Wednesday, October 10, 2018

Tawa yang Tersembunyi



"Ombak bergulung. Buih-buihnya membelai pantai. Sedang di atas awan, puncak gunung tertawa riang dalam euforia senja."

Suara Selia bagai kecupan lembut yang mendarat di hatiku malam ini. Dan napasnya mengajakku melukis laut sambil menyanyikan lagu-lagu angin yang mendesir.
Tentang cinta, kerinduan, dan amarah panjang di lintasan asmara dalam asrama bukit batu yang melahirkan kenangan.

Lalu aku diam. Dia mengikuti katup bibirku sepanjang deru mesin perahu kecil yang melintas pelan di dekat kami. Sementara waktu berdenting seiring desir angin di buritan sini.

"Pernahkah kaudengar bisik-bisik antara kedelai, garam dapur, dan nasi putih dalam menu di atas meja sewarna pelangi?" tanyanya memecah kebisuan dalam bahasa cinta.

Aku tatap udara yang menerbangkan selembar daun di bawah lampu-lampu perahu. Dan pada malam, pada gemerlap bintang-bintang, aku mengangguk lugu.

"Adakah pula, kaulihat seikat bayam, sepasang wortel, tujuh butir telur, dan sembilan siung bawang numpang eksis di akun media sosial emak-emak kekinian?" tanyanya lagi.

Ya, dan adakah kaubaca di media-media besar dan megah bahwa rupiah terjatuh di depan kaki dolar paman Sam pada senja yang rawan?

Selia mengangguk.
"Lalu masih ingat jugakah kau pada barisan mahasiswa yang bersuara lantang dalam demokrasi selama tahun-tahun bergaram?"

Oooh demokrasi!

Adakah yang lebih demokratis daripada suara-suara cinta antara pantai dan laut?

Mendebur-debur
Membasahi pantai
menyapu bibir mungilnya yang berpasir, 
lalu membawanya pulang bersama canda dan tawa.

Tak lama setelah itu kami menyanyikan sebuah lagu laut, "Ooooo, demokrasi! Dari rakyat, kembali ke rakyat! Seperti air laut kembali ke laut. Maka, dengarlah suara kami yang berpeluh di bawah rembulan dan tiang-tiang harapan. Jangan pukul kami! Jangan dorong kami! Jangan seret kami! Sebab, pada mula melaut, di situlah tekad dilayarkan, bersama-sama menuju dermaga harapan."

O, harapan
Bilakah digapai seperti seorang ibu memeluk  anak-anaknya yang merantau jauh di pulau seberang?
Sedang demokrasi sering diingkari
Kau lihatlah! Saat langit terusik, mereka melukis fitnah di jidat pengkritik. Oposisi dicap antinegara, intoleransi, radikal, bahkan dilabeli antiideologi yang sah.

"Oh, fitnah-fitnah bagai nanah di atas terompah. Dan, kita akan dianggap ada saat membahas kekuasaan mereka saja."

Kemudian, bumi bergetar. Air laut meluap. Teriakan seakan melahap udara. Lalu bibir mungil pantai disapu arus deras yang memburu. Sedang di kepalaku terbayang laut sedang menenggelamkan kekejian di timur, di barat, dan di Jazirah Arab dalam gemuruh cinta yang purnama.

By MJA

Sumber foto: www.pixabay.com (gratis)

0 comments: