Thursday, October 11, 2018

Sang Katak Pemecah Sunyi



Furuike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto -Matsuo Basho


Sunyi. Adakah yang lebih sunyi daripada hati? Atau pernahkah hati itu sunyi? Kesunyian terkadang melampaui perkara-perkara biasa. Dalam sunyi, lahirlah kata-kata, lalu menjadi karya, puisi misalnya. Sebab, saat sunyi itulah bermunculan "kegaduhan" ide-ide yang seakan berlarian, berjumpalitan dengan liar, bahkan beterbangan sesuka mereka. Begitu memukau, mencuri hasrat untuk mengambilnya, meramunya, hingga menjadi karya-karya. Ya, sunyi itu gaduh. Setidaknya demikian kira-kira yang terselip dalam pemikiran sebagian orang tentangnya. Dengan sunyi, tercipta pintu-pintu pencerahan baru. Sebagaimana sebab melahirkan akibat.

Kadang, demikianlah pula bayangan yang muncul di benak saya setelah membaca haiku karya Matsuo Basho di atas. Dan saat membacanya, secara sadar seakan saya sedang berada di dekat kolam tua. Melihat seekor katak menceburkan dirinya sehingga air yang semula tenang menjadi pecah dan beriak.

Haiku memang indah meski singkat dan terikat aturan yang ketat. Sangat terkesan ada keteraturan yang nyaris mutlak keberadaannya. Mungkin hal itu dikarenakan Basho lahir di keluarga samurai. Dirinya pun pernah menjadi ksatria gagah berani yang super tertib dalam segala laku hidup itu. Tapi, saya tidak sedang membahas tata aturan dalam haiku semisal pola suku kata dalam larik-lariknya yang dikenal dengan pola 7-5-7. Sebab, pikiran saya masih terlena oleh sang katak yang memecah keheningan dalam haiku Basho tersebut. Saya pikir, ada baiknya kita baca juga terjemahan lengkapnya sebagai berikut.

Di kolam tua
Seekor katak melompat
Air pun pecah

Ada beberapa hal yang saya tangkap dari tiga baris itu. Pertama, adalah citraan atau imagery. Yakni gambaran angan yang tercipta saat membaca puisi. Apa sajakah citraan yang muncul di otak saya saat membaca haiku karya Matsuo Basho itu? Citraan penglihatan. Ya, memang benar adanya bahwa seakan-akan saya melihat sebuah kolam tua yang airnya tenang dan jernih. Di sekitarnya ada bebatuan dan rerumputan hijau yang segar. Begitu indah. Begitu memukau mata dan hati. Masih dalam citraan yang sama, tebayang seeokor katak yang sehat. Pada saat makhluk kecil tersebut melompat, lahirlah citraan gerak. Terbayang sebuah gerak lompatan melengkung ke udara hingga tubuhnya masuk ke dalam air. Kemudian airnya yang tenang itu pun pecah akibat ditimpa tubuh sang katak. Maka, muncullah pula citraan pendengaran. Suara air.

Kedua, menjaga alam dan isinya. Segala yang digambarkan Basho dalam haikunya berkenaan dengan kolam, katak, dan air sangatlah indah. Sebuah kehidupan yang ideal. Tidak rusak. Tidak kacau. Sangat alami dan bersahabat. Meski air pecah, hal itu tidak serta-merta menyebabkan kehancuran alam dan kerugian bagi umat manusia dan lainnya. Berbeda sekali jika hal tersebut dipertentangkan dengan pembabatan hutan secara liar atau penambangan sumber daya alam yang berlebihan. Dengan sadar tak bisa dipungkiri, sebagai manusia, kita membutuhkan alam dan makhluk-makhluk di dalamnya. Itulah sebabnya, hal paling ideal yang kita lakukan adalah, menjaga kelestarian alam beserta isinya agar hidup dan kehidupan ini menjadi seimbang dan terhindar dari bencana alam. Contoh nyatanya berupa berbuat baik kepada dunia sekitar. Yakni dengan tidak berbuat dosa seperti tidak membakar lahan tanpa aturan. Alhasil alam pun bersahabat dengan kita. Dalam perkara ini ada satu hal  yang perlu kita ingat bersama bahwa jika alam rusak, kita juga yang susah. Berusaha menyelamatkan alam beserta flora dan faunanya, berarti kita sedang menyelamatkan hidup manusia di jagat ini.

Ketiga, ialah hukum sebab-akibat. Dengan kata lain, saya menangkap adanya kausalitas. Disebabkan oleh  katak melompat hingga menceburkan dirinya masuk ke dalam kolam, sehingga air yang tenang pun pecah dan beriak. Dalam hidup memang demikian, 'kan? Ada hukum-hukum alam yang berlaku. Ditusuk jarum, maka terasa sakit. Ada gravitasi, maka jatuhlah daun-daun. Alam rusak, maka bencana alam pun terjadi. Termasuk dalam menulis puisi haiku itu sendiri. Lancar kaji karena diulang. Semakin kita sering menulis atau mengalami aktivitas menulis puisi misalnya, maka semakin berkualitaslah hasil tulisan kita. Begitu pula dalam keterampilan berbahasa lainnya. Katakanlah keterampilan berbicara. Hal terakhir tadi sangat erat dalam hidup kita sehari-hari. Contoh, ketika ada seseorang menguasai bahasa Indonesia, Korea, Inggris, Jerman, dan Thailand, tetapi yang bersangkutan hanya sering menggunakan bahasa Indonesia, tentulah dia akan lebih fasih berbahasa Indonesia daripada saat menggunakan bahasa-bahasa lainnya. Termasuk fasih dalam melafalkan setiap bunyi bahasa (fonem) yang secara ortografi disebut huruf. Yakni huruf demi hurufnya. Seperti fonem /h/ dalam kata "harus" dilafalkan /h/ dan bukan bunyi lainnya.

Keempat, tentang doa dan usaha. Semua hukum pada poin ketiga itu tentu berlaku atas kehendak-Nya yang kuasa. Sebagai makhluk, kita meyakini dan menjalaninya dengan keihklasan, termasuk dalam hal berdoa dan berusaha. Semisal, karena jatuh, timbullah rasa sakit. Maka, berusahalah untuk berhati-hati agar tidak jatuh. Setidaknya ada usaha menghindarinya.

Dan yang terakhir, meski tidak digambarkan Basho, tapi saya menangkap sebuah harapan yakni air yang pecah bisa tenang kembali. Harapan yang indah sebenarnya merupakan penyemangat dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan adanya harapan, orang-orang termasuk kita akan giat menggapainya.

Sebagai penutup saya pun berharap yang terbaik, termasuk untuk bangsa Indonesia ke depan. Tetap semangat dan jangan lupa bahagia. (MJA)

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: