RAHASIA BATU GONDOK



Sudah 6 bulan ini aku bertugas sebagai SP3 (Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan) di sebuah dusun terpencil. Dusun tempatku bertugas adalah sebuah dusun di kaki pegunungan Maratus.  Batu Takuk, demikian nama dusunnya. Menurut Pak Tiluh, induk semangku, nama dusun ini berasal dari nama sebungkah batu yang diduga terdapat di sekitar dusun ini.

Ketika datang ke dusun ini sekitar 6 bulan yang lalu, aku sempat terkesiap begitu bersalaman dengan Pak Kepala Dusun. Ada sesuatu yang ganjil kulihat menggantung di leher beliau. Bentuknya seperti buah pepaya. Ternyata, Pak Kepala dusun cuma salah seorang dari sekian banyak penderita penyakit gondok di dusun Batu Takuk ini. Terus terang, ada semacam perasaan khawatir di hatiku, ketika menyaksikan hahwa hampir semua penduduk dusun yang harus kubina ini menderita penyakit leher pepaya alias gondok. Aku khawatir penyakit ini termasuk jenis penyakit menular seperti halnya penyakit cacar, typus, kolera, TBC dan disentri. Sungguh, seandainya tidak ada kewajiban membayar kembali semua yang telah kuterima, ingin rasanya aku mengundurkan diri sebagai petugas SP3 di dusun ini.

“Jangan-jangan tak lama kemudian aku terkena penyakit takuk seperti halnya mereka-mereka itu. “

“Ih, ngeri. Amit-amit jabang bayi,” ujarku bergidik.

Rasa takut karena penyakit gondok semacam ini sudah pasti amat menggannggu konsentrasi kerjaku sebagai petugas SP3. Betapa tidak? Sebagai petugas SP3 aku tidak jarang harus melakukan penyuluhan secara langsung dari rumah ke rumah. Dan setiap kali aku singgah di sebuah rumah, pasti disuguhi minuman, bahkan tidak jarang aku juga diajak makan bersama oleh tuan rumah. Bila sudah demikian aku biasanya lantas bingung mengambil keputusan. Mau diminum/dimakan, takut tertular penyakit gondok, tidak diminum/dimakan, takut menyinggung perasaan tuan rumah. Sedapat mungkin aku biasanya memang mencari dalih untuk menolak secara halus suguhan itu. Tapi, jika terpaksa aku nekad meminum/memakan suguhan itu.
Belakangan aku sedikit terhibur mendengar keterangan Pak Tiluh yang mengatakan bahwa penyakit gondok tidaklah menular sebagaimana halnya penyakit cacar, typus, kolera, TBC dan disentri. Hal ini disebabkan karena penyakit gondok bukan berasal dari suatu jenis penyakit virus sebagaimana halnya penyakit menular pada umumnya. Penyakit gondok menurut Pak Tiluh berasal dari sejenis zat yang luntur dari sebungkah batu yang diduga terdapat di sekitar kaki Gunung Maratus sana.

“Tenanglah, Noor, penyakit gondok itu bukan termasuk penyakit menular seperti halnya penyakit cacar, typus, kolera, TBC dan disentri.”

“Alasannya, Pak?”

“Penyebab terjadinya penyakit gondok berbeda dengan penyebab terjadinya penyakit menular pada umumnya.”

“Maksud, Pak Tiluh?”

“Bila penyakit menular lainnya disebabkan oleh sejenis virus, maka penyakit gondok ini berasal dari suatu zat yang luntur dari sebungkah batu!”

“Suatu zat yang luntur dari sebungkah batu? Zat apa dan batu apakah itu, Pak?”

“Zat gondok dan batu takuk.”

“Maksud Bapak?”

“Menurut kepercayaan sementara orang di dusun ini, nun di kaki pegunungan Maratus sana ada sebungkah batu. Batu Takuk namanya.”

“Bila hujan turun dengan lebatnya dan daerah di sekitar kaki Gunung Maratus itu dilanda banjir, maka Batu Takuk dimaksud akan tenggelam.”

“Bila sudah demikian maka zat gondok yang terdapat pada Batu Takuk dimaksud akan luntur dan larut bersama air bah hingga ke dusun ini.”

“Selanjutnya zat gondok tadi pun akan mencemari semua sumur yang ada di dusun Batu Takuk ini.”

“Siapa saja yang memanfaatkan air sumur yang sudah dicemari oleh zat gondok itu, terutama sekali untuk keperluan makan dan minum, maka orang yang bersangkutan akan terkena penyakit gondok.”

“Begini, Pak. Supaya warga di dusun ini tidak lagi merasa was-was diancam oleh penyakit gondok, bagaimana kalau kita bergotong-royong mencari batu Takuk dimaksud. Dan begitu ketemu, Batu Takuk itu kita pendam ke dalam tanah atau kita buang jauh-jauh dari dusun kita ini, Pak?”

“Usul yang baik, tapi sukar untuk dilaksanakan.”

“Maksud Bapak?”

“Mencari Batu Takuk itu bukanlah pekerjaan mudah, Noor. Selain tempatnya selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan arus air yang menghanyutkan, lokasi pencarian yang harus kita lacak juga amatlah luas, seluas areal kaki Gunung Maratus itu sendiri.
Aku mengangguk.

“Lebih dari pada itu, tidak ada seorang pun penduduk di dusun ini yang pernah melihat atau mengetahui secara persis tentang Batu Takuk itu sendiri.”

“Bukankah Bapak pernah melihat Batu Takuk dimaksud?”

“He, he, he, tidak pernah. Aku cuma pernah mendapat keterangan dari orang tua saya almarhum hawa Batu Takuk dimaksud bentuknya segitiga seperti kepala ular dan warnanya kuning seperti langsat.”

“Ciri-ciri yang lain, Pak?”

“Batu Takuk konon selalu dijaga oleh sepasang ular lidi.”

“Ular lidi?”

“Ya, ular lidi. Bentuknya kecil seperti lidi, tapi biasanya amat mematikan.”

Bila dulu aku masih bisa menerima keterangan Pak Tiluh tentang penyakit gondok yang tidak menular, kini aku sepertinya meragukan kebenaran keterangan Pak Tiluh itu. Betapa tidak?  Menurut keterangan Pak Tiluh tentang adanya sebungkah batu mengandung zat gondok di kaki pegunungan Maratus itu terasa begitu berlebihan kedengarannya. Tapi, aku yakin Pak Tiluh tak bermaksud untuk mendustaiku. Dalam arti semua yang Pak Tiluh ceritakan di atas tidak lebih daripada rekaman ulang dari keprcayaan mitos setempat.

Tiga bulan kemudian Pak Tiluh mengeluh, ada sesuatu yang ganjil di lehernya, lehernya terasa sakit, lebih-lebih ketika orang tua itu meneguk sesuatu. Dan percaya atau tidak? Ini merupakan gejala awal atau stadium dini dari penyakit leher pepaya alias gondok. Pak Tiluh tentu saja kalang-kabut karenanya. Sebab ini berarti prestasinya sebagai orang yang bebas gondok akan tumbang dengan sendirinya. Padahal selama ini ia selalu membanggakan prestasinya itu sebagai buah dari kerajinannya mengurus sumur tak lama setelah dusunnya dilanda banjir.

“Kita harus berbuat sesuatu untuk mencegahnya, Pak.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Bapak harus memeriksakan diri ke dokter.”

“Apakah penyakit semacam ini bisa diobati oleh dokter yang bersal dari kota, padahal penyakit gondok adalah penyakit khas orang dusun?”

“Insya Allah, Pak.”

“Kalau begitu bawalah aku ke dokter besok pagi.”

“Ya, besok pagi-pagi sekali kita berangkat ke Puskesmas kecamatan.”

“Bila perlu akan berobat hingga sampai ke kota Banjarmasin apa pun akan aku lakukan demi kesembuhanku dari penyakit gondok ini.”

Sesuai dengan tekad Pak Tiluh, yaitu bersedia melakukan apa saja demi kesembuhannya dari penyakit gondok, maka Pak Tiluh tidak berpikir dua atau tiga kali lagi begitu dokter di Puskesmas kecamatan menyarankannya agar segera berobat ke Bagian THT RSU Ulin Banjarmasin, beliau langsung saja mengajakku pergi ke kota Banjarmasin.

Menurut keterangan Dokter Ahli THT (Telinga Hidung Tenggorokan) yang merawat Pak Tiluh di RSU Ulin Banjarmasin, penyakit gondok biasanya menyerang orang-orang yang kekurangan zat yodium. Di mana karena itulah maka penyakit ini biasanya menyerang orang-orang yang tempat pemukimannya jauh terpencil di gunung-gunung, yaitu orang-orang yang dalam kehidupannya sehari-hari terpaksa mempergunakan garam tak beryodium untuk mengasini makanan mereka.

Penduduk dusun Batu Takuk termasuk orang-orang yang rawan gondok, karena dalam kehidupan kesehariannya mereka biasanya mempergunakan garam yang dibuat dari abu kayu-kayuan dan pelepah kelapa. Mereka baru mempergunakan garam beryodium jika ada pedagang dari kota yang singgah di dusun Batu Takuk. Bila tidak, maka mereka kembali mempergunakan garam abu kayu atau pelepah kelapa yang tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi.

“Sebelum pulang ke dusun kita singgah dahulu ke Pasar Lima Banjarmasin untuk membeli oleh-oleh.”

“Oleh-oleh apa lagi. Bukankah Bapak sudah banyak membeli kue-kue kering kemarin?”

“Itu oleh-oleh biasa. Aku mau oleh-oleh yang khusus. Oleh-oleh garam beryodium. He, he, he,” Pak Tiluh terkekeh.

“Beli yang banyak, Pak,” usulku.

“Ya, ya, ya. Aku mau jadi pedagang garam beryodium.”

Pak Tiluh ternyata tidak main-main, sejak peristiwa itu beliau beralih profesi menjadi pedagang garam beryodium dan berbagai kebutuhan pokok hidup lainnya. Sebulan sekali Pak Tiluh turun ke kota untuk membeli barang dagangan, terutama sekali garam beryodium. Ternyata tidak hanya aku saja yang takut terkena penyakit leher pepaya alias gondok, tapi juga Pak Tiluh dan segenap warga dusun Batu Takuk lainnya.

Mereka yang sudah terlanjur terkena penyakit gondok giat berusaha mengumpulkan uang untuk biaya operasi gondoknya. Sedangkan mereka yang belum terkena penyakit ini tampak berhati-hati dan tidak mau lagi mempergunakan garam abu untuk mengasini makanan yang dimakannya.

Sekian. 




0 comments: