jadi nasibnya
            kuasa adalah tuhannya
            uang untuknya menyerah
            utang seraplah dalam darah”

“rakyatku,
kalian bukan batu terinjak
bukan tanah tandus terbajak
bangkit rakyatku,
lawan pemimpin tipu,
pengempit hartamu,
penjajah palsu dan agama hantu,
sebab semua itu, rakyatku
semua itu … milikku!”

“hahaha … milikku!”

“demi pendiri bangsa ini,
aku bersaksi, kitalah bukti
kedaulatan sampai mati, hati
mengecoh nurani, dan ekonomi
= harga diri.
maka, lihat aku … lihat aku!!!
masa dalam mimpimu, pilihan
tanpa sangsi, penguasa segala
kroni, penyambung lidah korporasi
setia berjanji: makmurlah negeri
kokohlah jati diri, sejati dalam janji
untuk sendiri menanggung upeti
pada pemimpin abadi:
tuan modal bijak bestari.”

“hahaha …”

“pilihlah aku, tak salah lagi.”


Demikianlah contoh puisi-puisi Radhar Panca Dahana. Siapakah ia? Lahir di Jakarta, 26 Maret 1965. Ia seorang alumnus EHESS Paris, Prancis. Selain sebagai  pengajar sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, ia juga dikenal sebagai sastrawan dan budawan terkemuka Indonesia.  Adapun kumpulan puisinya adalah, Simfoni Duapuluh (1985), Lalu Waktu (1994), Lalu Batu (2003), Lalu Aku (2011) dan Manusia Istana (2015). Buku prosa Masa Depan Kesunyian(1996), Ganjar & Si Leungli (1997), Cerita-cerita dari Negeri Asap (2005). Di samping itu, ia juga menulis buku esai-esai seni, humaniora, buku teater, dan komik. Buku teaternya Republik Reptil (2010), Teater dalam Tiga Dunia (2012),Pekcang dan Marita (2014) dan buku komiknya Mat Jagung (2009).

0 comments: