MISTERI MINYAK GUNA-GUNA KARUANG BULIK



Bermula dari membaca tulisan-tulisan tentang minyak guna-guna yang dimuat di sebuah majalah terbitan kota Banjarmasin, Huban Dabil lantas teringat dengan sebuah desa bernama batu Takuk. Desa Batu Takuk adalah sebuah desa kecil yang terletak persis di kaki Gunung Salaban Raya (bukan nama sebenaranya). Sejak lama desa Batu Takuk dikenal sebagai pusat konsentrasi para dukun pembuat minyak guna-guna di daerah.

“Aduh, bodoh benar aku ini.”

“Dasar aku memang manusia pelupa.”

“Mengapa baru sekarang ini aku teringat pada potensi minyak guna-guna Karuang Bulik?”

“Minyak pelet paling ampuh untuk menaklukkan hati wanita. “

“Bodoh.”

“Bodoh.”

“Bodoh,” umpat Huban Dabil sambil mengeplak dahinya berkali-kali.

Menurut ceritanya, pada setiap pertengahan bulan Shafar, desa Batu Takuk selalu dijadikan sebagai tempat berkumpul para dukun minyak guna-guna yang ada di seluruh daerah Kalsel. Para dukun dimaksud berkumpul di Balai Rabung untuk membuat minyak guna-guna secara kolektif.  Para ahli antropologi di daerah setempat secara bergurau menyebutnya sebagai kegiatan musyawarah dukun (plesetan dari istilah musyawarah burung Fariduddin Attar).

Sudah pasti, karena pertemuan ini bersifat khusus, maka kegiatan musyawarah dukun” ini selalu dilangsungkan secara tertutup. Orang lain yang bukan anggota komuntitas pembuat minyak guna-guna dilarang ikut ambil bagian (plesetan dari ungkapan ketus Chairil Anwar yang bukan penyair jangan ambil bagian). Begitu tiba di Balai Rabung seorang dukun minyak guna-guna konon segera menuju ke tiang-guru (soko-guru) untuk menggantungkan semua botol minyak guna-guna miliknya.

Setelah itu dukun yang bersangkutan akan mengambil tempat dan duduk bersila di depan tiang-guru balai dan mulai membaca mantra secara khusuk dari waktu ke waktu. Musyawarah dukun dimaksud baru dinyatakan berakhir bila semua pesertanya sudah pada pingsan semuanya. Ada yang pingsan karena kelelahan setelah sekian lama membaca mantra tanpa henti, tapi ada juga yang pingsan karena terlalu lama mengalami trance (akibat dirasuki arwah leluhur). Begitu siuman masing-masing dukun akan segera bergegas meninggalkan Balai Rabung, tentu saja setelah sebelumnya mengambil semua botol minyak guna-guna yang tadi digantungkannya di tiang-guru balai.

“Aku ingin mencairkan kebekuan hati Siti Maryam terhadapku dengan minyak guna-guna Karuang Bulik,” ujar Huban Dabil kepada dirinya sendiri.

Anak muda berusia sekitar 22 tahun ini agaknya puas sekali dengan ide memelet Siti Maryam dengan minyak guna-guna Karuang Bulik dimaksud. Menurut ceritanya sudah sejak beberapa tahun yang lalu Huban Dabil jatuh hati pada tetangganya bernama Siti Maryam itu. Tapi karena penyakit mindernya yang tidak ketulungan (minder yang terlalu akut), maka hingga sekarang ini Huban Dabil belum berani mengutarakan perasaan hatinya itu kepada Siti Maryam. Jangan kata secara lisan langsung di hadapan Siti Maryam, secara tertulis melalui sepucuk surat cinta sekalipun Huban Dabil tak pernah berani melakukannya.

Begitulah, karena sikapnya yang tidak populer ini maka mau tidak mau Huban Dabil terpaksa menerima nasib, hanya bisa memandangi keindahan rupa dan tubuh Siti Maryam secara sembunyi-sembunyi. Padahal jika pemuda berwajah cukup tampan ini bersikap agak agresif dalam hal menyatakan isi hatinya pada Siti Maryam, tidak tertutup kemungkinan yang bersangkutan akan bisa memandangi keindahan tubuh Siti Maryam dari jarak dekat. Misalnya saja memandangi hidungnya yang bangir atau matanya yang galak. Bahkan mungkin, sekali waktu, yang bersangkutan juga akan mendapatkan kesempatan untuk mengecup bibir Siti Maryam yang tipis dan kecil mungil itu.

Minyak guna-guna Karuang Bulik ini konon dibuat oleh dukun ahlinya dari minyak kelapa gading yang dicampur dengan seribu pasang hati burung karuang yang belum pernah bertelur. Setelah dimasukkan ke dalam botol, minyak guna-guna Karuang Bulik ini kemudian dimantrai pada kesempatan musyawarah dukun di Balai Rabung pada setiap pertengahan bulan Shafar. Sebagai minyak guna-guna, minyak Karuang Bulik termasuk dalam kelompok minyak pelet, yaitu minyak yang digunakan untuk menundukkan hati seseorang yang kita cintai, sementara kita sendiri khawatir akan bertepuk sebelah tangan.

“Aku harus berangkat ke desa Batu Takuk untuk menemui Anjang Tuan.”

“Begitu Anjang Tuan menyerahkan minyak guna-guna Karuang Bulik dimaksud, aku akan segera kembali ke Banjarbaru.”

“Kemudian begitu ada kesempatan aku akan memoleskan minyak pelet ini secara diam-diam ke tubuh Siti Maryam,” ujar Huban Dabil di dalam hati.

Tidak ada yang berlebihan dalam rencana Huban Dabil di atas, dalam arti secara teoritis tidak terlalu sulit untuk diwujudkan. Tapi, benarkan demikian? Ternyata tidak.

“Maaf saja, Bil. Sesuai dengan kode etik perdukunan yang kuaut, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu itu.”

“Memangnya kenapa, Pak?”

“Tabu bagiku untuk memenuhi permintaan atas minyak guna-guna Karuang Bulik pada bulan Shafar sekarang,” ujar Anjang Tuan kepada Huban Dabil.

“Lalu, kapan aku bisa memperolehnya, Pak?” tanya Huban Dabil dengan nada kecewa.

“Tunggulah sampai aku selesai mengikuti musyawarah dukun di Balai Rabung pada malam bulan purnama nanti,” ujar Anjang Tuan kemudian sambil memberikan isyarat agar Huban Dabil segera meninggalkan pondoknya.

Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Perasaan bosan itulah yang sekarang ini tengah dirasakan oleh Huban Dabil. Anak muda ini tampak gelisah menunggu hingga berakhirnya musyawarah dukun” di Balai Rabung itu. Kegelisahannya menjadi semakin bertambah-tambah begitu menyadari bahwa dirinya sudah 2 minggu lebih tidak masuk kuliah.

“Wah, Bagaimana ini. Minggu depan sudah ujian akhir semester.”

Huban Dabil menjadi semakin bertambah gelisah begitu menyadari dirinya belum menyelesaikan semua urusan administrasi yang berhubungan dengan statusnya sebagai mahasiswa peserta ujian akhir semester.

“Akh, persetan amat dengan tabu segala macam itu. Pokoknya begitu para dukun yang tengah bermusyawarah dimaksud sudah pada pingsan semuanya, aku akan menyelinap masuk ke Balai Rabung untuk mencuri minyak guna-guna Karuang Bulik,” ujar Huban Dabil kepada dirinya sendiri.

Huban Dabil ternyata tidak main-main dengan rencananya itu.

Malam itu yang bersangkutan tampak terlihat mengendap-endap di balik semak-semak yang tumbuh merimbun di sekitar Balai Rabung. Dari tempat persembunyiannya itu Huban Dabil memperhatikan tingkah-laku para dukun yang tengah trance dibuai bunyi mantra dan bau dupa. Begitu para dukun dimaksud sudah pada pingsan semuanya, Huban Dabil segera masuk ke Balai Rabung dan….Hap! Huban Dabil dengan sigap menjambret minyak guna-guna Karuang Bulik yang tergantung di tiang-guru Balai Rabung. Berhasil.

***

Tidak sulit bagi Huban Dabil untuk mencuri kesempatan memoleskan minyak guna-guna Karuang Bulik ke tubuh Siti Maryam. Huban Dabil dan Siti Maryam sama-sama aktif dalam organisasi karang taruna, sehingga keduanya acap-kali terkumpul di sebuah ruangan pertemuan yang sama. Ringkas cerita, minyak guna-guna Karuang Bulik dimaksud sudah dipoleskan oleh Huban Dabil ke tubuh Siti Maryam. Dan sekarang ini Huban Dabil tengah menunggu dengan harap-harap cemas reaksi minyak pelet dimaksud.

“Hah, ternyata minyak guna-guna Karuang Bulik ini tidak berkhasiat sama sekali.”

“Terbukti Siti Maryam tetap acuh tak acuh saja terhadapku.”

“Padahal minyak guna-guna Karuang Bulik ini sudah kupoleskan sekitar satu bulan yang lalu.”

Setelah puas mengomel sendirian Huban Dabil kemudian teringat dengan majalah terbitan kota Banjarmasin yang dulu memuat tulisan-tulisan tentang minyak guna-guna di Kalsel.

“Bah, sial. Ternyata aku telah melanggar pantangan,” komentar Huban Dabil setelah membaca lebih teliti isi majalah dimaksud.

Menurut majalah dimaksud khasiat minyak guna-guna Karuang Bulik akan hilang begitu botol minyak pelet dimaksud dibawa melintasi Sungai Martapura atau Sungai Barito.

“Bila demikian halnya ini berarti minyak guna-guna Karuang Bulik ini telah kehilangan khasiatnya sebagai minyak pelet, begitu mobil yang kutumpangi dulu melintas di Jembatan
Pasayangan.”

Cerita tentang hilangnya khasiat minyak guna-guna Karuang Bulik begitu minyak pelet ini dibawa melintas di atas Sungai Martapura dan Sungai Barito sebagaimana yang tertulis dalam majalah terbitan kota Banjarmasin dimaksud, sebenarnya cuma didasarkan pada kepercayaan mitos setempat.

Menurut ceritanya pada tahun-tahun 1520-1526 telah terjadi perpecahan serius di kalangan elite penguasa di Kerajaan Banjar, yaitu antara Pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung. Adapun masalah yang mereka pertikaikan oleh keduanya adalah masalah pewarisan takhta di Kerajaan Banjar. Baik Pangeran Samudera maupun Pangeran Tumenggung merasa sebagai orang yang paling berhak untuk mewarisi takhta Kerajaan Banjar dari pendahuluan Maharaja Sukarama.

Sehubungan dengan terjadinya pertikaian tingkat tinggi ini Pangeran Samudera kemudian meninggalkan Istana Daha secara diam-diam dan mengungsi ke Istana Kuin. Tak lama setelah tiba di Istana Kuin, Pangeran Samudera kemudian memproklamirkan berdirinya Kerajaan Banjar tandingan dengan wilayah kekuasaannya meliputi semua daerah di hilir sungai dan di pesisir laut.

Pangeran Tumenggung tentu saja tidak senang mendengar berita ini, sebagai jawabannya yang bersangkutan kemudian memaklumkan perang melawan Pangeran Samudera. Sesuai dengan situasi zamannya maka perang saudara antara Pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung ini berlangsung secara konvensional. Perang saudara itu hanya hanya mengandalkan diri pada ketarmpilan para anggota pasukan perang yang setia kepadanya dalam mempergunakan mesin perang konvensional seperti panah, pisau, tombak, parang, mandau, sumpitan dan lainnya.

Bila mesin perang yang dianggap canggih sekarang ini adalah peluru kendali berkepala nuklir yang bisa ditembakkan dari benua ke benua, maka mesin perang yang dianggap canggih pada zaman dahulu adalah tundik dan parangmaya (sejenis santet). Tundik dan parang maya adalah sejenis senjata konvensional yang bisa dipergunakan untuk membunuh orang secara misterius melalui jasa jin atau setan suruhan. Selain itu minyak guna-guna agaknya juga termasuk mesin perang yang harus diperhitungkan pada zaman dahulu itu. Betapa tidak? Meski pun tidak bisa dipergunakan untuk membunuh orang secara tidak kasat mata sebagaimana halnya dengan tundik dan parang maya, namun potensinya sebagai alat untuk menaklukan musuh termasuk pantas untuk diandalkan kehebatannya.

Dalam rangka memusnahkan ilmu kedigjayaan atau kekuatan supranatural dari anggota pasukan perang musuh berikut kehebatan mesin perang yang mereka miliki, Pangeran Samudera kemudian memberikan kekuatan supranatural tertentu pada Sungai Martapura dan Sungai Barito yang secara topografis memisahkan daerah kekuasaannya dengan daerah kekuasaan Pangeran Tumenggung.

Begitulah, saking hebatnya kekuatan supranatural yang dipendamkan Pangeran Samudera di Sungai Martapura dan Sungai Barito itu, maka pasukan perang musuh yang mencoba menyerang ke wilayah kekuasaannya akan segera kehilangan ilmu kedigjayaannya. Tidak hanya itu nasib yang sama juga akan dialami oleh senjata pusaka, minyak guna-guna dan senjata-senjata tidak kasat mata milik anggota pasukan perang musuh.

Menurut ceritanya begitu senjata pusaka, minyak guna-guna dan senjata-senjata tidak kasat mata dimaksud dibawa melintasi Sungai Martapura dan Sungai Barito, maka kekuatan supranaturalnya akan hilang begitu yang bersangkutan menginjakkan kakinya di daerah Pangeran Samudera.

Kini mitos tentang kekuatan supranatural di Sungai Martapura dan Sungai Barito dimaksud telah diperbaharui dengan kepercayaan setempat yang menyatakan bahwa kekuatan supranatural dimaksud sekarang ini telah ditambah lagi dengan kekuatan supranatural yang berasal dari maunah para ulama yang berdiam di kota Martapura (Sungai Martapura) dan Marabahan (Sungai Barito).

Pendapat umum atau kepercayaan setempat ini agaknya didasarkan pada pikiran bahwa para ulama umumnya tidak suka dengan praktek-praktek klenik semacam itu, kedigjayaan, olah-kanuragan, tundik, parang-maya, minyak guna-guna dll yang sejenisnya. Hal ini bisa dipahami karena praktek-praktek klenik semacam ini biasanya memang amat dekat dengan pekerjaan orang-orang yang syirik (menyekutukan Tuhan).

Wallahhualambisawab.

“Sekarang barulah aku menyadari bahwa pekerjaan membawa minyak guna-guna Karuang Bulik dari desa Batu Takuk ke kota Banjarmasin bukanlah pekerjaan yang mudah,” ujar Huban Dabil kepada dirinya sendiri.

Memang, secara teoretis rasanya mustahil seseorang bisa membawa minyak guna-guna Karuang Bulik dari desa Batu Takuk ke kota Banjarbaru tanpa melewati Sungai Martapura dan Sungai Barito. Betapa tidak? Bila minyak guna-guna Karuang Bulik dimaksud dibawa dengan mobil melalui jalan darat, maka pembawanya tidak bisa menghindarkan diri untuk tidak melewati salah satu dari 4 jembatan besi yang dibangun melintang persis di atas Sungai Martapura, yaitu Jembatan Pesayangan di kota Martapura, Jembatan Pasar Lama, Jembatan Antasari dan Jembatan Ahmad Yani (ketiga-tiganya terletak di kota Banjarmasin). Sementara itu jika minyak guna-guna “Karuang Bulik” dimaksud dibawa dengan kapal melalui jalan sungai, maka pembawanya tidak bisa menghindarkan diri dari keharusan melewati Sungai Barito dan Sungai Martapura.

“Bagaimanapun juga aku harus membuang minyak guna-guna Karuang Bulik yang sudah kehilangan khasiat magisnya ini.”

“Aku harus datang lagi ke Batu Takuk untuk meminta maaf kepada Anjang Tuan.”

“Aku akan meminta minyak guna-guna Karuang Bulik yang baru secara baik-baik kepada Anjang Tuan.”

“Begitu aku berhasil mendapatkannya aku tidak akan mengulangi kesalahanku tempo hari.”

“Sebelum mobil yang kutumpangi melintas di Jembatan Pasayangan aku akan turun sejenak untuk menyembunyikan minyak guna-guna Karuang Bulik dimaksud di sebuah tempat yang amat rahasia di Tambak Anyar.”

“Selanjutnya aku akan mencari jalan agar bisa mengajak Siti Maryam jalan-jalan ke Tambak Anyar.”

“Di mana supaya tidak menimbulkan kecurigaan tertentu, acara jalan-jalan ke Tambak Anyar  ini harus dilakukan secara berombongan dengan kawan-kawan sekampung lainnya.”

Huban Dabil kelihatannya begitu asyik dengan skenario barunya ini.  Skenario yang direka-reka oleh Huban Dabil di atas tampaknya tidak begitu sulit untuk diwujudkan.

Tapi, benarkah demikian?

Ternyata tidak.

Anjang Tuan dukun pembuat minyak guna-guna “Karuang Bulik” dimaksud marah besar begitu mendengar pengakuan Huban Dabil bahwa dirinyalah yang dulu mencuri minyak pelet olahannya di Balai Rabung tempo hari.

“Kurang ajar kau, Bil,” umpat Anjang Tuan.

Plak, plak, plak, tangannya mengeplak dengan dahsyat pipi Huban Dabil.

“Ampun, Pak. Ampun!”

“Gara-gara ulahmu yang kurang ajar itulah maka aku terpaksa harus menganggur tahun ini.”

“Tanpa minyak guna-guna Karuang Bulik maka sepanjang tahun ini aku tidak bisa membantu orang lain.”

“Ini berarti aku telah kehilangan sumber pendapatan,” ujar Anjang Tuan mengomel habis-habisan.

“Ampun, Pak. Ampun. Saya bersedia mengganti kerugian yang Bapak derita.”

“Berapa kau berani mengganti kerugianku, heh?!” bentak Anjang Tuan.

“Berapa saja, Pak. Asal sesuai dengan kemampuan saya.”

“Sejuta, bagaimana?”

“Ampun, terlalu banyak.”

“Setengah juta?!”

“Masih terlalu banyak.”

“Lalu berapa?”

“Sepuluh ribu saja.”

“Kurang ajar, kau!” teriak Anjang Tuan sambil menendang Huban Dabil dengan penuh emosi.

“Ampun, Pak. Ampun!”

“Pergiiiii!” usir Anjang Tuan.

Bras!

Huban Dabil meloncat turun dari pondok Anjang Tuan dan selanjutnya mengambil langkah seribu meninggalkan tempat yang penuh bahaya itu.

“Huh, kau mestinya kubunuh dengan parangmaya, Bil!”


“Dasar setan. Terkutuklah, kau,” teriak Anjang Tuan mengantarakan kepergian anak muda itu.

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: