DIPUJI GURU SEBAGAI CALON PENGARANG MASA DEPAN


Ketika pindah ke kampung Guntung Lua aku sudah duduk di bangku Kelas II SDN Mawar Kencana Sekolahku terletak di bilangan Jalan Mawar, Banjarbaru III. Sekolah ini termasuk sekolah favorit di kota Banjarbaru. Kepala Sekolahnya bernama Pak Roem, beliau dikenal sebagai sosok pendidik yang sangat disiplin begitu pula halnya dengan guru-guru SDN Mawar Kencana Banjarbaru III yang lainnya.

Setiap pagi aku jalan kaki sejauh 1,5 kilometer dari kampung Guntung Lua menuju ke sekolah. Bagi anak kecil seusiaku (7 tahun) jarak itu cukup melelahkan untuk ditempuh. Supaya tidak terlambat datang ke sekolah, aku harus melangkahkan kaki-kaki kecilku dengan cepat. Jika terlambat hukumannya tidak boleh mengikuti mata pelajaran pada jam pertama.

Hukuman itulah yang kuterima ketika pada suatu hari aku datang terlambat ke sekolah.Aku  dilarang masuk ke ruang kelas selama satu jam pelajaran. Aku sangat traumatis dengan pengalaman buruk ini, aku takut Bu Guru melaporkan kasus ini kepada ayahku. Ayahku pasti marah besar karenanya.

Guru SDN Mawar Kencana yang masih tetap kukenang hingga sekarang ini adalah Bu Laila. Beliaulah orang pertama yang memberi nilai sembilan untuk mata pelajaran mengarang. Nilai itu merupakan nilai tertinggi yang pernah beliau berikan untuk seorang murid dalam pelajaran mengarang.

“Ibu perkenalkan, Tajuddin Noor, calon pengarang berbakat dari sekolah kita,” ujar Bu Laila dengan bangga di depan kawan-kawanku sekelas. Spontan kawan-kawanku bertepuk tangan memberi aplaus untukku. Aduh, bangganya diriku. Inilah untuk kali yang pertama aku merasa tersanjung. Terima kasih, Bu Laila.

Aku masih ingat, hari itu kami ditugaskan Bu Laila menulis karangan tentang kerja bakti di sekolah Pujian Bu Laila mematahkan reputasi seorang kawan yang selama ini selalu menonjol dalam pelajaran mengarang. Selama ini ia membanggakan dirinya sebagai orang yang dapat dengan mudah  menyelesaikan tugas mengarang di sekolah. Rahasia suksesnya itu menurutnya karena ia rajin membaca komik silat.

Wah, aku merasa keder juga, karena untuk mengikuti kiatnya itu berarti aku juga harus rajin membaca komik silat seperti dirinya. Hal ini tidak mungkin aku lakukan karena itu berarti aku harus mengeluarkan uang untuk menyewa komik silat di taman persewaan komik. Uang untuk menyewa komik silat  itulah yang tidak kumiliki. Boro-boro mengeluarkan uang untuk menyewa komik silat, uang untuk beli jajan saja belum tentu ada.

Belakangan, Bu Laila memperingatkan kawanku itu agar jangan terlalu banyak membaca komik silat, Jika karangannya masih berbau cerita komik silat, maka karangan itu akan diberi nilai nol, tak peduli meskipun karangannya itu sangat menarik.

Peringatan Bu Laila itu ada kaitannya dengan sikap para guru ketika itu, yakni agak alergi dengan komik. Komik dinilai sebagai bahan bacaan berbahaya bagi anak sekolah. Setiap siswa yang tertangkap tangan membawa komik ke sekolah akan mendapat peringatan keras. Komik yang dibawanya ke sekolah akan dirampas dan baru dikembalikan jika yang mengambilnya adalah orang tua siswa yang bersangkutan.

Aku pernah membaca karangan teman sekelasku itu. Pengaruh komik silat yang dibacanya membuat karangannya menjadi tidak logis. Dalam karangannya itu diceritakan bahwa di suatu kampung telah terjadi banyak kasus pencurian ayam. Pencuri ayam dimaksud diceritakan sebagai seorang yang sakti mandraguna, sehingga untuk menangkapnya maka pak kepala kampung kemudian menugaskan seorang pendekar silat yang sudah barang tentu juga harus sakti mandraguna. Cerita dimaksud tidak logis, karena tindakan kejahatan yang dilakukan tokoh antagonis cuma sebagai maling ayam.Cerita dimaksud baru logis jika tokoh antogonisnya bukanlah maling ayam tapi perampok rumah gadai.

Keberhasilanku mengukir prestasi pada mata pelajaran mengarang menaikkan gengsiku di mata kawan-kawan sekolah. Selama ini mereka memandangku dengan sebelah mata karena nilai berhitungku selalu jeblok.  

Dulu, pelajaran mengarang termasuk pelajaran yang dianggap penting, karena merupakan salah satu tugas yang harus dikerjakan sebagai bagian dari ujian nasional untuk mata pelajaran bahasa Indonesia. Boleh jadi berkat keterampilanku dalam mengolah kata-kata menjadi sebuah karangan maka aku berhasil meraih nilai 9 (Sembilan) dalam ujian  nasional mata pelajaran bahasa Indonesia. Nilai inilah yang tercantum dalam ijazahku ketika lulus SD pada tahun 1971.

◊◊◊

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: