Tuesday, January 29, 2019

UPACARA YANG NIKMAT, INDAH, DAN MENCERDASKAN


oleh Tirto Suwondo

Kita harus percaya, sastra tidak hanya sekadar rentetan kata kosong belaka, tetapi lebih daripada itu, sastra mampu memberikan kenikmatan (batin), membangun keindahan (hidup), juga menambah kecerdasan (otak). Di tangan orang biasa, kata-kata (bahasa) boleh jadi hanya sekadar piranti komunikasi biasa, tetapi tak demikian di tangan pengarang. Oleh pengarang, kata-kata (bahasa) telah dipilih, dikemas, dan diberi kekuatan yang luar biasa sehingga kata-kata (di dalam sastra) itu mencerminkan sesuatu yang memiliki empat sifat—angin, air, api, dan tanah—yang tak seorang pun pernah lepas darinya. Baiklah, barangkali itu hanya teori. Sekarang, mari kita coba buktikan. Dan untuk membuktikan, bacalah novel Upacara karya Korrie Layun Rampan. Kalau kita membaca novel Upacara itu secara utuh dan seksama, segera kita akan menangkap beberapa hal.

Pertama, cobalah kita telusuri lebih dahulu kisah hidup tokohnya. Tokoh ‘aku’ dalam novel ini digambarkan hidup di sebuah masyarakat—Suku Benuaq, Dayak—di  pedalaman Kalimantan; dan masyarakat itu masih menjunjung tinggi tradisi budaya setempat yang terwujud dalam bentuk upacara-upacara (kebaktian/religi). Setidaknya ada empat upacara besar yang dilukiskan dalam novel ini, yakni balian (upacara yang dilakukan oleh dukun dalam hubungannya dengan nasuq juus atau pencarian jiwa yang hilang); kewangkey (uapacara penguburan tulang-belulang manusia); nalin taun (pesta tahunan yang berupa upacara persembahan kepada para dewa untuk menghindarkan kampung dari dosa dan malapetaka); dan pelulung (upacara perkawinan).

Selain itu, masih ada beberapa upacara kecil-kecil, di antaranya ompong (upacara adat atau gengsi), senteau (mencari sebab-musabab penyakit), ngejakat (belian awal, penyembuhan penykit ringan), tempong pusong (saat pusar bayi tanggal); dan lain sebagainya (kalau disebut satu per satu, ada puluhan lagi yang berhubungan dengan manusia, pembangunan rumah, perladangan, seni-budaya, hutan alam, dan lain-lain). Dan setiap diselenggarakan upacara, pengarang melukiskan secara detail/meyakinkan, sehingga kita (pembaca) larut ke dalamnya dan sampai pada sebuah anggapan bahwa upacara merupakan bagian dari kehidupan nyata dari kebaktian yang tak dapat dihindarkan dari kehidupan masyarakat saat  itu (Benuaq, Dayak). Dan dalam kaitan ini, karena si aku lahir dan besar di masyarakat tersebut, mau tidak mau, ia harus menerima sebagaimana adanya. Maka, ia pun tak kuasa menolak setiap diselenggarakan upacara baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keperluan (orang) lain.

Akan tetapi, ketika ia dewasa dan telah mengenal cinta, yang bukan suatu kebetulan dibarengi oleh perkembangan zaman, lebih-lebih ketika orang-orang luar (Barat) mulai berdatangan dengan membawa misi yang dilandasi pikiran modern dan rasional, dalam diri si aku pun berubah. Sehingga ia mulai bertanya, apa yang dinamakan kehidupan itu harus dilalui dengan upacara? Atau memang hidup itu upacara? Lalu apa tujuan hidup itu? Dan di tengah berbagai upacara itu, bagaimana sesungguhnya Tuhan yang mahaesa seperti yang sering dikatakan oleh orang Barat (Tuan Smith)?

Berangkat dari sekian banyak pertanyaan itulah pikiran si aku kemudian goyah, bingung, dan bahkan menyangsikan keberadaan/kebenaran upacara-upacara tersebut. Kesangsian itu pula yang membuat ia kemudian tak percaya bahwa balian (dukun) yang mengatakan bahwa gadis-gadis yang dicintai si aku dan hendak diperistri (Waning, Rie) akan selalu mati muda akibat terkena kutukan. Itulah sebabnya, di akhir cerita, si aku kemudian memiliki keyakinan penuh, bahwa tak seorang pun bisa meramalkan kematian seseorang—kecuali Tuhan Yang Mahaesa—sehingga  ia berani menikahi Ifing, adik Waning. Si aku berpikir bahwa ia akan hidup bahagia sampai tua bersama Ifing istrinya dan tidak lagi takut pada ramalan balian.

Nah, dengan menelusuri sejarah hidup dan lukisan pengalaman batin si aku tatkala menyaksikan sekaligus menjalani berbagai macam upacara itu, diakui atau tidak, kita merasa mendapatkan kenikmatan tertentu. Kenikmatan itu timbul tidak hanya karena dalam batin kita juga muncul sekian banyak pertanyaan seperti yang ada di dalam pikiran si aku, tetapi juga seolah kita dibawa serta menghayati alam pikiran dan kehidupan orang Benuaq (Dayak), bahkan seakan kita sendiri merasa terjun ke dalam dunia gaib mereka, ke dalam kosmos dan kepercayaan mereka. Kita tak dapat membayangkan—ini akan menimbulkan kenikmatan tertentu—bagaimana seandainya kita adalah si aku dan bagaimana menghadapi upacara-upacara itu? Nah, lintasan dan kenyataan itulah, yang, dalam tataran tertentu, membawa kita pada suatu suasana yang menikmatkan. Dan kenikmatan serupa juga akan kita rasakan tatkala kita mengandaikan diri sebagai si aku yang ‘dipermainkan’ nasib dalam bertualang cinta.

Kedua, ketika kita mengikuti alur petualangan cinta si aku, mulai dari kisah asmaranya dengan Waning sampai pernikahannya dengan Ifing, hidup kita juga terasa  lebih indah seindah kehidupan si aku dan Ifing. Hal itu terasa ketika kita menyaksikan di akhir cerita si aku berhasil meyakinkan diri bahwa tiada seorang pun yang bisa menentukan nasib/takdir seseorang kecuali Tuhan Yang Mahaesa. Keyakinan diri si aku itu—sehingga ia berani memutuskan menikahi Ifing—tidak lain adalah suatu kemenangan, dan kemenangan si aku melawan mitos dan ramalan balian tentang “siapa pun gadis yang dinikahi si aku akan mati muda” adalah suatu keindahan, sementara keindahan hidup si aku bersama Ifing adalah keindahan hidup kita juga. Jadi, keyakinan dan kemenangan si aku menjadi cermin yang meyakinkan kita bahwa di dalam kehidupan ini  kita diharapkan tidak berpaling ke yang lain kecuali kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Memang, kalau kita hanya membaca dan meresapi kisah kehidupan si aku di akhir cerita, pernikahan si aku dengan Ifing belum bisa menjadi cermin keindahan  hidup sebuah keluarga. Sebab pernikahan semacam itu hanyalah merupakan peristiwa biasa sebagaimana pernikahan pada umumnya. Barulah pernikahan itu menjadi tidak biasa, menjadi istimewa, dan terasa lebih indah, karena dibumbui oleh berbagai peristiwa sebelumnya. Kehidupan si aku dan Ifing tidaklah indah tanpa adanya kisah tentang ketidakmengertian si aku mengapa Waning, gadis yang pertama dicintainya, harus meninggal di mulut buaya. Pernikahan si aku dengan Ifing juga takkan terasa indah jika tidak diawali dengan peristiwa mengapa Rie harus mati di air terjun yang menurut balian memang dikehendaki Dewa Air. Jadi, kalau kita cermati benang merahnya, peristiwa demi peristiwa yang terjadi sebelumnya menjadi semacam suspense dan foreshadowing sehingga bersatunya si aku dan Ifing ke dalam suatu ikatan keluarga terasa melegakan dan membahagiakan; dengan begitu terasa lebih indah.

Ketiga, itu tadi satu sisi tentang kisah kehidupan tokoh. Sekarang, mari kita lihat apa yang muncul di balik kata-kata (bahasa) ciptaan pengarang. Karena kata-kata  (bahasa) adalah simbol, dan simbol adalah cara penyampaian sesuatu untuk maksud lain, tentu saja di balik novel ini juga ada maksud lain. Dan, setelah menikmati dan menghayati novel ini, satu hal yang segera kita tangkap adalah bahwa pengarang ingin membongkar mitos. Agaknya Korrie ingin membuka mata masyarakat, bahwa mitos—berbagai macam upacara yang dilakukan sejak manusia lahir, remaja, dewasa, menikah, sampai mati—itu tidak layak lagi untuk dijadikan pegangan hidup dan hanya merupakan pemborosan belaka. Jadi, yang layak dikerjakan demi hidup dan kehidupan hanyalah tindakan rasional dan akal sehat. Selain itu, Korrie juga ingin menunjukkan kepada masyarakat (pembaca) bahwa manusia itu ciptaan Tuhan Yang Mahaesa sehingga ia mau tak mau harus dan hanya boleh berpaling pada-Nya. Lebih dari itu, dalam novel ini Korrie secara implisit juga melakukan protes atas dampak modernisasi dan dehumanisasi. Hal ini ia lakukan karena saat itu banyak terjadi malapetaka akibat orang-oprang Barat (pendatang) suka mempermainkan gadis-gadis Dayak di samping merusak (menggunduli) hutan.

Itulah, antara lain, sisi tertentu yang mencerdaskan (otak) kita dari karya sastra, tak terkecuali dari novel Upacara. Dan contoh ini hanya sebagian kecil saja, sebab sisi-sisi lain yang menderaskan otak itu masih banyak. Taruhlah misalnya pilihan kata-katanya yang diambil dari bahasa daerah (Dayak). Melalui kata-kata bahasa daerah itu—misalnya, anan la lumut ‘perjalanan ke surga’, lamin ‘rumah panjang suku Dayak’, selolo ‘sobekan daun pisang sebagai sarana perdukunan’, burey ‘pupur yang dibuat dari tepung beras’, dan sebagainya—kita akan memperoleh banyak pengetahuan tentang kebudayaan Dayak di Kalimantan. Karena itu, membaca novel ini berarti sekaligus belajar tentang etnologi budaya Dayak, seperti halnya kita belajar kebudayaan Jawa dari novel Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari atau Para Priyayi Umar Kayam; atau belajar kebudayaan Minang dari karya Wisran Hadi dan Darman Moenir; atau belajar kebudayaan Bali dari karya Oka Rusmini.

Demikianlah, ulasan sepintas—yang nikmat, indah, dan mencerdaskan—atas novel pertama karya Korrie Layun Rampan yang pernah memenangkan sayembara penulisan novel DKJ 1976. Kalau dilihat estetika strukturnya, memang novel ini tidak begitu istimewa, lebih-lebih segi alur dan sistem pengalurannya. Hanya saja, yang membuat novel ini menarik adalah aspek lokalitasnya pada awal 1970-an memang merupakan sesuatu yang baru dalam kancah sastra Indonesia. Selain itu, yang lebih menarik lagi, dalam novel ini Korrie mampu menghindar dari kecenderungan untuk menciptakan karya kitsch.

Hal tersebut terlihat pada usahanya mengakhiri cerita. Di akhir cerita, Korrie mampu menjaga keseimbangan untuk tidak secara frontal menolak mitos. Dan itu agaknya merupakan suatu kesengajaan agar tidak dianggap sebagai ‘pengkhianat’ terhadap kepercayaan dan tradisi budaya daerah suku itu (Benuaq). Buktinya, di akhir ia tidak mengemukakan apakah perkawinan si aku dan Ifing langgeng sampai tua atau tidak. Dan langgeng atau tidak perkawinan mereka, Korrie menyerahkan sepenuhnya pada tafsiran pembaca. Sebab, kalau mereka digambarkan langgeng sampai tua, misalnya, berarti niat Korrie membongkar mitos terlalu kentara (eksplisit); dan tentu saja ini tak bagus bagi sastra yang bermain di dunia simbol.(*)   

Catatan:
1). Tulisan ini dikutip dari majalah Horison No. 11, Th. XLII, November 2007, “Kakilangit”, 131/November 2007, hlm. 7-8.
2). Tirto Suwondo, sastrawan, peneliti, esais, Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah. Ia telah menulis sejumlah buku berupa hasil kajian, kritik dastra, esai, dan cerita anak-anak.

0 comments: