Sunday, May 30, 2021

MURAL MERATUS ADALAH KESEDIHAN KALIMANTAN, Sebuah Puisi M. Johansyah


Kepada Walhi Kalimantan Selatan

Akan tiba saatnya, anak anak hanya mengenal lukisan belaka
keindahan bumi Khatulistiwa tinggal carita
jika tidak sekarang, kapan lagi
mempertahankan yang ada
menyisakan sebuah peradaban
tentang lanskap alam
tentang lanskap kultur budaya
sebelum terlambat, karena belum terlambat pula
untuk menyuarakan yang hak
menjelaskan dengan fakta fakta
kalau sudah tak bisa, tamatlah Meratus kita
kesedihan akan membekas
kezaliman membangkitkan perlawanan
itukah yang kita tunggu
selama kita diam, maka kesewenangan
mengonak duri - memberangus tanah banyu kita

Akan tiba saatnya, dengan mata telanjang kita saksikan
jengkal demi jengkal tanah dikoyak
dikupasi dengan keji
tanah dibalik, terburai perut bumi
dicakar
dicabik
dipaksa
menjadi rupiah atau dollar
lalu apa yang kita dapatkan, kecuali kehancuran
hutan-hutan terkapar
gunung-gunung dibongkar
arwah datu-nini minggat ketakutan
tulang-belulang suci terhambur di hadapan kita
di mana wajah kusam kita
disembunyikan di mana, wahai tuan
di dalam dada yang menanggung penderitaan
hingga kurun waktu berlalu
dendam bumi
dendam hutan
dendam anak manusia
dendam dari segala dendam adalah bencana

Akan tiba saatnya, bumi berguncang
dengan segala rasa sakit
dilukiskan dengan tinta darah yang pekat
karena pikiran sehat telah dikalahkan nafsu
keserakahan dibiarkan
dan terkuburlah semua harapan
apa yang dapat diselamatkan
sebab sudah tiada apa juapun
sebab semua telah rata
retak-retak, bergeser
peta tak lagi peta
bumi berpuaka
menelan semua garis kehidupan
yang kita buat sejak awal
tetapi tetap dilanggar
, tidak diacuhkan
beginilah nasib kita, tuan-tuan kaya
maka semua akan menyaksikan mara bahaya
dalam kecemasan yang tiada tara

Anak-anak bertanya, di mana Meratus yang dahulu
apa jawaban kita
apa alasan kita
cukupkah dengan cerita sedih
tentang kehilangan demi kehilangan
tentang perjuangan demi perjuangan
semua alibi kita patahkan
tetap saja, anak-anak itu bertanya
di mana Meratus kita
di mana sejarah negeri Jambrud bagai untaian mutiara
di mana - ternyata kita telah menyembunyikan luka
yang terbentang di garis Khatulistiwa
kemudian ditangisi sendiri
tanpa henti, tanpa jeda
dan sekarang saatnya kita maju
agar tak ragu menceritakan pada mereka
pada anak-anak sebagai pewaris banua

Batulicin, 03/11/2018#00.55


Tentang Penyair

M. Johansyah lahir di Murung Pudak,
Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Selain menulis puisi, juga menulis cerpen. Pernah bergabung di beberapa komunitas dan sanggar seni di kota Balikpapan dan Posko La-Bastari Kandangan, serta aktif di seni teater, seni rupa, dan seni pahat. 

Puisinya dimuat dalam sejumlah antologi bersama antara lain, Tragedi Buah Manggis (2011), Bentara Bagang (2013), Tadarus Rembulan (2013), Siluet Rumah Laut (2014), Kalimantan Rinduku yang Abadi (2015), Kalimantan Selatan Menolak untuk Menyerah (2015), lje Jela - Tifa Nusantara 3 Marabahan (2016), Maurang Makna di Huma Aksara (2017), The First Drop of Rain - Antologi Puisi Banjarbaru's Rainy Day Literary Festival (2017), dan A Skyful of Rain - Antologi Puisi banjarbaru's Rainy Day Literary Festival (2018). 

Penyair yang rajin memublikasikan karyanya di media sosial facebook ini juga menjadi penyiar
sekaligus manajer di Radio Nirwana 106 FM Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
-------------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Meratus (Nyanyian Rindu Anak Banua)

Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: