Tuesday, January 29, 2019

TERPERANGKAP, Sebuah Cerpen Korrie Layun Rampan dalam Nyanyian Lara



   
“Tak ada lagi yang ketinggalan?” Tamin menatap Tamah yang sedang memindahkan barang-barang belanjaan dari kantung kecil ke kantung yang lebih besar. “Termasuk gincu dan penebal alis?”
   
Tamah tertawa dalam deru bus antarkota.
   
“Sepatu bootmu saja ada, Min. Bahkan jarum dan obat luka.”
   
Mereka tertawa bersama.
   
Bus melaju dengan kencang. Kadang gerakan bus seperti disentak, kadang tak tersangka menyalip ke bagian yang lapang dari kendaraan lainnya. Meskipun berada di jalan yang mulus, bus melaju dalam kondisi yang tak begitu nyaman. Kadang zig-zag.
   
“Barang-barang yang tak dibutuhkan segera nanti dipak saja,” Tamin menunjuk tumpukan tas plastik. “Waktu kita sangat singkat, Mah,” lanjut lelaki muda itu kepada perempuan muda di sampingnya. “Jangan nanti malah merepotkan kita.”
   
“Merepotkan apa?” Tamah memegang lengan Tamin. “Bukankah apa yang kita belanjain sesuai dengan catatan kebutuhan?”
   
“Maksudku, barang yang kita butuhkan di sini kita sendirikan, sedangkan yang kita perlukan nanti di sana kita sisihkan.”

Mobil terus menderu di jalan bebas hambatan.

“Memang begitu, Tuan,” Tamah berkata sambil tertawa. “Katamu apa yang kurang bisa kita beli di Banjarmasin atau Palangkaraya.”

“Benar, Nya,” Tamin juga tertawa. Ia merasa sungguh senang berdampingan dengan Tamah, gadis yang diidamkannya karena cepat sekali menyesuaikan diri. Meskipun baru setahun berkenalan di Jakarta, Tamah mantap di hati Tamin. Ia kemudian segera melamar, setelah berdua sama sepakat membina rumah tangga. “Tamah memang guru terpuji,” Tamin melanjutkan.

“Insinyur muda jangan terlalu menyanjung,” Tamah senyum di kulum. “Bisa pingsan yang dikatakan.”

Tamin juga tersenyum. Hatinya berbunga menghadapi hari-hari sibuk padat kerja. Telah ia dapatkan izin pernikahan, dan selanjutnya surat berhenti berikut referensi. Ia telah memutuskan untuk meninggalkan Jakarta dengan keyakinan bahwa pilihannya tidak keliru. Seperti juga pilihannya pada Tamah. Gadis itu lebih mudah, karena kerjanya sebagai guru tak usah berhenti sebab dapat mutasi. Di tempat yang baru ia bisa mengajar di SD sampai SMU atau SMK. Sebagai lulusan jurusan pendidikan, tenaga dan waktunya yang mungkin tak cukup dan kemudian menjadi lelah untuk mengisi ruang-ruang sekolah di daerah.

Tamin merasa lebih berdebar karena dipercaya ikut membuka lahan sejuta hektar.

“Proyek ini membutuhkan sejumlah motivator,” ia ingat percakapannya dengan wakil pemda. “Karena itu kami sangat berbahagia kalau yang ikut serta ada yang sarjana.”

Tamin memang sarjana pertanian.

“Tapi aku kekurangan pengalaman lapangan,” ia berkata dengan jujur. “Empat tahun kuliah dan kemudian bekerja kantoran di Jakarta. Namun aku ingin sekali menerapkan ilmu yang kudapatkan di bangku sekolah.”

“Pengalaman akan menyertai di dalam kepanjangan waktu,” wakil pemda itu melihat kesungguhan di mata Tamin. “Asal ada kemauan, jalan pasti terbuka.”

Ia memang telah dengar anjangsana pemda tentang proyek raksasa di hutan belantara. Ia dengar juga cuapan propaganda pencarian tenaga petani untuk lahan pencetakan sawah baru. Bahkan ia juga membaca berita bahwa pihak transmigrasi telah mendapatkan dana enam miliar  untuk menyiapkan pemukiman para transmigran. Namun sebenarnya Tamin sudah lama ingin melakukan sesuatu yang berarti bukan hanya untuk dirinya sendiri, terutama ia tertarik pada bidang penelitian. Kawasan pencetakan sawah baru diketahuinya sebagai kawasan tanah bergambut. Bukankah tanah seperti itu merupakan objek yang baik sekali untuk diteliti?

“Jika Anda mau,” ia juga ingat kata-kata wakil pemda, “Anda harus berangkat berdua.”

“Berdua? Dengan siapa?”

“Dengan istri.”

“Istri?”

“Anda belum beristri?”

“Belum.”

“Itu syarat kami,” wakil pemda itu menekankan soal syarat. “Tapi ‘kan syarat yang ringan,” sang wakil tersenyum sendiri. “Masa sarjana akan kewalahan mencari pendamping diri?”

Ia tersenyum dalam hati. Bukankah Tamah telah siap menjadi istri? Ia memang belum dibicarakan secara serius kapan waktu mereka meresmikan hubungan setelah setahun pacaran. Namun dari pembicaraan selintasan Tamah justru ingin segera resmi sebagai suami istri.

“Persiapan memang ada,” ia berkata jujur, “tapi waktunya belum ditetapkan.”

“Tetapkan saja secepatnya,” sang wakil ikut senang. “Kami selalu menanti kabar gembira.”

Baru sebulan yang lalu pertemuan itu terjadi. Kini Tamin bersama Tamah telah sepakat untuk tidak lagi menunda pernikahan setelah lamaran disampaikan. Adik Tamah menjemput dari Sukabumi, dan tiga hari lagi ijab kabul berikut resepsi diselenggarakan.

“Kami akan tempatkan Anda berdua sebagai transmigran umum berbantuan,” Tamin ingat ucapan pejabat teras di kantor transmigrasi kemarin. “Keinginan menjadi transmigran dari kalangan sarjana kami dukung sepenuhnya,” lanjut pejabat itu.

Tamin sebenarnya hampir tertawa. Kisah dirinya mirip sebuah pamflet propaganda.

“Bahkan,” lanjut pejabat teras itu, “jika Anda berdua ingin cepat, kami bisa usahakan membantu penerbangan ke Banjarmasin atau Palangkaraya, sebelum menuju kawasan lahan.”

Tamin ingat ia hanya mengangguk saja. Ia sebenarnya tidak ingin diistimewakan. Bahkan ia ingin berangkat bersama keluarga transmigran yang benar-benar berasal dari desa. Bukankah nanti ia akan menjadi motivator mereka? Mengapa ia harus tidak berada di dalam rombongan bersama?

Ia pun mendaftar waktu keberangkatan.

“Tapi ia harus bersama istri,” pejabat itu mengerling kepada Tamah. “Anda berdua belum menikah?”

“Baru akan,” Tamin mengedipkan mata pada Tamah. “Besok kami akan pulang ke Sukabumi untuk tujuan perkawinan.”

Urusan di kantor itu tak bertele-tele, karena semua surat yang dibutuhkan akan segera dilengkapkan. Kepastian waktu sudah diketahui, tinggal mereka menyelesaikan ijab-kabul dan resepsi di Sukabumi.

“Kok dari tadi tersenyum sendiri?” Tamah mengejutkan Tamin. “Sedang memikirkan pacar lama di Jakarta?”

“Memikirkan kita, Mah. Semua urusan seperti mimpi. Kok kita nekat meninggalkan pekerjaan yang sudah pasti untuk berangkat pada sesuatu yang belum pasti. Apa kau mampu hidup di hutan sawah baru. . .?”

“Jadi Tamin masih ragu?”

“Tidak!”

“Lalu. . .?”
                                                          ***

Bus terus melaju.

Tarmizi, adik Tamah, yang menjemput dari Sukabumi tampak sedang tertidur, mungkin kelelahan. Pemuda itu juga mengatakan ia tertarik ikut jika nanti sudah lulus universitas. “Hanya beratnya,” tadi ia berkata kepada Tamah, “mengapa harus menikah. Maksud Tarmizi, mengapa diharuskan mempunyai istri.”

“Agar tidak menciptakan kesulitan baru,” Tamah berkata sekenanya. “Coba kalau berbuat skandal di tempat baru? Siapa yang malu?”

“Tapi aku ingin sekali mengolah sawah, Mah,” Tarmizi seperti merengek. “Rasanya kaya raya karena disediakan dua hektar lahan. Siapa yang memberi tanah seluas itu di Sukabumi?”

“Tak ada, “ Tamah menjawab seperti orang tolol. “Hanya trasmigran yang disediakan. Itu untuk siapa yang mau datang memenuhi syarat yang ditetapkan. Jangan nanti sawah yang dicetak dijual lagi.”

Bus terguncang tetapi Tarmizi tampak nyenyak sekali.

Sementara di Sukabumi rumah Tamah sudah dihias dengan semarak. Aroma pengantin mengoar dari seluruh bilik dan ruang dalam hingga ke beranda. Hampir semua keluarga sudah hadir menanti kedatangan dari Jakarta. Perkawinan ini menjadi buah bibir karena memiliki keunikannya, sebab kedua mempelai akan segera hengkang ke tanah seberang. Kaum keluarga ingin berjumpa, sebab entah kapan bisa bertemu, jika Tamah dan Tamin sudah pergi dari Sukabumi. Undangan ribuan lembar sudah disebar dengan catatan bahwa kedua mempelai lebih suka menerima kado berupa uang daripada barang karena mereka akan segera pergi transmigrasi.

Bus berguncang lagi saat Tamah membayangkan dirinya menjadi guru di lahan sejuta hektar. Betapa banyaknya murid sekolah, betapa dirinya seperti wanita primadona di tengah tepuk sorak anak-anak yang bergembira menjelang panen tiba. Sementara Tamin lagi-lagi tersenyum sendiri saat terlintas dirinya sedang berdiam di sisi unggun api di tepi aliran pengairan luasan tanah sejuta hektar. Ia berdua Tamah sedang memanggang ikan hasil tangkapan dari waduk raksasa yang dirancangnya untuk mengairi tanah sawah. Waduk, ikan, padi, palawija, sayur-mayur, dan buah-buahan yang mengenyangkan Indonesia raya terhampar di pelupuk mata.

Alangkah membahagiakan.

Bus berguncang lagi Tamah merasa ada benturan yang keras sekali. Tamin memegang Tamah yang limbung dan Tarmizi ambruk bersama sejumlah tas plastik belanjaan. Beberapa penumpang bahkan seperti terbang jatuh dari jok menggelosor ke bawah. Beberapa orang anak berteriak dan menangis, sejumlah wanita berseru nama ibu, dan sejumlah penumpang lelaki istiqfar menyebut asma Allah.

Cepat sekali kejadiannya, seperti sebuah mimpi neraka. Tak seorang pun penumpang memperhatikan saat bus menyalip dari kanan ke kiri lalu melaju di bahu jalan. Ternyata di bahu jalan tol itu berjajar tiga kendaraan sedang berhenti untuk mendinginkan mesin yang panas.

Jam nahas dalam benturan yang keras menyulutkan api dari mobil yang nyangsang di moncong bus antarkota. Kebakaran terjadi dengan cepat dalam bus yang tertutup rapat. Puluhan penumpang terpanggang hidup-hidup tanpa dapat meloloskan diri. Pintu hidroliknya ngadat? Mengapa tak ada pintu darurat? Sopirnya teler? Mabuk ecstasy?

Petugas jalan raya yang membantu tak mampu segera memadamkan api yang mengojah langit. Saat televisi menayangkan kejadian mengenaskan itu, kengerian mengetuk hati-nurani. Sejumlah mayat tumpang tindih di depan pintu legam terbakar seperti arang. Sejumlah pamirsa istigfar dengan hati trenyuh. “Dosa siapa hingga muncul cobaan begini? Dosa apa gerangan hingga cobaan bertubi-tubi?” Sementara di Sukabumi ayah ibu Tamah dan Tamin sama saling berdoa, “Dijauhkan Allah kiranya bencana pada anak-anak kami.” Para petugas lahan sejuta hektar juga melihat peristiwa itu di televisi dan mereka ikut sedih. “Untung di sini tak ada jalan tol?” seorang petugas berkata kepada rekannya. Dari semua pemirsa itu tak ada yang tahu, siapa saja penumpang bus nahas tersebut.

Di Sukabumi keluarga Tamah dan Tamin dan Tarmizi terus menanti. Saat petugas mengevakuasi para korban dilakukan visum, roh Tamah dan Tamin dan Tarmizi naik ke keabadian.

“Kok kita tak jadi ke lahan sejuta hektar?” suara Tamah gemetar. “Lagi, Tarmizi ikut serta? ‘Kan ia belum menikah. Tak boleh ‘kan ikut transmigrasi?”

“Kita juga belum sempat menikah, Mah. Kapan kita bisa jadi transmigran?” Tamin memandang ke wajah Tamah.

Tarmizi tak bereaksi. Sementara mereka terus melayang seperti kapas kering dalam tiupan angin siang yang panas.

Jakarta, 1 April 1996
(Kado untuk Mas Iman Budhi Santosa)



0 comments: