Saturday, May 29, 2021

Buku-Buku GLN Diperjualbelikan Bebas, Apa Tanggapan Badan Bahasa?


Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digagas oleh Anies Baswedan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu terus bergulir sejak 2016 lalu. Salah satu wujud nyatanya berupa penerbitan buku-buku bahan bacaan anak melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB). Setiap tahun buku-buku berkualitas tersebut hadir dengan beragam tema. Bukan kaleng-kaleng, naskah buku-buku ini sudah melalui seleksi ketat dalam bentuk sayembara dan penyuntingan berlapis. Para penulis diundang ke Jakarta untuk melakukan revisi sebanyak dua kali di bawah pengawasan para pakar dan juga dari pusat perbukuan. 

Sememangnya buku-buku ini telah diedarkan di daerah-daerah sesuai tujuan semula, yakni menyediakan bahan bacaan bagi anak-anak guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Terlebih, di daerah-daerah terpencil yang jauh dari toko buku dan perpustakaan yang lengkap. Sampai di sini masih berjalan lancar. Distribusi tidak mengalami kendala. Dengan kata lain belum ada problematika serius di lapangan.

Akan tetapi, lambat lain masalah mulai muncul. Ketersedian buku-buku GLN yang juga dapat diakses secara gratis di laman resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tidak menutup keran pembajakan. Ya, buku-buku itu dicetak, dijilid, dan diperjualbelikan secara bebas, khususnya secara daring. Alhasil, melalui platform jual beli seperti Bukalapak, pencetak dan penjual buku-buku bahan bacaan anak meraup untung besar secara finansial.

Salah satu grup para penulis buku bahan bacaan anak pun ramai. Salah satunya penulis sekaligus sastrawan Triman Laksana mengirimkan tangkapan layar bukunya yang dijual di Tokopedia. 



Tanggapan-tanggapan lain tak kalah hebohnya. Sebutlah Evan YS (penulis dan sastrawan) mengingatkan bahwa buku-buku bahan bacaan anak dalam program GLN tidak untuk dijual. 

Sebenarnya kasus yang merugikan pihak BPPB tidak terjadi sekali ini saja. Jauh sebelumnya pembajakan demi pembajakan sudah menimpa badan yang dulunya dikenal dengan nama Pusat Bahasa itu. Sebutlah kasus pembajakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Kamus tersebut sudah mengalami revisi berkali-kali. Setiap edisinya selalu dalam lembaran-lembaran yang dijilid tebal.

Itulah sebabnya, harga per eksemplarnya secara resmi cukup mahal. Bisa tembus Rp200.000-an (pada tahun 2005). Dan, di tangan pembajak, KBBI hanya dijual Rp45 ribuan secara bebas. Dengan maraknya pembajakan seperti ini, pihak BPPB pun bertindak tegas kala itu. Salah satu tindakan yang diambil kantor berplat merah tersebut adalah dengan menghentikan kontrak kerjasama penerbitan. Semula KBBI dicetak dan diterbitkan secara sah melalui PT Balai Pustaka. Kemudian hari berpindah ke jasa penerbitan PT Gramedia. Alhamdulillah pembajakan pun dapat diselesaikan. Kini, KBBI  dapat pula diakses melalui aplikasi dengan sangat mudah oleh masyarakat Indonesia. 

Nah, kembali ke kasus pembajakan buku-buku bahan bacaan anak, apa tanggapan BPPB?

Sampai artikel ni ditulis, belum ada kabar terbaru mengenai reaksi atau tanggapan BPPB terhadap pembajakan di atas. Entah apakah pihak mereka sudah mengetahuinya dan sedang menyusun rencana mengatasi kasus ini atau bisa jadi belum mendapatkan laporan dari lapangan. 

Kalaupun seandainya belum, agaknya tulisan singkat ini dapat terbaca dan menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sikap tegas yang ideal dilakukan mereka. 

Sekadar informasi, mengenai kasus pembajakan buku sudah ada regulasinya, yaitu diatur dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Disebutkan dalam UU tersebut, para pelanggar hak cipta dapat dikenai hukuman pidana maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal 500 juta rupiah. 

Kita tentu berharap kasus-kasus pembajakan buku dapat diselesaikan dengan mengedepankan proses hukum secara adil. Pertanyaannya, akankah hukum ditegakkan? Semoga!

-----------------------------------------------------

Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: