UDIN ATRET DAN ANAI



Dulu di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru ada gedung bioskop bernama Sederhana Theatre. Aku sering ditertawakan teman-teman karena kata theatre kulafalkan menjadi tehe atre.

“Sederhana Tehe Atre,” ujarku.

“Hahaha, dari pada tehe atre lebih baik tahi atre saja,” komentar seorang teman.

“Hahaha, atau tahi atret sekalian!” teman yang lain menimpali.

“Hahaha,” mereka tertawa terbahak-bahak.

“Lebih pas lagi Udin Atret!”

“Hahaha, ya ya ya Udin Atret lebih pas!”

“Udin Atret!,” teriak mereka ramai-ramai mengolok-olokku.
Aku lalu menonjok temanku yang mengolok-olokku Udin Atret. Ia menangkis tonjokanku dan tangan kami pun beradu. Selanjutnya kami pun berkelahi saling cakar, saling tinju, dan saling tendang satu sama lainnya. Teman-teman yang lain bukannya melerai, sebaliknya malah memprovokasi agar kami terus berkelahi .

Olok-olok Udin Atret adalah olok-olok yang paling kubenci, karena merupakan olok-olok yang menurutku paling kasar di dunia. Betapa tidak? Udin Atret merujuk kepada seorang pengidap sakit jiwa yang biasa mondar-mandir di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru. Orang gila itu memang bernama Udin, sama seperti namaku. Sedangkan atret  artinya mundur (untuk becak, gerobak, atau mobil). Mengapa orang gila itu dipanggil Udin Atret?.
Beginilah ceritanya.

Udin Atret berusia sekitar 40 tahun. Tubuhnya pendek dan kurus kering. Ciri khas penampilannya adalah mengenakan sarung dan kopiah butut. Ia hidup menggelandang di kawasan Pasar Bauntung Banjarbaru. Pekerjaan utamanya adalah sebagai pengemis. Setiap pagi hingga siang menjelang ia duduk di emperan sebuah toko di los pasar ikan. Berbeda dengan pengemis lain yang bisanya cuma menadahkan tangan, Udin Atret mengemis sambil melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an.

Udin Atret akan berhenti mengemis jika los pasar ikan sudah sepi pembeli. Ia lalu berdiri, dan  mulutnya segera berbunyi menirukan suara menderum mesin mobil yang dihidupkan.

“Drum dum, drum dum, drum dum. Tit tit tit,” ujar Udin Atret menirukan bunyi mesin mobil dan bunyi klakson. Ia rupanya sedang berfantasi tengah mengendarai sebuah mobil mewah berkeliling Pasar Bauntung Banjarbaru.

Orang-orang yang sudah terbiasa melihat kelakuan ganjil Udin Atret yang demikian itu akan saling berpandangan satu sama lainnya, lalu tersenyum simpul sambil membuat isyarat tanda miring dengan telunjuk tangan di dahinya.

Tidak jarang di antara mereka ada yang iseng berteriak.

“Awas, Din. Ada orang di depan. Atret dulu nanti tertabrak!”

“Ya, atret, Din. Atret. Terus. Terus!” yang lain menambahkan sambil berlagak sebagaimana layaknya tukang parkir sedang memandu pemilik mobil yang akan ke luar dari tempat parkir.
Udin Atret lalu memundurkan langkahnya mengikuti panduan yang diteriakkan oleh tukang parkir dadakan.

Hahaha, semua orang yang melihat adegan humor itu tertawa terbahak-bahak.

“Sama!” teriak seseorang.

 Tidak hanya aku saja yang dibuat tak nyaman dengan keberadaan Udin Atret di pasar Bauntung Banjarbaru. Tetapi semua orang yang bernama Udin akan dipanggil Udin Atret oleh teman-temannya yang suka iseng atau suka berolok-olok.

Selain Udin Atret, di Pasar Bauntung Banjarbaru, masih ada warga lain yang juga sakit jiwa, yakni Anai. Anai berusia sekitar 20 tahun. Tubuhnya tinggi dan gempal. Ciri khas penampilannya adalah mengenakan baju hijau, celana hijau, dan topi baja sebagaimana layaknya seorang tentara. Sayang sekali ia rupanya tidak memiliki sepatu tentara, sehingga kemana-mana ia cuma mengenakan sepatu kets untuk olahraga. Berkaitan dengan uniform yang dikenakannya maka beredarlah gosip bahwa Anai sakit jiwa karena gagal dalam tes fisik dan mental untuk menjadi tentara.

Anai tidak selalu berada di Pasar Bauntung Banjarbaru. Ia kadang-kadang terlihat berjalan kaki ke arah Guntung Payung, Landasan Ulin, atau bahkan ke Astambul. Sering kali ada orang iseng yang menanyakan di mana ia berada selama beberapa hari sehingga tidak terlihat di Pasar Bauntung Banjarbaru. Anai tidak jarang menjawabnya dengan tangkas : Siap, Komandan. Aku ikut latihan. Mau naik pangkat.

Hehehe, meskipun mengaku sering ikut latihan untuk keperluan naik pangkat, namun tanda pangkat di bahu Anai tidak pernah berubah, tetap kopral. 

“Anai, katanya ikut latihan supaya naik pangkat. Kok, pangkatmu tetap kopral?

“Siap, Komandan. Aku tidak lulus.”

“Hahaha, kapan lulusnya, Nai.”

“Siap Komandan. Aku tidak tahu.”

Hahaha…

Di Pasar Bauntung Banjarbaru ada seorang gadis anak pedagang kelontongan yang rupa-rupanya ditaksir Anai. Jika gadis yang bersangkutan berada di tokonya, maka Anai akan berdiri di depan toko itu. Anai lalu menyanyi. Gadis penjaga toko  itu tidak takut  kepada Anai, begitu pula halnya dengan para pembeli. Sehingga kegiatan jual beli di toko itu tetap berlangsung sebagaimana mestinya. Anai memang tidak pernah berbuat ulah yang membuat orang lain menjadi takut kepadanya. Ia cuma menyanyi. Hanya itu.

Tapi, sekali waktu, gadis penjaga toko tsb menjerit histeris. Orang-orang yang tengah berada di sekitar toko langsung mengarahkan pandangan matanya ke arah suara jeritan. Usut punya usut ternyata Anai lupa menutup risliteng celananya, dan pistolnya tampak melongok di sana. Hehehe.

Anai rupanya frustrasi karena gadis yang ditaksirnya tidak pernah memberikan respon sebagaimana yang diharapkannya. Padahal ia sudah bersusah payah menarik perhatian dengan cara saban hari menyanyi di depan toko milik gadis pujaannya. Pengeluaran pistol yang dilakukan secara demostratif itu merupakan usahanya yang paling ekstrim. Sejak kejadian itu Anai kena cekal alias tidak boleh lagi berada di sekitar toko milik gadis yang ditaksirnya. Orang tua gadis selalu sigap mengusirnya dari tempat kejadian perkara.   

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: