Sunday, October 21, 2018

Antara LGBTIQ, Ramses II, dan 67 Tahun Prabowo Subianto



Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.--Sun Tzu


Setahu saya, tiga fenomena dalam judul di atas begitu sering dibahas sebagian orang akhir-akhir ini. Terutama yang ketiga. Dalam hal ini saya tak perlu menyebutkan pihak mana saja yang membahasnya. Tapi yang jelas, pembahasan mereka telah mengusik ketenangan saya secara pribadi.  
Lalu, apa yang terbayang dalam benak Anda setelah membaca ketiganya? 

Prabowo Subianto seorang pendukung LGBTIQ dan sombong bak Ramses II yang seorang fir'aun itu? Atau mungkin muncul sebuah bayangan aneh, yakni berupa sosok salah seorang capres dalam pilpres tahun depan tersebut adalah seorang gay? Agaknya, mungkin malah muncul pertanyaan lain, mengapa saya  menghubung-hubungkan ketiganya? Bukankah ketiga fenomena ini berdiri sendiri?  

Baiklah, daripada dicecar pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan, sebaiknya saya mulai saja celoteh ini. Awalnya saya ragu menuliskannya. Akan tetapi, akhir-akhir ini ketiganya terus berseliweran bagai burung-burung elang yang meliuk dengan bebas di bawah awan. Akhirnya, saya pun berusaha  menuliskannya dengan sangat sederhana.

Pertama, LGBT. Atau dewasa ini bertambang dengan dua kata lainnya, yakni inseksual dan queer sehingga menjadi LGBTIQ. Semuanya bisa dikatakan di luar kebiasaan manusia normal. Ya, normal dalam arti  kebiasaan di luar yang mereka lakukan. Mereka yang saya maksud adalah pelaku atau yang mengalami langsung LGBTIQ itu sendiri. Alhasil, mereka melahirkan perbedaan dari lazimnya manusia normal atau cisgender berkenaan dengan orientasi seks, perubahan fisik, dan lain sebagainya yang saya yakin para pembaca sudah sangat memahaminya. 

Kemudian Ramesses II atau Ramses II. Orang-orang sering menyebutnya dengan nama Fir'aun saja. Sebab, ia memang seorang fir'aun atau penguasa tertinggi di Kerajaan Mesir Kuno. Dalam sejarah jelas tercatat ada banyak fir'aun selain dirinya. Meski demikian, saya menyebut satu nama, yakni Ramses II. Mengapa? Karena yang akan saya bahas ialah satu orang yang berkuasa penuh pada masa Nabi Musa as. Dan jika kita menyandarkan pada teologi dan sejarah berkenaan dengan  hal itu, maka fir'aun yang berkuasa sebelum kelahiran Nabi Musa as dan yang tenggelam di Laut Merah adalah orang yang sama, yakni Ramses II tersebut. Penjelasan singkatnya begini, dari rentang waktu lahirnya Nabi Musa as hingga tenggelamnya fir'aun, lebih daripada 60 tahun. Hanya Ramses II lah yang memenuhi kriteria itu karena ia adalah fir'aun  paling lama berkuasa, yakni selama 66 tahun (1279--1213 SM). 

Ramesses atau Ramsea II juga merupakan fir'aun yang berkuasa pada masa puncak kejayaan Kerajaan Mesir Kuno. Itulah sebabnya, tak ada siapa pun yang berani melawannya sehingga dia mengaku sebagai Tuhan. Sebuah pengakuan yang merupakan tingkat tertinggi kesombongan manusia.  

Selanjutnya Prabowo Subianto. Ada apa dengan sosok yang satu ini? Apa hebatnya orang itu? Pernah menjadi pejabat militer semisal Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus era kepimpinan Presiden Soeharto? Berhasil mencapai puncak Everest? Pengusaha sukses? Tokoh politik? Atau apa? Saya tidak berpikir yang muluk-muluk tentang Prabowo Subianto. Akhir-akhir ini saya menemukan perkataan orang itu yang sangat sederhana. Tapi, kalau kita mau memperhatikannya, itu luar biasa. Apa perkataannya yang saya maksud? Lebih kurang begini, "...Saya tidak merasa berbuat salah, tapi saya akui saya grusa-grusu (bahasa jawa: terburu-buru). Tim saya ini baru, baru belajar," ujar Prabowo Subianto.

Perkataan Prabowo Subianto itu menjadi terkesan sangat sederhana karena hanya berisi pengakuan. Saya menitikberatkan pada pengakuan bahwa dirinya grusa-grusu. Pengakuan seperti itu malah bisa juga diartikan negatif. Lalu mengapa saya katakan luar biasa? Di mana letak keluarbiasaannya?

Saya akan mencoba menjelaskannya secara ringkas. Yang perlu sekali Anda renungkan terlebih dahulu adalah pertanyaan singkat ini, "Pernahkah Anda berpikir bahwa perlu jiwa besar untuk sebuah pengakuan atas kelemahan diri sendiri?" Terlebih diutarakan di depan publik secara terang-terangan? Tentu pengutaraan seperti itu terjadi jika dilandasi dengan kemampuan pengenalan diri sendiri. Bagian terakhir itulah yang sebenarnya menjadi topik pembahasan saya dalam tulisan atau katakanlah celoteh sederhana ini. 

Pengenalan diri sejatinya merupakan kekuatan setiap orang. Ketika seseorang telah mengenal dirinya sendiri, berarti ia tahu apa yang idealnya akan dilakukannya. Yakni, memperbaiki kekurangan dan meningkatkannya menjadi kelebihan diri. 

Pada bagian atas tulisan ini, tepatnya di bawah judul, saya kutip perkataan Sun Tzu. Yakni seorang filsuf yang sekaligus jenderal besar dari Negara Wu pada Zaman Musim Semi dan Gugur. Sebuah masa di penghujung Dinasti Zhou. Dalam sebuah buku filsafat militer yang dia tuliskan dengan judul Sun Zi Bingfa, terdiri atas 13 bab, tertulis seperti itu adanya.

Ketiga belas Bab itu adalah, Bab Kalkulasi, Bab Perencanaan, Bab Strategi, Bab Kekuatan Pertahanan, Bab Formasi, Bab Kekuatan dan Kelemahan, Bab Manuver, Bab Sembilan Variasi, Bab Mobilitas, Bab Tanah Lapang/Medan, Bab Sembilan Situasi Klasik, Bab Menyerang dengan Api, dan Bab Intelejen. Buku filsafat militer ini tidak sekadar diterapkan di timur tetapi juga di dunia barat. Sun Tzu atau juga dijuluki filsuf Sun (Sun Zi), dikenal begitu piawai dalam memenangkan peperangan dalam medan pertempuran. Khusus pada bab III dalam buku itu, dia menuliskan tentang pengenalan diri seperti yang saya kutipkan di atas tadi.

Ada tiga poin penting berkaitan pengenalan diri ini. Kalau kita rinci, sebagai berikut. 
1. Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran.
2. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh), tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. 
3. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.

Jika kita maknai secara apa adanya, bab iii dari buku filsafat  itu, maka hanya berlaku di dunia militer. Akan tetapi, sebenarnya maknanya dapat meluas karena berlaku juga di setiap aspek kehidupan. Kata "musuh" tidak hanya dimaknai pihak lawan dalam medan peperangan. Bisa saja berupa nafsu, penyakit, kemalasan, saingan bisnis, kesombongan, dan lain sebagainya. 

Sebagai contoh, orang yang mengenal dirinya sebagai penderita asam urat, tentu dia akan berusaha mengobatinya. Setelahnya, dia akan mengurangi makanan yang mengandung banyak purin semisal emping. 

Begitu pula dalam kaitannya dengan perkara-perkara di atas yang masih hangat dibahas dewasa ini. LGBTIQ? Ya. Siapa pun yang mengenal dirinya sebagai perempuan misalnya, tentu dia akan hidup normal layaknya perempuan ideal. Ia akan menghindari segala hal yang mengarahkan dirinya pada menyukai sesama perempuan. Dengan demikian tidak ada pula hasrat dan naluri menjadi seorang lesbian dalam dirinya. Pria yang mengenal dirinya sebagai pria pun seperti itu. Intinya, pengenalan diri yang sejati menghindarkan manusia dari aktivitas lesbian, gay, biseksual, trangender, dan ketidaknormalan lainnya. Dalam hal ini tentu termasuk pula pengenalan diri terhadap hal gaib, yakni gangguan jin. Memang, bagi yang percaya, LGBTIQ bisa dikarenakan gangguan jin. Orang-orang menyebutnya jin saka atau jin leluhur. Mereka yang mengenal dirinya mendapatkan gangguan semacam itu, akan segera melakukan ruqyah agar terbebas dari jerat jin tersebut. Semua itu akan berbeda jika yang bersangkutan tidak mengenal diri sendiri dan musuh atau lawan.

Lalu Ramesses II? Adalah kesombongan yang menjadi musuh utamanya. Pengakuan dirinya sebagai Tuhan merupakan wujud kesombongan tertinggi manusia. Itu berarti, semua ada di bawahnya. Dengan kata lain ia merasa dan mengaku di atas segala. Hanya dia yang berkuasa. Dialah yang terhebat di alam semesta ini. Padahal ia hanyalah manusia biasa. Manusia yang lemah. Jika terkena sabetan pedang pun akan merasakan kesakitan luar biasa. Kenyataan dirinya yang mengaku Tuhan itu menunjukkan ia sama sekali tidak mengenal siapa dirinya. Seumpama ia mengenal dirinya sebagai manusia biasa, tentu sifat sombong seperti itu akan jauh darinya. Akibat kesembongannya itulah, ia binasa di Laut Merah.

Hal itu sangat berbeda dari Prabowo Subianto. Saya pribadi bukanlah pengagum dirinya. Bahkan, pada pilpres 2014 lalu saya pendukung Jokowi- JK. Akan tetapi, saya juga boleh jujur, 'kan bahwa Prabowo yang mantan Komjen Kopassus tersebut sudah mengenal dirinya? Yaitu mengenal dirinya sebagai pria yang grusa-grusu.

Pengenalan seperti ini sangat ideal menurut saya. Mengapa? Sebab, pria yang baru saja berulang tahun ke-67 itu juga baru saja memulai perjuangannya sebagai capres untuk menjadi Presiden RI pada 2019 yang akan datang. Apa artinya? Mengenal diri sendiri di awal perjuangan sejatinya langkah yang sangat ideal. Siapa pun tak bisa memungkiri kenyataan bahwa masih banyak kesempatan baginya untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada masa-masa yang akan datang. Berbeda jika ia tidak atau belum mengenal siapa dirinya. 

Prabowo Subianto hanyalah satu contoh. Melalui celoteh ini sebenarnya saya ingin mengatakan bahwa mengakui kelemahan sendiri sebagai wujud pengenalan diri ini, merupakan modal utama dan sekaligus bukti seseorang itu berjiwa besar dalam menuju kemenangan. Tentunya menang dalam kebaikan dan keberkahan. Akhirnya saya pun harus mengakiri celoteh ini dengan wassalam. (MJA)

Sumber gambar: https://pixabay.com (gratis)

0 comments: