Sunday, January 13, 2019

RIMBA RAYA CERPEN-CERPEN KORRIE LAYUN RAMPAN




oleh Maman S. Mahayana


Jika sastra diyakini sebagai ruh kebudayaan yang lahir dari rahim sosok individu pengarang, maka itulah yang dimaksud kebudayaan menurut persepsi dan pemaknaan pengarang bersangkutan. Sangat mungkin di dalamnya kita menemukan potret buram atau gambaran ekskotik atau apa pun tentang perilaku, tradisi, sistem kepercayaan, tata nilai atau pandangan hidup sebuah komunitas budaya. Sangat mungkin pula kita hanya memperoleh gambaran sepenggal kehidupan masyarakat bersangkutan. Dengan demikian, sastra menjadi semacam alat pewartaan tentang komunitas budaya itu dari sudut mana pun sastrawan melihatnya. Dalam hal inilah sastra memainkan peranannya sebagai salah satu pintu masuk untuk mengenal lebih dekat tentang kebudayaan sebuah masyarakat. Mungkin ada pintu masuk yang lain, tetapi melalui sastra pengenalan atas kebudayaan masyarakat itu dapat langsung menyentuh pada persoalan nilai-nilai kemanusiaannya. Bukankah sastra kerap diperlakukan sebagai potret sosial budaya zamannya? Oleh karena itu pemahaman terhadap kesusastraan hanya mungkin dapat dilakukan secara lebih lengkap jika kita tidak memisahkannya dari latar sosial budaya yang berada di belakangnya.

Sastra Indonesia sesungguhnya juga merepresentasikan latar sosial budaya yang berada di belakang sastrawannya. Jika sebelum merdeka, karya sastra yang terbit ketika itu lebih banyak didominasi oleh latar kultur Minangkabau, maka setelah merdeka, sastrawan Jawa dan Sunda mulai coba memperkenalkan kebudayaan masyarakatnya. Dan pada tahun 1970-an ketika ingat-bingar “kembali ke sumber, kembali ke tradisi” menyemaraki peta kesusastraan Indonesia, nama Korrie Layun Rampan yang memenangkan hadiah utama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976, melalui novelnya Upacara (1978) seperti hendak menegaskan keberadaan Dayak dalam sastra Indonesia.

Sejak itu, Korrie Layun Rampan (KLR) membawa Dayak ke mana-mana. Meskipun mungkin saja KLR sendiri niscaya tidak berpretensi mengangkat Dayak sebagai satu-satunya kebudayaan penting di negeri ini, melalui usahanya itu menjadikan masyarakat sastra Indonesia mulai berkenalan lebih dekat dengan Dayak, mengakrabi dunia di seputarnya, coba pula memahaminya, dan melakukan persentuhan bahwa sesungguhnya, Dayak bagian dari diri kita, bagian dari keberagaman keindonesiaan kita. Di situlah peranan KLR menjadi sangat khas dan tak dapat tergantikan oleh siapa pun. Ia telah mempunyai tempat tersendiri. Maka, dalam peta sastra Indonesia, KLR telah menjadi ikon kultur Dayak. KLR berhasil membangun sebuah monumen kultural masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya: Dayak!

Meskipun posisi KLR di sana begitu kukuh, kita—sebagai pembaca—tentu saja tidak serta-merta percaya begitu saja. Seyogyanya ada ruang lain tempat kita menyimpan sikap kritis kita. Dalam kerangka itulah, saya coba memasuki dunia cerpen Korrie Layun Rampan.

Menurut catatan dalam “Daftar Judul Buku Korrie Layun Rampan”, sastrawan kelahiran Samarinda, 17 Agustus 1953 itu, konon telah menghasilkan 58 novel, 62 buku antologi cerpen, 8 buah antologi puisi, 42 buah esai dan ulasan, tujuh buku studi atau buku teks, 35 buku cerita anak-anak, dan sekitar 100-an judul cerita anak terjemahan. Secara kuantitas, bagaimana pun juga, karya-karya yang bertaburan, berserakan, dan bertumpuk-tumpuk itu, tentu saja merupakan prestasi yang luar biasa, tetapi bagaimana kualitasnya? Sejumlah hadiah dan penghargaan yang telah diterima KLR, menunjukkan betapa beberapa karya KLR memang tak diragukan lagi kualitasnya. Tetapi, di sana, kita tidak menemukan penghargaan untuk cerpen³. Pertanyaannya kini, bagaimana kualitas cerpen-cerpen yang telah dihasilkan KLR? Dari 62 antologi cerpen yang telah dihasilkannya itu—38 di antaranya masih berupa manuskrip—mengapa sejauh ini tidak satu pun dari 24 antologi cerpennya yang sudah diterbitkan—yang memperoleh penghargaan?

Dari ke-24 cerpen yang konon sudah diterbitkan itu—menyesal—saya hanya menemukan tujuh antologi, yaitu:
     (1) Ratapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989, 142 halaman)
     (2) Tak Alang Kepalang (Balai Pustaka, 1993, 188 halaman)
     (3) Tarian Gantar (Magelang: Indonesiatera, 2002)
(4)  Riam  (Jogjakarta: Gita Nagari, 2003)
     (5).Perjalanan ke Negeri Damai (Grasindo, 2003)
(6)  Melintasi Malam (Jakarta: Gramedia, 2003, 152 halaman)
(7)  Rindu  (Jogjakarta: C Publishing, 2005, 165 halaman).

Dari ke-7 antologi cerpen itu, empat antologi yang hendak digunakan sebagai contoh kasus. Keempat antologi itu adalah:
(1)  Ratapan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989, 142)
(2)  Tak Alang Kepalang (Balai Pustaka, 1993, 188 halaman)
(3)  Melintasi Malam (Jakarta: Gramedia, 2003, 152 halaman)
(4)  Rindu (Jogjakarta: C Publishing, 2005, 165 halaman).    

Dari keempat antologi itu, saya mengambil sampel enam cerpen  dari antologi Ratapan, yaitu (1) “Kenangan” (2) “Ratih” (3) “Lukisan Kristal Cahaya” (4) “Bulan” (5) “Rumah” (6)Ratapan”;  dua dari antologi Tak Alang Kepalang,  yaitu (1) “Senggigi” dan (2) “Hafolin”; dua cerpen dari Melintasi Malam yaitu, (1) “Teluk Nyomit” dan (2) “Melintasi Malam”, dan empat cerpen dari antologi Rindu,  yaitu (1) “Sungai Melangkar” (2) “Perkawinan” (3) Pernikahan di Atas Tiang” dan (4) “Gelap Indonesia Raya”.

Pastilah pilihan atas cerpen-cerpen itu tidak representatif. Tapi, cara ini pun dibolehkan, sah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Paling tidak,  dari sejumlah cerpen itu, jika kita boleh menyelami dan membacanya secara saksama, maka yang kita hadapi adalah sebuah panorama yang sangat kaya dengan warna lokal dan kultur etnik, khasnya kultur masyarakat Dayak. Dalam hal ini, ketika kita mencoba menyelami kedalamannya, kita seperti memasuki rimba raya dengan segala pepohonan dan belukarnya yang asing dan penuh misteri. Sebuah dunia yang terasa sangat jauh, namun sekaligus dekat, lantaran warna lokal dan kultur etnik yang diangkat KLR, dalam banyak hal menawarkan sebuah kearifan tentang hubungan manusia dalam sebuah komunitas dengan tradisi budayanya yang hidup dan dihidupi masyarakatnya. Jadi, dalam hal itu, semangat yang melandasi KLR pada hakikatnya tidak berbeda dengan sastrawan atau cerpenis lain di negeri ini yang juga menawarkan kearifan lokal. Tentu saja di antara sejumlah persamaan itu, di sana-sini menyembul juga perbedaan. Tetapi dengan begitu, posisi KLR dalam peta cerpen Indonesia menjadi lebih jelas. Ia berangkat dari kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkannya (Dayak),  dan mencoba melakukan pewartaan tentang kebudayaannya itu sambil sekalian  menawarkan kearifannya.

Demikianlah, dalam hal menjadikan Dayak sebagai titik berangkatnya, tak pelak lagi, nama KLR menjulang sendiri. Ia seperti tak punya penyaing. Boleh jadi lantaran itu pula, KLR leluasa menumpahkan berbagai gagasannya tentang kultur etnik, khasnya tentang Dayak, sehingga yang muncul kemudian adalah serangkaian produksi cerpen. Artinya, KLR memproduksi cerpen tanpa beban dan pretensi apa pun. Ia sekadar memotrat dan menumpahkan fragmen kehidupan dalam sebuah komunitas budaya yang sejak lama menjadi bagian dari sikap dan pandangan budayanya atau yang sempat menjadi bagian dari pengalaman dan perjalanan hidupnya yang lebih dari setengah abad itu.

Berdasarkan sudut pandang ini, dalam konteks perkembangan kesastrawanannya, kita juga dapat melihat bahwa di sana ada sebuah proses menggelinding. Ia tak begitu saja menjadi, dan kemudian matang. Tetapi ada semacam tahapan perkembangan yang—sebagaimana lazimnya terjadi pada perkembangan kesastrawanan seseorang—dapat kita cermati berdasarkan perjalanan karya-karya yang telah dihasilkannya.

Meskipun  usaha pencermatan itu belum dapat dikatakan sepenuhnya merepresentasikan tahapan perkembangan kesastrawanan KLR, setidak-tidaknya, itulah langkah yang mungkin dapat dilakukan ketika kita menghadapi setumpuk karya yang—seperti telah dikatakan—bagai memasuki rimba raya yang asing dan penuh misteri. Maka, tidak ada cara lain, kecuali melakukan semacam pilihan atas beberapa cerpen yang diambil dari buku-buku antologi itu sebagai contoh kasus. Oleh karena itu, pembicaraan ini hendaknya ditempatkan sebagai usaha mencermati kecenderungan-kecenderungan KLR yang dapat kita tarik dari sejumlah cerpen yang menjadi contoh kasus itu. Disadari, langkah ini tidaklah komperehensif. Meski begitu, sebagai usaha melihat kecenderungan, ia sah dan bertanggung jawab. Bahwa di sana-sini banyak yang tercecer, tidak juga berarti serta-merta menggugurkan keabsahan dan kebertanggungjawaban.

Antologi cerpen Ratapan (Balai Pustaka, 1989) memuat 12 cerpen. Dari ke-12 cerpen ini, enam cerpen yang berada di urutan awal saya gunakan sebagai sample. Di sana—dalam keenam cerpen itu—sungguh saya tidak melihat ada Dayak. Yang muncul adalah dunia wanita dan problem domestik, kecuali cerpen “Ratapan” yang menampilkan tokoh lelaki tua yang dihinggapi perasaan berdosa kepada tetangganya, Akoy. Boleh jadi cerpen-cerpen dalam antologi ini ditulis KLR untuk pembaca tertentu4. Mengingat tema-tema yang diangkatnya berkisar pada kehidupan dunia wanita dan problem domestik, maka sangat mungkin KLR sengaja menulis cerpen-cerpen itu untuk pembaca wanita.

Tampak di sana, tokoh-tokohnya sangat stereotipe, hitam-putih. Faktor kebetulan dan campur tangan pengarang begitu menonjol. Jadi, meskipun gambaran kehidupan yang diangkat dalam sejumlah cerpen itu mengesankan kedukaan, tragikal, kesan yang segera muncul di sana adalah kesetiaan pengarang pada tema dan frame yang telah dirancang. Rencana pernikahan tokoh aku (Sri) dengan Heru, misalnya,  hancur berantakan lantaran sehari sebelum pernikahan, Heru mati. Esoknya, kedua orang tua Sri, mengalami nasib yang sama. Lengkaplah penderitaan Sri, sehingga harus mendekam di sanatorium.

Cerpen “Ratih” juga tidak terlepas dari campur tangan pengarangnya sekadar hendak membuat sebuah kisah tragis. Gara-gara sebuah bintil kecil, kaki kiri Ratih harus diamputasi. Lalu, berikutnya kaki kanan harus mengalami hal yang sama. Meskipun akhir cerita diselesaikan dengan bahagia, kita (pembaca) sudah terlanjur digiring untuk ikut menangisi nasib tokoh itu.

Cerpen “Lukisan Kristal Cahaya” yang berkisah tentang heroisme tokoh Widy dan kekasihnya, Mas Ton dalam perang kemerdekaan. Cerpen “Bulan” yang mengisahkan idealisme tokoh Joko bertekad mengangkat kehidupan masyaraklat desa, dan cerpen “Rumah” yang mengangkat kisah sukses Mas Satya, suami tokoh aku, memperlihatkan kecenderungan yang sama, ketergodaan pengarang untuk ikut campur dalam perjalanan hidup tokoh-tokohnya.

Ciri-ciri yang cukup menonjol di sana adalah kesetiaan pengarang pada tema dan frame yang telah dirancangnya. Meskipun begitu, kelincahannya menyampaikan narasi dengan gaya bahasa yang cenderung puitis menjadikan cerpen-cerpen itu memang terasa sedap. Sangat mungkin KLR sengaja mengusung tema tertentu dengan sasaran pembaca yang juga tertentu. Dengan demikian, kita dapat memahami jika di sana kita tidak menemukan latar tempat dengan tokoh yang di belakangnya menempel kultur tertentu.

Gambaran yang demikian itu sepereti hilang begitu saja ketika kita membaca antologi cerpen Tak Alang Kepalang (Balai Pustaka, 1993). Di sini, KLR tampil bagai wartawan budaya yang coba memotret berbagai keindahan daerah wisata dengan kekayaan kulturnya yang ekskotik. Dalam cerpen “Senggigi” misalnya, menghadirkan manusia Indonesia yang multikultural, Hindu-Bali—yang diwakili tokoh Ni Luh Swandari—dari Kristen—yang diwakili oleh topkoh Hadi—menjadi sebuah persaudaraan yang indah ketika di sana ada persahabatan. Meski begitu, cerpen yang sesungguhnya sangat kaya dengan warna lokal dan kultur etnik ini, kembali harus berakhir tragis ketika pengarang tak dapat melepaskan diri dari campur tangannya. Maka, ketika kedua tokoh yang sudah berpisah sekian lama, dan tiba-tiba berjumpa kembali di Senggigi, serta-merta muncul tokoh lain yang kehadirannya “hanya” untuk mematikan tokoh Ni Luh Suwandari. Kecerdasan narator yang berkelok-kelok dengan problem tradisi dan adat-istioadat yang melekat kuat dalam diri masyarakat Hindu-Bali, diselesaikan begitu saja dengan cara mematikan tokoh Ni.

KLR mungkin sengaja menutup kompromi ketika adat-istiadat dan tradisi, agama dan kepercayaan, harus dipersatukan sebuah perkawinan. Mungkin juga KLR sengaja mengingatkan kenyataan sosial yang sering terjadi dalam sebuah bangsa yang hidup dalam keberagaman, yaitu problem perkawinan yang harus berhadapan dengan agama dan sistem kepercayaan.

Dalam cerpen “Hafolin” yang menghadirkan tokoh aku (Masindu) yang Papua, problem adat dipersatukan oleh adanya kesamaan agama. Tokoh aku akhirnya bersatu kembali dengan Maria Vazquez yang kelahiran Timor Timur.

Seperti juga cerpen sebelumnya, cerpen “Hafolin” dibangun oleh sebuah narasi yang berkelok-kelok dengan rentang waktu bertahun-tahun. Di sini, kita dihadapkan pada sebuah panorama pulau-pulau di Tanah Air dengan kekayaan budaya yang ekskotik.

Beberapa cerpen lainnya dalam antologi itu mengangkat kisah tokoh-tokoh dari berbagai suku bangsa. “Ermera” (Timor Timur), “Tebing” (Dayak Benuaq), “Citatah” (Jawa, Cina), “Gelombang” (Sunda), “Apo Kayan” (Dayak Kenyah). Dari sudut itu, tentu saja antologi cerpen ini memperlihatkan perhatian dan kesungguhan KLR dalam memandang sebagai suku bangsa yang bertebaran di sekitarnya. Maka, ketika banyak orang bicara tentang multikultural sebagai salah satu langkah untuk meredam konflik etnik, KLR justru telah memperkenalkan dan sekaligus mempraktikkannya. Sungguh, antalogi cerpen ini seperti merepresentasikan apresiasi KLR atas keanekaragaman suku-suku bangsa di Tanah Air ini.

Dua cerpen lain, yakni “Teluk Nyomit” dan “Melintasi Malam” yang dijadikan contoh kasus, saya ambil dari antologi Melintasi malam (Gramedia, 2003). Cerpen “Teluk Nyomit” bercerita tentang kisah cinta yang kandas antara tokoh aku dengan gadis Buamamih, cucu salah seorang pemuka adat Dayak. Sukses tokoh aku yang kemudian membawanya untuk melunasi janji pada gadis itu, ternyata tidak diikuti oleh nasib baik Buamamih. Munculnya konglomerat yang menghabiskan ratusan hektar rimba Kalimantan dan nasib tragis yang dialami Buamamih yang diperkosa, yang memaksa Buamamih memutuskan untuk melakukan balas dendam daripada menerima lamaran tokoh aku. Kembali, kita melihat adanya campur tangan pengarang seakan-akan memang sengaja menciptakan akhir yang tragis.

Sementara cerpen “Melintasi Malam” KLR mengangkat mitos asal-mula kematian. Pertemuan tokoh anak muda dan orang tua dalam taksi air, dihadirkan sebagai katalisator untuk mengungkapkan mitos Tatau Mukng Menur yang berada di antara dua istri simbol kehidupan dan kematian.

Empat cerpen yang saya pilih dari antologi Rindu, semuanya bercerita tentang masyarakat Dayak. Cerpen “Sungai Melangkar” mengangkat mitos asal-usul ikan baung yang menjadi guci. Suatu saat, guci indah yang penuh misteri itu, dicuri Loboq Solay dan Sunge Meaq, dua pecandu narkoba. Belakangan diketahui, keduanya mati di dasar Sungai Melangkar.

Cerpen kedua bercerita tentang pengkhianatan Nagang pada sahabatnya Tingang, suami Nori. Karena cinta pada Nori, Nagang mencelakakan Tingang ketika keduanya masuk Gua Sarang Walet. Selama 20 tahun Nagang berusaha melamar Nori, selama itu pula Nori menolaknya. Suatu saat, Nori menerima lamarannya dan upacara pernikahan pun segera disiapkan. Tetapi, pada saat menjelang pengesahan keduanya menjadi suami-istri—yang ditandai dengan olesan darah kerbau pada wajah kedua mempelai itu—Pune, putri Nori dari pernikahannya dengan Tingang, menjerit minta tolong. Kakinya terperosok ke dalam tanah. Ketika Pune diangkat beramai-ramai, muncullah sosok Tingang yang selama 20 tahun hidup di dalam gua.

Cerpen “Pernikahan di Atas Tiang” juga mengangkat peristiwa pernikahan. Namun, menjelang upacara itu, gempa bumi dan banjir tsunami terjadi. Kedua mempelai tersangkut di atas tiang lamin, selamat dan resmi menjadi sepasang suami-istri.

Cerpen “Gelap Indonesia Raya” menggambarkan terjadinya perubahan pandangan tentang konsep belian, dukun dan upacara penyembuhan orang sakit dalam komunitas Dayak. Tokoh aku dan istrinya—yang keduanya dokter—kelak diharapkan mengganti kedudukan belian melalui cara pandang modern: dokter. Pada saat upacara berlangsung, datanglah huru-hara yang membakar lou, rumah panjang masyarakat Dayak. Sampai di sini, KLR terkesan menahan diri untuk tidak menyebutkan sumber huru-hara itu. Meskipun demikian, tentu saja kita masih dapat mencantelkannya dengan berbagai huru-hara di Kalimantan beberapa waktu yang lalu yang dipicu oleh konflik etnik.

Dari gambaran ringkas keempat kumpulan cerpen dan sejumlah cerpen yang telah disinggung sebelumnya, kembali kita menjumpai begitu banyak campur tangan pengarang dalam peristiwa yang dialami tokoh-tokohnya. Faktor kebetulan dan peristiwa yang serba tiba-tiba, cenderung menjadi ciri khas dalam cerpen-cerpen KLR. Meskipun pengarang punya hak penuh atas nasib yang dialami tokoh-tokoh rekaannya, kecenderungan memanfaatkan faktor kebetulan dan peristiwa yang serba tiba-tiba, justru dapat menghadirkan hangar—gangguan komunikasi antara teks dan pembaca—jika faktor kebetulan dan peristiwa tiba-tiba itu, dihadirkan begitu saja tanpa proses yang logis.

Seperti telah disinggung sebelumnya, kecenderungan itu boleh jadi lantaran KLR memulai kisahnya melalui frame yang telah dirancang sebelumnya. Dan KLR begitu setia pada frame itu. Maka, yang muncul kemudian adalah kesan adanya pemaksaan pada alur cerita.

Bahwa frame itu memunculkan kesan adanya pemaksaan, hal tersebut tampak pula pada peristiwa-peristiwa yang dibangun di awal cerita. KLR bisa memulai ceritanya dari mana saja. Artinya, pintu masuk untuk memulai narasi, bisa dimulai dari peristiwa, tokoh, latar, atau apa saja. Dari sana, secara perlahan pembaca dibawa masuk pada tema yang hendak diangkatnya.

Di luar persoalan itu, secara tematis cerpen-cerpen KLR memperlihatkan panorama kultur etnik yang kaya dan melimpah. Sebagai salah satu usaha memahami Dayak, tak pelak lagi, cerpen-cerpen KLR dapat digunakan sebagai pintu masuk yang mengasyikkan. Dalam konteks itulah, cerpen-cerpen KLR telah memperlihatkan kontribusinya yang penting. Ia telah memperkaya khazanah sastra Indonesia secara keseluruhan.

Catatan:
1). Makalah ini disampaikan dalam acara Korrie Layun Rampan dalam Sastra Indonesia yang diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 29-30 September 2005, yang ditaja Dewan Kesenian Jakarta bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

2). Maman S. Mahayana, kritikus sastra, penulis buku teks, anggota Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, staf pengajar pada Program Studi Indonesia Faklultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.

3). Di antara cerpen-cerpen itu ada juga yang menyabet hadiah pertama dalam suatu sayembara,  misalnya cerpen “Kekasih” (Hadiah Pertama Majalah Keluarga) dan cerpen “Perjalanan dalam Kelam” (Hadiah Pertama Majalah Femina).

4). Umumnya cerpen-cerpen itu memang ditulis dan dipublikasikan di majalah wanita dan keluarga seperti Sarinah, Femina, Famili, dan lain-lain.

0 comments: