BANJARBARU, 1974


Banjarbaru tahun 1974 sudah pasti berbeda dengan Banjarbaru tahun 2012. Ketika itu  para pelajar yang tinggal di Banjarbaru belum mendapat fasilitas bus sekolah gratis seperti sekarang ini. Aku ketika itu masih sekolah di SMEP Negeri Martapura. Setiap pagi aku harus berangkat ke sekolah dengan mengandalkan kebaikan hati warga kota Banjarbaru yang menjadi sopir mobil dinas  pejabat di kota Martapura.

Para sopir mobil dinas pejabat itu biasanya berbaik hati memberi tumpangan jepada warga kota Banjarbaru yang bersekolah di kota Martapura. Tidak semua pelajar menerima kebaikan hati semacam itu. Mereka, para sopir mobil dinas pejabat itu tampaknya lebih senang memberi tumpangan kepada para pelajar putri. Terutama sekali pelajar putri yang sudah duduk di bangku setingkat SMTA.

Maklumlah, para pelajar putri yang sedang dalam usia meningkat remaja itu memang sudah mulai menunjukkan daya tarik tersendiri. Tubuh pubernya sudah mulai terbentuk, begitu pula dengan parasnya, juga sudah mulai memperlihatkan aura kecantikannya. Para pelajar berwajah cantik itulah yang menjadi ujung tombak kami dalam memancing minat para sopir mobil dinas pejabat yang tampaknya liur baik atau bahkan liur baungan itu. Bahasa Banjar artinya berselera baik (liur baik) atau lelaki mata keranjang yang suka ngiler jika melihat pipi licin anak perawan  (liur baungan). Maklumlah, usia mereka juga relatif masih muda, antara 17-23 tahun.
Aku sendiri dan para pelajar putra lainnya cuma mengambil kesempatan dalam kesempitan, yakni ikut nyelonong masuk ke dalam mobil dinas ketika para pelajar putri  mendapat tumpangan mobil gratis.

Lokasi penjagaan mobil tumpangan gratis dimaksud terletak di sepanjang Jalan Ahmad Yani, mulai dari Kilometer 34 sampai dengan kilometer 35. Tapi tempat penjagaan mobil tumpangan yang paling favorit terletak di kilometer 34,50, yang lokasinya tidak jauh dari Kantor BRI sekarang ini.

Setiap pagi, sekitar pukul 07.00-07.30 kami para pelajar sudah stand by di sana. Bila sampai dengan pukul 08.00 tidak juga mendapat tumpangan mobil gratis maka kami terpaksa naik taksi colt. Tarifnya Rp. 50,- Ketika itu belum ada armada taksi kota warna hijau seperti sekarang ini.
Tapi, para sopir colt ketika itu pada umumnya enggan menyinggahi kami para pelajar. Maklumlah di antara kami banyak yang cuma membayar separo tarif (Rp. 25,-) atau bahkan tidak membayar sama sekali (cuma mengucapkan terima kasih saja).

Ternyata, semakin hari semakin sedikit saja om-om pejabat yang berkenan memberikan tumpangan mobil gratis. Tidak juga kepada para pelajar putri yang berparas cantik. Mereka boleh jadi trauma dengan beberapa pengalaman buruk, karena yang ikut menumpang mobilnya bukan cuma para pelajar putri yang cantik, tetapi juga para pelajar putra yang dekil. Padahal, tujuan mereka memberi tumpangan mobil gratis tidak lain agar dapat bergombal ria semata, bukan tulus membantu demi masa depan para pelajar itu sendiri. 

Bus/truk sekolah ketika itu bukannya tak ada. Ada.Tapi bus/truk sekolah tersebut tidak disediakan untuk umum oleh Pemkot seperti sekarang ini. Bust/truk dimaksud disediakan oleh para pimpinan perusahaan atau komandan kesatuan ABRI yang ada di wilayah Kota Banjarbaru. Sudah barang tentu, tidak semua pelajar kota Banjarbaru dapat menikmati fasilitas bus/truk ini. Hanya pelajar yang orang tuanya bekerja di perusahaan atau berdinas di kesatuan ABRI itu saja yang boleh menumpang bus/truk dimaksud.

Konon gaji orang tua para pelajar itu setiap bulannya dipotong beberapa ratus rupiah sebagai pengganti biaya operasional bus/truk sekolah itu. Perusahaan atau kesatuan ABRI yang menyediakan bus/truk sekolah dimaksud, antara lain Rinlam (Resimen Infantri Landasan Ulin), AURI (Landasan Ulin), Perusahaan Penerbangan Sipil (Landasan Ulin), Yon Zipur (Guntung Payung), Brimob (Guntung Payung), Linud (Sungai Ulin), Dodiklat (Gunung Kupang), PT Antam Unit Intan (Banyu Irang, Bangkal, dan Cempaka), dan PLN Riam Kanan.

Semua bus/truk itu singgah di kota Banjarbaru untuk mengantarkan para pelajar mereka yang bersekolah di SMPN dan SMAN. Selanjutnya bus/truk pelajar itu melanjutkan perjalanannya ke SMKK Banjarbaru (persis di belakang Museum Banjarbaru), ke ST/STM Sungai Paring, dan terakhir singgah di SMPN, SMEPN, dan SMEAN Martapura (ketika itu di Martapura belum ada SMAN).

Menyikapi keadaan yang tidak kondusif, yakni semakin sedikitnya para sopir mobil  dinas pejabat  yang berkenan memberikan tumpangan mobil gratis, maka kami para pelajar putra kemudian memilih ikut menumpang bus/truk sekolah yang disediakan oleh sejumlah pimpinan perusahaan dan para komandan di berbagai kesatuan ABRI bagi para pelajar yang orang tuanya bekerja di perusahaan atau berdinas di kesatuan ABRI dimaksud.

Ketika itu fasilitas pendidikan di wilayah kota administratif Banjarbaru masih terpusat di kota Banjarbaru. Tidak seperti sekarang, di setiap kecamatan sudah tersedia sekolah-sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan SMTA.

Akibatnya, para pelajar tamatan SD yang tinggal di Landasan Ulin, Guntung Payung, Gunung Kupang, Sungai Ulin, Riam Kanan, Cempaka, Banyu Irang dan Bangkal, harus melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMTP di kota Banjarbaru atau Martapura.

Lebih-lebih setelah mereka tamat SMTP tidak ada pilihan lain kecuali melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMTA di kota Banjarbaru dan Martapura.

Situasi semacam ini menguntungkan para pelajar Banjarbaru yang bersekolah di Martapura, karena mereka dapat menumpang bus/truk sekolah yang mana saja suka pilih.

Aku sendiri lebih suka naik truk sekolah milik Kesatuan Linud Sungai Ulin, sopirnya yang kalau aku tidak salah ingat bernama om Jacobus. Truk sekolah itu kutunggu di depan SMPN Banjarbaru. Aku akan segera naik ke truk sekolah itu, begitu para pelajar SMPN Banjarbaru yang diantarkannya sudah pada turun semua.

Tapi, tidak lama kemudian aku terlibat cinta monyet dengan seorang pelajar putri teman sekolahku di SMEPN Martapura. Setelah terlibat cinta monyet di lokasi shoting dengannya (hehehe, lagaknya seperti bintang sinetron), maka akupun pindah ke bus sekolah lain, yakni bus sekolah yang biasa ditumpangi pacarku.

Pada masa-masa puber pertama inilah aku mulai mencoba-coba menulis puisi. Puisi-puisi yang kutulis ketika itu, apa lagi kalau bukan puisi cinta. Puisi dimaksud kutulis pada malam hari, besok pagi segera kutunjukkan kepada pacarku. Seandainya tidak malu dengan para penumpang bus yang lain, pastilah puisi cinta itu akan kubaca dengan suara nyaring di hadapannya.

Wahai, pacarku!
Cintaku padamu adalah cinta yang suci
Jadi, jangan ragu terimalah uluran cintaku ini
dst dst. Hehehe, gombal, gambil, gambul.

Aku masih ingat, aku dan pacarku berkenalan di atas kuburan Cina pada saat hujan turun dengan lebat lebatnya. Ceritanya, pagi itu sekitar pukul 07.00 aku yang baru saja diterima bersekolah di SMEPN Martapura sedang mengayuh sepeda kumbang menuju ke sekolah.

Tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya, aku kemudian singgah berteduh di komplek kuburan Cina yang terletak di persis di pinggir jalan raya yang kulalui (di bekas lokasi kuburan Cina ini sekarang dibangun gedung Kantor Kejaksaan Negeri Martapura).

Tidak lama kemudian datanglah seorang pelajar putri ikut berteduh di tempat yang sama. Dia juga naik sepeda kumbang. Dia tersenyum padaku, tentu saja senyum itu segera kubalas. Setelah berbasa-basi sekadarnya, kami pun terlibat perbincangan, ternyata dia juga baru masuk di sekolah yang sama denganku. Nah, boleh dibilang sejak itulah kami jadian.

Hubungan itu terus berlanjut hingga kami duduk di bangku SMEAN Martapura. Suatu pengalaman yang sangat berkesan dan masih kukenang hingga sekarang ini adalah pengalaman ketika naik sepeda bersamanya keliling kota Martapura.

Ceritanya, aku hari itu naik sepeda ke sekolah. Sepeda yang kunaiki ketika itu adalah sepeda laki tanpa boncengan. Dasar nasib lagi mujur, mobil sekolah yang biasa ditumpangi pacarku hari itu masuk bengkel, jadi ia tidak dijemput sebagaimana biasanya.

Iseng-iseng kutawari dia naik sepeda. Aku ragu-ragu menawarinya naik sepeda karena sepedaku tidak dilengkapi dengan tempat boncengan. Waw, ternyata ia menerima tawaranku. Tidak ada pilihan baginya, ia terpaksa duduk di panggar sepeda persis di depanku. Sepanjang jalan kami asyik mengobrol tanpa menghiraukan tatapan mata orang-orang yang risih menyaksikan adegan mesra dua anak manusia yang sedang dimabuk asmara.

Cinta membuat kami nekad. Bayangkan kami naik sepeda dengan cara semacam  itu di depan mata warga kota Martapura yang terkenal relegius dan sangat sensitif dengan adegan mesra dua anak manusia berlainan jenis yang berlangsung secara terbuka seperti itu. Untunglah, tidak terjadi apa-apa dengan kami berdua. Boleh jadi warga kota Martapura ketika itu juga terpesona dengan adegan mesra kami berdua. Tapi, bisa jadi mereka menduga kami berdua adalah pasangan suami istri yang lagi berbulan madu di kota Martapura. Hehehe, dugaan yang mengada-ada, bagaimana mungkin pasangan suami istri mengenakan baju seragam sekolah?

Sayang sekali, adegan mesra itu tidak berlangsung lama, karena kami tiba-tiba berpapasan di tengah jalan dengan kakak laki—laki pacarku yang rupanya sengaja naik sepeda juga ke kota Martapura untuk menjemputnya. Kulihat wajah calon kakak ipar (dalam tanda petik) itu tampak tak bersahabat kepadaku. Iacuma member isyarat agar adiknya segera turun dari panggar sepedaku. Pacarku tampak gugup, ia cuma mengerling kepadaku. Lalu, wuss… kakaknya langsung mengenjot sepedanya begitu adiknya duduk di boncengan. Mereka berlalu begitu saja tanpa mengucap kata barang sepatah pun. Tinggallah aku sendiri, melongo menatap sepi.      

Wajah tak bersahabat yang diperlihatkan calon kakak iparku (dalam tanda petik) hari itu ternyata merupakan pertanda buruk. Sejak peristiwa itu hubunganku dengan pacarku menjadi semakin renggang. Puncaknya, hubungan itu putus di tengah jalan. Sayang sekali kami ternyata tidak sejodoh. Pacarku kemudian menikah dengan orang lain. Aku sendiri juga menikah dengan orang lain. Namun, tak apa, orang bijak pernah berkata  cinta tidak mesti memiliki.

Kisah kasih di sekolah
dengan si dia
Masa-masa di sekolah
Masa-masa paling indah
(ceila nostalgia anak sekolah, cing)  

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: