Wednesday, April 1, 2020

Bagaimana Kisah Pernikahan di Jalur Gaza ketika COVID-19 Menjadi Pandemi Global?


Gaza diblokade. Dua kata itu telah menjadi memori jangka panjang dunia internasional. Sudah di luar kepala. Begitulah realitas pahit dan getir yang dirasakan muslim Palestina di bawah rezim Israel.

COVID-19 menyerang Jalur Gaza. Ini berita terbaru di luar penindasan Israel. Virus mematikan dari daratan China itu telah ikut serta mewabah di sana. Lantas, bagaimana dengan pernikahan orang-orang Jalur Gaza di tengah pandemi global ini?

Mengutip Al Jazeera, dengan aula pernikahan ditutup, banyak pasangan di Jalur Gaza menunda tanggal pernikahan atau mengadakan upacara kecil di rumah.

Dua pilihan ini dalam upaya untuk memperlambat potensi penyebaran virus yang sangat menular, yang telah membanjiri sistem kesehatan di seluruh dunia. Pihak berwenang sejak itu melaporkan tujuh infeksi lagi, sehingga jumlah total kasus di Gaza menjadi sembilan.

Sementara di sana menderita kekurangan pasokan medis, barang-barang kebutuhan pokok, dan listrik.

Tentu saja dua pilihan tersebut menimbulkan dilema langsung bagi para pasangan di sana. Sebutlah Nabil al-Hajeen, kan menikah dengan Fatma.

"Itu mengejutkan bagi saya dan pengantinku," kata Nabil pada Al Jazeera. "Saya telah menghabiskan lima bulan merencanakan pernikahan saya, dan sulit untuk membatalkan atau menunda itu".

Awalnya, dengan penutupan aula pernikahan, pasangan ini mempertimbangkan untuk menunda. Namun, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah pada tanggal yang direncanakan di rumah keluarga Nabil di Kota Gaza, meskipun itu berarti secara drastis mengurangi jumlah tamu pada upacara tersebut dari sekitar 400 menjadi sekitar 25 anggota keluarga wanita dari mempelai pria dan wanita.

"Kami tidak tahu kapan larangan ini akan berakhir, jadi kami memutuskan untuk mengadakan pesta di rumah," kata Fatma.

Dalam beberapa tahun terakhir, pernikahan di Gaza biasanya melibatkan lusinan atau ratusan kerabat, tetangga, dan teman-teman mempelai pria dan wanita menghadiri upacara di aula pernikahan, yang dihiasi dengan dekorasi warna-warni, kompleks dan lampu terang.

Tetapi untuk pernikahan rumah Nabil dan Fatma, saudara perempuan Nabil menyiapkan hidangan tradisional Somaqia Palestina untuk pesta dan menghiasi lounge dengan bunga plastik dan balon, sementara mereka juga memasang lampu disko untuk menciptakan kembali suasana aula pernikahan yang khas.

"Itu terlihat seperti pesta pernikahan pada masa Intifada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika calon pengantin pria berusaha menikah di pesta-pesta kecil," ucap Huda, saudara perempuan Nabil.

Di tengah kekhawatiran akan infeksi atau kemungkinan menyebarkan virus, beberapa kerabat memutuskan untuk tidak hadir, sementara mereka yang melakukan beberapa tindakan pencegahan.

"Meskipun itu hanya sejumlah kecil tamu, kami takut, sehingga tidak ada ciuman dan pelukan untuk memberi selamat kepada kami seperti biasa", tambah Huda.

Pernikahan di Gaza biasanya dibayar oleh pengantin pria dan biayanya bisa mahal: makan siang untuk para tamu, menyewa ruang pernikahan, transportasi, dan kue semua harus dibayar.

Fatma mengatakan bahwa dia marah karena dia menyadari tidak akan dapat mengadakan upacara besar di aula pernikahan, tapi dia juga lega bahwa kehidupan pernikahan tidak akan dimulai dengan segunung hutang karena pesta mewah.

"Saya banyak menangis karena saya tidak bisa melakukan pesta saya di aula pernikahan, tetapi saya sekarang sangat senang untuk pesta yang sangat ceria yang kami miliki, yang juga telah mengurangi biaya pada suami saya sehingga kami akan hidup dengan lebih sedikit hutang," katanya.

Meskipun ada wabah COVID-19, pengantin wanita dan pengantin pria tetap membuat potret pernikahan mereka yang diambil di studio.

Ya, dari pihak studio, yakni Asma telah melarang kru filmnya untuk mengunjungi rumah keluarga untuk merekam video pesta pernikahan, seperti yang diminta oleh pengantin pria. Dia membatasi pekerjaan hanya untuk sesi foto di studio saja. Sementara timnya mengenakan masker, sarung tangan, juga mensterilkan peralatan dan lokasi.

Dia mencatat peningkatan sekitar 50 persen dalam jumlah pasangan yang datang ke studio setiap hari sejak ruang pernikahan ditutup.

Seorang juru bicara polisi mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka telah menerima ratusan telepon dari calon pengantin pria dan pemilik aula pernikahan untuk memeriksa dalam keadaan apa pernikahan bisa diadakan.

"Kami melakukan tur berkala di aula dan restoran untuk memastikan implementasi keputusan, dan kami juga mengirim patroli ke rumah-rumah untuk mencegah pertemuan besar dan menekankan perlunya sejumlah kecil orang saja di pesta-pesta ini," kata Kolonel Ayman al-Batniji, kepada Al Jazeera.

0 comments: