Monday, January 28, 2019

Surga yang Hilang, Sebuah Novel Karya Sus S. Hardjono



Kakekku dulu seorang waker atau pegawai pabrik tebu pada masa Belanda. Atasannya adalah sinder, pengawas tanaman tebu, pabrik yang sangat disegani di kotaku. Hampir setiap bulan mendapat jatah gula pasir. Gula pasir di rumah Eyang hampir tidak pernah towong, karena Eyang tiap bulan selain mendapat gaji sebagai waker, juga mendapat jatah gula dari pabrik.

Tanaman tebu pada masa itu dilakukan secara intensif, dengan sistem pengairan yang sangat baik karena dijaga sinder. Biasanya pabrik gula menyewa lahan milik masyarakat untuk menanam tebu yang usianya sekitar 18 bulan.

Varietas tebu yang ditanam pun adalah varietas unggul dalam pengertian masa itu, yaitu ruas tebu besar, banyak air tebunya, dan berasa sangat manis. Ternyata sifat banyak air tebunya dan berasa sangat manis ini menjadi magnet bagi anak-anak seusia aku untuk “mencuri” tebu. .

Ada hukum tidak tertulis bagi anak-anak kecil macam aku ini, yaitu boleh makan tebu sekenyangnya asal di dalam kebun tebu. Dan sama sekali tidak boleh membawa batangan tebu keluar dari kebun tebu. Jika itu yang dilakukan, maka anak-anak kecil akan dikejar oleh penjaga tanaman tebu.

Di kotaku ada pabrik gulanya namanya PG Mojo berada di tengah kota dan yang membangun dulu pemerintahan Belanda. Setiap musim giling, mulai giling tebu diadakan upacara ruwatan mantenan tebu yang kemudian dikenal dengan perayaan Cembrengan (Cembengan)….

Jika Anda telah membaca penggalan cerita di atas, mungkin ada rasa ingin berada di dalamnya. Menikmati indahnya kebun tebu, juga merasakan manisnya air yang keluar dari batang-batang beruas itu. Dan yang tak ketinggalan, kita dapat memperoleh hasil olahannya yang berkualitas, yakni gula lokal dari varietas tebu unggul tanpa harus mengimpornya.

Bahkan, agaknya ada harapan bersama pada masa datang kebutuhan gula dalam negeri terpenuhi dari hasil tanah sendiri. Tapi, akankah petani tebu dan masyarakat Indonesia akan jauh lebih mandiri dan sejahtera (tidak hanya sebatas gula, tapi kebutuhan lainnya) daripada yang digambarkan dalam novel Sus S. Hardjono tersebut?

Sus S. Hardjono berhasil menyajikan novel keduanya ini dengan baik. Ia menyebutnya dengan novel lirik. Sebuah novel yang apik dan memotret kehidupan secara apa adanya. Sebelumnya ia juga menulis novel Sekar Jagat dan masih merampungkan calon novel ketiganya, yakni Pengakuan Mendut.

Penulis kelahiran  5 November l969 di Sragen itu sudah aktif menulis sejak tahun 1990-an. Bukan hanya novel yang ditulisnya, tetapi ia juga menulis puisi, cerpen, dan geguritan. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media massa yang terbit di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Nah, bagi pembaca yang berminat membaca keseluruhan isi novel Surga yang Hilang, silakan menghubungi penulisnya melalui akun facebook Sus S. Hardjono.


0 comments: