Sunday, January 6, 2019

Senja di Pelabuhan Kecil, Sebuah Cerpen Mia Ismed






Senja ini datang lagi. Rona keemasan itu seakan mohon diri dengan santun. Suaranya lembut melantunkan doa-doa yang amat khusyuk. Dan anehnya hanya aku yang mampu memahaminya. Pelabuhan yang menyandarkan kapal-kapal pengharapan hilir mudik dengan lenggana. Di sudut loket penyeberangan itu masih sama seperti lima tahun lalu. Pohon mahoni dengan kursi panjang. Disanalah kukayuh harapanku menemui lelaki bercambang dengan mata sayu. Ya, lima tahun lamanya rinduku mangkrak, seakan semuanya baik-baik saja. Lelaki itu tak kunjung tiba. Masih terngiang janjinya diujung senja itu. Kulepas kepergiannya bersama datangnya kejora yang begitu kilap. Seakan bintang itu memberiku kekuatan akan janjinya yang didengar seluruh semesta.  “Wira akan memenuhi janjinya untukmu”. Kata kejora malam itu.

Kupandangi lekat-lekat langit yang legam di pesisir ini. Kucoba ajak bicara bintang gemintang yang tak pernah ingkar menemui malam. Meski cahayanya kadang harus tenggelam karena mendung yang didesak hujan berebut bumi. Rindu ini menangis. Menatapmu pun tak mampu. Haruskah aku menaruh harap pada hujan yang datang esok pagi? Kau sapa dedauanan yang dicumbui embun malam. Kau hapus jejak itu dikehijauan warnanya. Betapa menyakitkannya rinduku. Memekat seperti tanah liat disepanjang jalan menuju rumahku, Kejora, Masihkah kiranya rindu yang ia ucapkan mengalir biru atau luntur oleh air laut yang memasin? Aku masih menaruhnya cukup apik disudut hatiku. “Wira!”, lelaki itu selalu kusebut. Namanya cukup berat mengisi kerongkonganku kering tercekat rindu. Rasa cemburu itu terus menggelitik hati yang menyimpan tanya. “Apakah hati lelaki itu sudah terjamah wanita lain?.”

Mataku berpidah menatap jauh diujung-ujung kapal yang mulai tertelan malam. Riuh suara deru mobil terus mengantre kapal yang datang. Begitu juga hatiku, terus menunggu dengan rapi. Ditempat ini, Wira selalu memberiku kekuatan tentang sebuah perjuangan.

“Hidup hanya sebatas perjalanan pagi sampai senja yang terus berganti malam. Bintang, bulan, dan matahari adalah warna yang menghiasi setiap langkah itu. Sehingga kita bisa memandang gunung itu tinggi, laut itu biru, dan langit itu luas. Juga aku bisa membedakan wajahmu dan senja yang merona itu. Semua tampak manis.” Kata Wira yang selalu menenangkanku. 

“Bagiku pernikahan adalah kapal dan pelayaran adalah proses untuk saling memahami berjuang mengarungi samudra kehidupan. Untuk menyeberangi kita memerlukan kompas sebagai penunjuk arah. Namun kadang pelayaran itu tak mesti berjalan dengan baik. Angin sering mengombang ambing layar juga cuaca kadang siri. Kabut tebal sering menghadang diperjalanan.” Jawabku tak kalah memberikan argumen.

“Diyang kau tahu alasanku mengabdikan diriku untuk sosial? Salah satu yang menjadi alasanku adalah cinta. Aku masih menyangsikan soal cinta. Aku tak ingin membuat wanita menangis. Sejak ibuku meninggal, aku seakan kehilangan kendali. Ibu berjuang sendiri membesarkan kelima putranya, dan aku adalah putra bungsu yang selalu menemaninya. Namun pertemuanku denganmu seakan aku menemukan wanita itu kembali. Kau tampak kuat memikul hidupmu.”

“Entahlah, apakah aku kuat seperti yang kau lihat.” Tukasku mengakhiri perbincangan itu.

***

Kuakui semenjak menjadi single parent untuk putra semata wayangku. Hidupku seakan limbung. Lelaki itu sudah pergi meninggalkanku mengejar mega-mega yang membawanya ke bulan. Ntah mengapa Wira telah membuka hatiku kembali yang lama terkunci. Pemuda yang singgah beberapa bulan sebagai relawan pendidikan di tanah Borneo ini. Senyumnya ramah menyapa bocah bocah pesisir ini. Kelakarnya manis menyuarakan nyanyian anak-anak negeri.

Wira, terakhir ia kabarkan mengabdikan diri di tanah Papua. Itu kudengar satu tahun lalu melalui pesan smartphonenya. Kabarnya kian kabur, ntah karena signal atau apa. Ditempat inilah terakhir kali kugenggam jemarinya. Kita nikmati angin musim yang serak parau.

“Diyang, kamu harus kuat ya. Meski aku jauh dari matamu, kau tetap bisa ungkapkan keluh kesahmu. Tulislah tentang banyak hal ke email pribadiku. Aku akan baca dan terus memberimu waktu.” Katanya dengan tatapan meyakinkan.

“Tentu Wir, aku akan menulis untukmu.”

“Suatu hari kita akan bertemu lagi ditempat ini, semoga kau tak menggantikannya dengan lelaki lain Yang.”

“Aku menyangsikanmu Wir, apakah aku pantas untuk kau perjuangkan. Kamu tahukan keadaanku. Aku single parent. Tak banyak yang bisa menerimanya. Ketika kau pergi dan lambat laun melupakanku pun tak masalah jika cinta kita harus kandas karena aku hanya butuh keseriusan dan cinta yang tulus, bukan karena iba atau terpaksa”.

“Kamu masih tak yakin kesungguhanku?” matanya menatapku lekat.

“Aku tak ingin siapapun lelaki itu mencintaiku karena iba.”

“Sudahlah, kau terlalu memikirkan perasaanmu. Senja itu sebagai saksi dan pelabuhan ini adalah penghulunya. Kita akan menjadi pengantin di tempat ini.”

Genggaman itu kian renggang. Kapal itu telah merampasnya. Meregang bersama senja yang tenang. Ombak bergulir memainkan rasa yang tumpah bersama gemericiknya jangkar yang mulai ditarik awak kapal. Sunset di langit barat meredup seakan memaknai hatiku disenja itu.

***

Gatra semata wayangku. Ntah apa yang harus mama katakan kelak padamu, Nak. Tentang ayahmu yang jauh disinggasananya. Tak seharusnya kau telan malam sunyi. Begitu menyakitkannya gelap itu. Suara tangismu bergaung mesra melucuti kesedihan ibumu. Setiap lelaki yang menggendongmu kau tampak ceria. Apakah kau rindukan ayahmu? Semakin perih rasaku melihat kedekatanmu dengan Wira lelaki seberang itu Nak. Kalian bercengkrama di bawah mega-mega yang sebentar-sebentar pergi karena malam adalah teman kita hari-hari.

Gatra putraku, suatu hari nanti kau akan tahu lelaki perkasa bukanlah ia yang punya harta dan rupawan wajahnya. Kau lelaki kecilku, setiap doa kusebut namamu memohon kepada yang Esa kau menjadi lelaki tangguh dan memuliakan wanitamu dan menjadi idola anak-anakmu.

Aku cukup tahu diri menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Apa pun alasannya janda selalu disudutkan pada sesuatu yang negatif dengan lebel pengganggu.  Aku yakin tak seorang pun di dunia ini mau menyandang status itu. Karena pernikahan adalah janji kepada sang maha hidup. Meski perceraian itu sangat perih ini adalah episode yang harus aku lalui. Aku tahu tuhan sangat membenci ini meskipun tak dilarang.

Barangkali ini adalah alas an, aku tak ingin dekat dengan lelaki manapun termasuk Wira.

Seandainya cinta itu tak meninggalkan sepi, tak meninggalkan angan-angan dan berakhir dengan kepahitan aku masih mempercayainya. Dan ini bukan masalah percaya atau tidak. Tapi aku semakin yakin bahwa pembuktian cinta itu tak harus diawali dengan perkawinan. Jika pada akhirnya kesepianlah yang memagutnya dengan seribu kisah lara.

***



Mia Ismed merupakan nama pena dari Ngatmiyatun, S.Pd. Lahir di Lampung Timur tanggal 8 Agustus 1982 silam. Tahun 2005  ia menyelesaikan pendidikannya yang terakhir di Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini ia mengababdi sebagai penerus Oemar Bakri di SMP Negeri 2 Simpang Empat. Baginya menulis adalah candu. Menyuarakan kegelisahan hati, karena seni menulis masalah hati. Riak-riak kata mengumandangkan kisah yang tak pernah usai. Beberapa tulisannya dimuat dalam berbagai event, baik bergenre sastra maupun artikel ilmiah. Alamat kantor: SMP NEGERI 2 Simpang Empat, Jalan Mutiara Indah, Ds Gunung Besar, Kec. Simpang Empat, Kab. Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, telepon: 081255536722, pos­el: ikoisya@gmail.com, dan  akun facebook: mia ismed.


0 comments: