Lima


Bunyi orang menebang pohon di kaki Gunung Maratus sudah tidak kedengaran lagi. Sebagai gantinya sayup-sayup terdengar suara orang mengunyah makanan. Ketika itu Lamitak (25 tahun), Lamitik (21 tahun) dan Lamituk (17 tahun) memang tengah makan siang. Tiga orang bersaudara ini sudah setengah hari ini bekerja menebang sebatang pohon ulin. Hutan tempat mereka menebang pohon ulin dimaksud adalah hutan lebat yang jarang dirambah orang. Perkampungan terdekat letaknya sekitar satu hari berjalan kaki.

Lamitak, Lamitik dan Lamituk adalah tiga orang bersaudara yang tinggal di Kampung Taniran. Ketiganya bekerja sebagai peramu hasil hutan profesional yang sudah sering keluar masuk hutan lebat. Berbeda dengan hari-hari biasanya, kali ini mereka kembali masuk hutan bukan untuk meramu hasil hutan sebagaimana biasanya. Tapi, untuk mencari 4 batang pohon ulin berukuran panjang sekitar 20 meter dengan besar sekitar sepemeluk orang dewasa.

Mereka bertiga sudah mendaftarkan dirinya sebagai peserta sayembara pencarian 4 batang pohon ulin untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid yang akan dibangun Sultan Suriansyah.

“Makan siang di hutan ini akan lebih nikmat jika masing-masing kita dilayani oleh seorang gadis yang cantik jelita,” ujar Lamituk membuka bicara.

“Hehehe. Aku setuju dengan pendapatmu, Tuk,” ujar Lamitik menimpali.

“Tapi, apa ada ya, gadis cantik yang mau diajak menemani kita bekerja di hutan lebat yang sepi ini, Tik?” ujar Lamituk kemudian.

“Hei, sejak tadi kudengar kalian berdua ini selalu membicarakan tentang gadis melulu. Apakah itu berarti kalian berdua sudah ingin cepat-cepat menikah?” kali ini Lamitak yang berbicara.

“Iya, Kak. Si bungsu Lamituk tampaknya sudah gatal. Ia ingin sekali menikahi pacarnya di kampung sebelah. Tapi, sayang uangnya belum cukup.”

“Belum cukup ataukah belum ada, Tuk?”

“Belum ada, kak.”

“Uang bukan masalah, Tuk. Jika kita berhasil menebang empat batang pohon ulin dan bisa membawanya dengan segera ke kota Muara Banjar, maka kita akan mendapatkan hadiah uang dalam jumlah sangat besar. Nah, hadiah uang itu tentunya bisa kalian pakai untuk biaya kawin.”

“Asyiik,” ujar Lamitik sementara Lamituk cuma tersenyum saja.

 “Kami berdua memang akan mempergunakannya untuk biaya kawin. Kakak sendiri, bagaimana. Karena setahu kami kakak belum punya pacar?” tanya Lamitik lagi.

“Aku nanti saja. Biar kalian yang sudah kegatalan itu saja yang kawin duluan.”

Ketiga bersaudara itu tergelak.

Ketika itulah dari balik semak-semak yang tersibak angin muncul tiga orang wanita cantik.

“Hai!” salah seorang dari ketiga gadis itu menyapa mereka sambil melambaikan tangannya.

“Hai!” ujar Lamitik membalas sapaan sambil membalas lambaian tangan gadis misterius itu.

“Kalian datang dari mana?” tanya Lamitik.

“Dari dusun sebelah.”

“Ada apa di sana?”

“Kami bertiga menghadiri acara babalian.”

“Rumah kalian di mana?” tanya Lamitik lagi.

“Di balik bukit itu,” jawab si gadis singkat sambil menunjuk ke arah bukit yang dimaksudkannya.

“Wah, cukup jauh. Mungkin kalian kecapekan. Silakan naik ke pondok kami untuk melepas lelah sejenak,” kali ini Lamituk yang bicara.

“Terima kasih. Apakah kami tidak mengganggu kalian.”

“Ah, tidak. Silakan naik. Kita minum kopi bersama.”

“Hemm, bagaimana, ya?”

“Ah, tak baik menolak rezeki. Ayolah naik.”

“Baiklah jika kami memang tidak mengganggu kalian.”

Melihat tawarannya disambut dengan baik, wajah Lamitik dan Lamituk tampak berseri-seri. “Asyik,” ujar Lamitik dan “Kesempatan,” ujar Lamituk, tentunya di dalam hati.

Tiga gadis misterius itu segera naik ke pondok dan mengambil tempat duduknya masing-masing. Gadis yang tua memilih tempat duduk disamping Lamitak, gadis yang tengah disamping Lamitik, dan gadis yang bungsu disamping Lamituk.

“Kenalkan dulu, aku Lamitik. Itu kakak sulungku Lamitak dan ini adik bungsuku Lamituk.”

“Kenalkan juga aku Saguisik. Itu kakak sulungku Saguisak dan ini adik bungsuku Saguisuk.”

Selanjutnya ketiga pasangan pria wanita muda itu saling bersalam-salaman sambil mengulas senyum manisnya masing-masing.

“Silakan diminum kopinya, nanti keburu dingin,” ujar Lamitik mempersilahkan ketiga tamunya.

“Kebetulan kami ada membawa bekal. Silakan dicicipi sebagai teman minum kopi,” ujar Saguisak sambil menghidangkan beberapa potong kue ketan.

Lamitik dan Lamituk segera menyambut tawaran itu, keduanya segera mengambil sepotong kue ketan dan memakannya dengan lahap sekali. Suasana yang tadinya serba malu-malu itu segera berubah menjadi suasana penuh keakraban. Dalam tempo singkat pondok itu menjadi ramai, cerah, ceria dan penuh seloroh. Satu sama lainnya sudah saling akrab seolah-olah tak berjarak lagi. Lamitik dan Lamituk bahkan sudah mulai main cubit-cubitan dengan pasangannya masing-masing Saguisik dan Saguisuk.

“Silakan dicicipi kuenya, kak,” ujar Saguisak mempersilakan Lamitak.

“Terima kasih. Nanti saja. Aku masih kenyang. Kami baru saja selesai makan siang. Lihatlah, bekas-bekasnya juga belum  kami benahi,” ujar Lamitak menjelaskan.

Deg. Tiba-tiba dada Lamitak berdegup keras. Ada rasa takut yang tiba-tiba menyergap dadanya. Ia mulai menaruh curiga, jangan-jangan  ketiga gadis misterius ini adalah manusia jelmaan macan. Ia lalu mencuri pandang ke arah bagian bawah hidung Saguisak, Saguisik dan Saguisuk. Benar saja bagian bawah hidung ketiga gadis misterius itu tampak rata tidak ada garis berlubang sama sekali. Tidak salah lagi ketiga gadis misterius ini memang adalah manusia jelmaan macan.

“Lamitik. Lamituk. Ayo lari. Cepat selamatkan diri kalian. Gadis-gadis misterius ini bukan manusia seperti kita. Tapi manusia jelmaan macan!” teriak Lamitak  sambil melompat ke luar pondok untuk kemudian berlari cepat menjauhkan diri dari ancaman maut yang ditebarkan oleh Saguisak, Saguisik dan Saguisuk.  Saguisak yang melihat calon mangsanya pergi melarikan diri tidak tinggal diam, ia segera mengejar Lamitak ke mana pun lelaki muda itu berlari untuk menyelamatkan diri.

Lamitik dan Lamituk yang kaget bukan main juga segera melompat ke luar pondok. Keduanya berlari secara terpencar untuk mencari tempat persembunyiannya masing-masing. Saguisik dan Saguisuk segera mengejar calon mangsanya masing-masing. Saguisik mengejar Lamitik dan Saguisuk mengejar Lamituk.

Sebentar saja, Saguisik kehilangan jejak calon mangsanya, karena Lamitik ternyata begitu cepat larinya dan begitu pandai mencari tempat persembunyian yang sulit dilacak.

Tapi.

“Lamitik!” panggil Saguisik yang sedang kehilangan jejak.

“Oiii ....!” Betapa kagetnya Lamitik, karena panggilan Saguisik itu disahuti oleh perutnya sendiri.

Saguisik segera mengejar ke balik kerimbunan semak belukar tak jauh dari tempatnya berdiri, karena dari arah situlah suara sahutan perut Lamitik berasal.

Begitulah yang terjadi berkali-kali, setiap kali Saguisik kehilangan jejak Lamitik, maka ia akan memanggil nama calon mangsanya itu, dan tanpa dikehendaki Lamitik sendiri terdengar suara sahutan “oii...!” dari dalam perutnya. Suara sahutan itu sesungguhnya berasal dari kue ketan pemberian Saguisik yang tadi dimakan Lamitik (yang kini telah berada di dalam perutnya).

Akibatnya, kemana pun Lamitik menyembunyikan dirinya, Saguisik selalu berhasil menemukan tempat persembunyiannya. Setelah sekian lama berlari ke sana ke mari dan bersembunyi ke situ ke sini, Lamitik akhirnya tak bisa berlari lagi karena kelelahan yang amat sangat. Ketika itulah Saguisik beraksi  membunuh Lamitik.

Benar apa yang dikatakan Lamitak, Saguisik adalah seekor macam yang menjelma menjadi manusia jadian. Terbukti, begitu selesai memangsa Lamitik, Saguisik segera berubah wujud menjadi macan kembali.

Begitu pula halnya yang terjadi dengan Lamituk, lelaki muda ini juga gagal meloloskan diri dari kejaran Saguisuk, karena setiap kali namanya dipanggil Saguisuk, maka kue ketan pemberian Saguisuk yang dimakannya tadi (yang kini sudah berada di dalam perutnya) akan segera menyahuti panggilan itu. “Oi ...!”. Begitu terkejar, ia juga langsung dibunuh Saguisuk. Setelah selesai memangsa Lamituk, Saguisuk pun berubah wujud menjadi macan kembali.

Sekarang tinggal Lamitak yang masih berusaha menyelamatkan diri dari kejaran Saguisak. Saguisak sudah kehilangan jejak, Lamitak bersembunyi di balik kerimbunan semak-semak yang lebat sehingga badannya tidak terlihat Saguisak.

“Lamitak!” panggil Saguisak.

“Uii!”

Betapa kagetnya Lamitak, karena panggilan Saguisak itu disahuti oleh jari telunjuknya sendiri.

“Lamitak!”

“Uii!”

Begitulah yang terjadi berkali-kali. Setiap kali Lamitak berhasil menyembunyikan dirinya di balik kerimbunan semak-semak, maka Saguisak akan memanggil namanya dan panggilan itu langsung disahuti oleh jari telunjuknya. Tanpa dikehendaki Lamitak, jari telunjuknya itu memang akan selalu menyahuti panggilan Saguisak, karena dengan jari telunjuk itu telah menyentuh kue ketan yang disodorkan Saguisak. Akibatnya, ke mana pun dan di mana pun ia bersembunyi, tempat persembunyiannya itu selalu berhasil ditemukan oleh Saguisak.

“Tidak ada pilihan lain. Aku harus memotong jari telunjukku ini. Jika tidak aku akan mati konyol dimangsa Saguisak,” ujar Lamitak. Pras! Lamitak memotong jari telunjuknya dengan kapak. Lalu, potongan telunjuk itu dilemparkannya jauh-jauh.

“Lamitak!”

“Uii!”

Saguisak segera berlari ke arah sahutan itu. Betapa kecewanya ia, karena cuma menemukan potongan jari telunjuk Lamitak. Dari kejauhan Lamitak menyaksikan bagaimana Saguisak memakan potongan jari telunjuknya itu. Wajah Saguisak tampak sedih karena ia cuma mendapatkan potongan jari telunjuk saja. Sedangkan Saguisik dan Saguisuk memperoleh mangsanya secara utuh.   

Pada saat yang bersamaan datanglah ke tempat itu serombongan warga sekampungnya. Mereka datang di bawah pimpinan ayah Lamitak yang merasa cemas dengan keselamatan tiga orang anaknya yang tak kunjung pulang selama sebulan penuh. Dalam seminggu terakhir, ayah Lamitak selalu bermimpi buruk, itulah sebabnya sehingga ia mengajak warga sekampungnya menyusul Lamitak dan adik-adiknya ke lokasi pencarian pohon ulin di kaki Gunung Maratus.

“Lamitak!”

“Ayah!”

“Apa yang terjadi dengan kalian, nak?”

“Lamitik dan Lamituk tewas dimangsa Saguisik dan Saguisuk, pak. Saya sendiri hampir tewas dimangsa Saguisak. Untunglah, bapak segera datang ke tempat ini”

“Siapa  Saguisak, Saguisik dan Suguisuk itu, Tak?!”

“Tiga wanita jelmaan macan,” ujar Lamitak. Setelah itu ia pun   jatuh pingsan.

“Tidak salah lagi Saguisak, Saguisik dan Saguisuk itu adalah  anak Sangatak dan Sangitik. Kalau begitu, tunggu pembalasanku,” ujar ayah Lamitak.

Segera setelah itu ayah Lamitak mempersiapkan upacara ritual pembalasan dendam.  Ayah Lamitak dengan khusuknya membaca mantera-mantera pemusnah macan siluman.

“Saguisak, Saguisik dan Saguisuk. Aku tahu asal-usul kalian. Kalian bertiga adalah anak Sangatak dan Sangitik. Berkat aku tahu asal-usul kalian, maka aku dapat mengutuk kalian. Kutukku ampuh tak tertahankan. Kalian kukutuk jadi abu. Puah .... jadilah kalian abu!”

“Aduhhh!” jerit Saguisik dan tubuhnya langsung berubah jadi abu.

Ayah Lamitak kembali membaca mantera untuk yang kedua kalinya.

“Aduhhh!” kali ini Saguisuk yang menjerit. Macan siluman itu langsung berubah jadi abu.

“Masih ada satu macan lagi,” ujar ayah Lamitak. Lalu ia pun membaca mantera untuk yang ketiga kalinya

“Aduhhh!” jerit Suguisak dan ia pun berubah jadi abu menyusul kedua adiknya.

Setelah yakin semua macan siluman telah tewas, barulah ayah Lamitak mengajak orang-orang sekampungnya untuk mencari sisa-sisa tubuh Lamitik dan Lamituk yang tidak sempat dimangsa macan siluman. Pencarian itu tidak berlangsung lama, sisa-sisa tubuh Lamitik dan Lamituk mereka temukan di dua tempat terpisah. Tubuh Lamitik ditemukan tak jauh onggokan abu Saguisik dan tubuh Lamituk ditemukan tak jauh dari onggokan abu Saguisuk. Paling akhir mereka menemukan onggokan abu milik Saguisak di tempat lainnya.

Pada hari itu juga sisa-sisa tubuh Lamitik dan Lamituk dimakamkan di tempat kejadian perkara yang terletak di tengah hutan rimba, karena keadaannya sudah rusak berat dan baunya juga sudah sangat menyengat hidung, sehingga tidak mungkin dibawa pulang kembali ke Kampung Taniran. Sedangkan Lamitak yang cuma jatuh pingsan segera dibawa pulang ke Kampung Taniran dengan rakit bambu melalui jalur sungai. Begitu pula halnya dengan 2 batang pohon ulin yang sudah berhasil ditebang oleh Lamitak bersaudara juga ikut dibawa ke Kampung Taniran.

Perjalanan pulang dari kaki Gunung Maratus ke Kampung Taniran tidak seberat dibandingkan dengan perjalanan dari Kampung Taniran menuju ke kaki Gunung Maratus. Bila perjalanan ke kaki Gunung Maratus harus dilakukan dengan cara berjalan kaki menyusuri jalan setapak, maka perjalanan pulang kembali ke Kampung Taniran bisa dilakukan dengan mempergunakan rakit bambu menghiliri Sungai Maratus.

Setelah 2 minggu beristirahat di Kampung Taniran, kesehatan Lamitak pulih kembali. Sesuai dengan rencananya semula dan sesuai pula dengan saran ayahnya, Lamitak kemudian berangkat ke kota Muara Banjar untuk menyerahkan secara langsung  pohon ulin yang sudah berhasil ditebangnya di kaki Gunung Maratus  kepada Sultan Suriansyah. Sebagai salah seorang peserta sayembara yang sudah terdaftar, ia berharap bisa memperoleh hadiah uang yang besarnya disesuaikan dengan prestasi yang  ditunjukannya, yakni berhasil menebang 2 batang pohon ulin sebagaimana yang telah
ditetapkan ukuran panjangnya (20 meter) dan garis tengahnya (sepemeluk orang dewasa).

Keberangkatan Lamitak ke kota Muara Banjar didampingi langsung oleh ayahnya, sanak saudaranya, karib keraabatnya dan sejumlah orang sekampungnya. Mereka berangkat secara berombongan dengan sejumlah perahu berukuran besar besar (jukung tiung) dan sejumlah rakit bambu lengkap dengan persediaan bahan makanan selama dalam perjalanan. Batangan pohon ulin yang akan diserahkan kepada Sultan Suriansyah ditempatkan di 2 buah rakit bambu yang sengaja dibuat dalam ukuran besar. Perjalanan dari Kampung Taniran dilakukan dengan menyusuri Sungai Amandit, Sungai Negara, Sungai Barito dan akhirnya masuk ke Sungai Kuin.

Kedatangan Lamitak dan rombongannya disambut dengan meriah oleh segenap warga kota Muara Banjar. Lamitak diperlakukan sebagaimana layaknya seorang pahlawan yang baru kembali dari pertempuran setelah meraih kemenangan yang gilang-gemilang. Hadiah uang bagi Lamitak diserahkan langsung oleh Sultan Suriansyah dan disaksikan oleh segenap petinggi Kerajaan Banjar lainnya.


Setelah diselidiki secara seksama barulah diketahui bahwa Saguisak, Saguisik dan Sauguisuk ternyata adalah kaki tangan Pangeran Temenggung juga. Saguisak, Saguisik dan Saguisuk adalah siluman macan yang ditugaskan Pangeran Temenggung untuk mengagalkan rencana Sultan Suriansyah membangun masjid di pusat kota Muara Banjar.


...selanjutnya




Klik Daftar Isi atau Bagian Enam


0 comments: