Empat



Sutakil dan Sutakul (23 tahun) berasal dari Desa Mantuil, sebuah desa kecil yang terletak sekitar setengah hari berkayuh perahu dari kota Muara Banjar.

“Permisi, tuan punggawa. Kami berdua ingin mendaftarkan diri sebagai peserta sayembara,” ujar Sutakil kepada punggawa kerajaan yang bertugas sebagai pendaftar peserta sayembara.

Punggawa kerajaan tampak ragu-ragu mendaftarkan nama Sutakil dan Sutakul, karena fisik keduanya kurang meyakinkan. Tubuh mereka  tidak tegap, tidak kekar, tidak berisi dan tidak berotot. Sebaliknya kurus, tinggi, langsing dan berdada rata. Pendek kata, kurus kerempeng kayak bilah lidi.

“Bagaimana mungkin keduanya bisa menebang dan kemudian mengangkat pohon ulin yang besarnya sepemeluk orang dewasa?” tanya punggawa kerajaan di dalam hati.

Selama ini, Sutakil dan Sutakul memang tidak dikenal sebagai pasangan orang sakti mandraguna. Bahkan di Desa Mantuil, tempat tinggalnya sendiri, keduanya cuma dikenal sebagai peramu hasil hutan biasa saja.

“Kalau saya boleh tahu, ke mana kalian berdua ingin mencari kayu ulin untuk tiang guru masjid dimaksud?” tanya punggawa kerajaan.

“Ke Pulau Kaget,” kali ini Sutakul yang menjawab.

“Ke Pulau Kaget?” tanya punggawa kerajaan dengan nada heran..

“Ya, ke Pulau Kaget. Memangnya kenapa, tuan punggawa?” jawab Sutakil dan Sutakul hampir bersamaan.

“Ah, tidak apa-apa. Cuma ....”

“Cuma apa, tuan punggawa?” desak Sutakul.

“Apakah kalian berdua sudah mendengar cerita tentang ....”

“Keangkeran Pulau Kaget?” sambar Sutakil.

“Ya, begitulah maksudku,” ujar punggawa itu lagi.

“Sudah. Tapi kami berdua tidak takut.”

“Baiklah kalau begitu. Kapan kalian pergi ke sana?”

“Subuh besok,” jawab Sutakil.

“Kalau begitu baiklah. Selamat jalan. Semoga kalian sukses. Hanya itu yang bisa saya ucapkan.”

“Terima kasih, tuan punggawa.”
---------------------------------------

Gerimis yang turun sejak dinihari tadi telah menghalangi terbitnya fajar di ufuk timur sana. Cuaca pagi itu memang buruk sekali. Meskipun demikian Sutakil dan Sutakul sama sekali tidak mau menunda keberangkatannya ke Pulau Kaget.

“Kil, apakah barang-barang yang kita siapkan kemarin telah kau muat semua ke dalam perahu?” tanya Sutakul.

“Sudah.”

“Kapak, mandau, tali-temali, beras, lauk-pauk, air tawar, gula, kopi, teh, pakaian dan lain lain tak satu pun yang ketinggalan?”

“Ya. Semuanya sudah kumuat ke dalam perahu,” ujar Sutakil.

“Syukurlah kalau begitu.”

Perjalanan ke Pulau kaget yang ditempuh Sutakil dan Sutakul itu bukanlah perjalanan yang menyenangkan. Tidak jarang keduanya harus menahan nafas jika perahu mereka yang kecil mungil itu diterjang gelombang Sungai Barito yang cukup besar. Keduanya nampak mengigil kedinginan, maklumlah sejak berangkat dari  tempat tinggal mereka di Desa Mantuil  tadi  mereka berdua telah diguyur hujan lebat secara terus menerus. Angin yang bertiup silih berganti dari berbagai arah itu membuat keduanya lebih merasa kedinginan lagi. Saking dinginnya maka keduanya tak bisa menyembunyikan bunyi gemeletuk giginya masing-masing.

Meskipun keduanya telah kesohor sebagai peramu hasil hutan yang ulung, keduanya tetap merasa kedinginan juga. Selama ini keduanya memang tidak mengandalkan diri pada kekuatan fisik semata. Tapi lebih mengandalkan diri pada kemampuan mereka dalam merapalkan ratusan bahkan ribuan bait mantera. Tubuh keduanya tidaklah kekar berotot tapi kurus kerempeng seperti bilah lidi. Hanya dengan mengandalkan kekuatan magis pada bait-bait mantera yang dibacanya, mereka dapat menaklukan jin kapir yang mengganggu pekerjaan mereka di lokasi peramuan hasil hutan. Nah, jin kapir taklukan mereka inilah yang kemudian mereka perintahkan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan berat mereka di tengah rimba raya.

Secara fisik, Sutakil dan Sutakul memang tidak meyakinkan sebagai peramu hasil hutan yang ulung. Tapi kenyataan menunjukkan hasil hutan yang mereka bawa pulang tidak kalah banyaknya dibandingkan dengan hasil  hutan yang diperoleh para peramu lainnya yang bertubuh lebih kekar dan berotot. Secara kasat mata, Sutakil dan Sutakul yang bertubuh kerempeng itu, memang terlihat mengangkut sendiri ramuan hasil hutannya. Padahal beban berat  itu mereka angkut dengan bantuan tenaga jin kapir yang tidak kasat mata.

Hari itu keduanya memang terpaksa membiarkan dirinya masing-masing diguyur hujan secara terus menerus seharian penuh, karena keduanya ketika itu naik perahu kecil yang cuma bisa ditumpangi oleh mereka berdua saja. Bila mereka nekad mengajak serta para jin kapir naik ke perahu yang mereka tumpangi, maka sudah dapat dipastikan perahu yang mereka tumpangi itu akan terbalik dan tenggelam di telan arus Sungai Barito. Bobot tubuh para jin kapir itu sudah pasti  sangat berat, karena bentuk tubuh mereka memang rata-rata tambun membulat.

Ringkas cerita, setelah berkayuh sekian lama, kedua lelaki muda itu akhirnya tiba juga di  Pulau Kaget.

“Wah, akhirnya sampai juga kita di pulau ini, Kil.”

“Iya.”

“Aduh, mataku perih sekali.”

“Mataku juga demikian,” ujar Sutakul.

“Butir-butir hujan yang menghalangi pandangan di depan perahu kita sangat tebal. Sepanjang perjalanan tadi kita membelalakan mata terus menerus. Akibatnya mata kita menjadi perih karenanya,” ujar Sutakil sambil mengusap matanya yang terasa berair.

“Kita istirahat dulu sebentar. Setelah itu kita membangun pondok dan menyiapkan makan siang,” ujar Sutakul.

“Setelah makan siang kita berkeliling pulau ini untuk mengamati situasi.”

Hari masih hujan ketika Sutakil dan Sutakul merambah semak-semak di  sekeliling Pulau Kaget. Keduanya masih tampak bersemangat meskipun seluruh tubuhnya sudah basah kuyup sejak dalam perjalanan tadi.

“Nah, itu ada pohon ulin,” tunjuk Sutakil sambil menunjuk ke arah timur. “Coba kita lihat lebih dekat. Siapa tahu memenuhi syarat untuk tiang guru masjid.”

“Ayo!” ujar Sutakul.

Ternyata pohon ulin itu memang memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai tiang guru masjid. Tingginya sekitar 20 meter dan besarnya tidak kurang dari sepemeluk. Sutakul segera menorehkan mandaunya pada kulit pohon ulin dimaksud, ia sengaja menandainya  agar dapat ditemukan dengan mudah jika mereka akan menebangnya besok pagi. Setelah itu keduanya melanjutkan rambahannya hinga masuk ke tengah-tengah Pulau Kaget. Pada hari itu juga mereka berhasil menandai empat batang pohon ulin yang mereka cari.

Pulau Kaget yang terletak persis di tengah-tengah Sungai Barito ini memang merupakan habitat asli pohon ulin. Ratusan atau bahkan ribuan batang pohon ulin berukuran besar dan tinggi tumbuh di sini.  Pulau Kaget merupakan wilayah rambahan yang kaya raya dengan hasil hutannya. Namun, belum banyak dirambah orang hasil hutannya. Pulau Kaget terkenal sebagai pulau yang angker. Pulau ini konon ditunggui oleh dua orang jin kapir, yakni : Maskabal dan Maskabil. Konon, pasangan jin kapir ini sangat usil dan suka mengganggu siapa saja yang berani memasuki wilayah kekuasaannya ini. Pada pucak kemarahannya pasangan jin kapir ini bisa mengubah wujudnya menjadi naga sungai yang ganas.  Sudah banyak orang yang tewas secara mengenaskan akibat keganasan pasangan jin kapir penunggu pulau ini. Bahkan perahu layar  yang  sekadar melintas di  sana juga banyak yang mengalami kecelakaan akibat ulah usil Maskabal dan Maskabil.

Sutakil dan Sutakul bukannya tidak mengetahui cerita itu. Keduanya sengaja datang ke Pulau Kaget dengan dua tujuan sekaligus, yakni  untuk mencari kayu ulin sebagaimana yang dikehendaki oleh Sultan Suriansyah  dan sekaligus juga untuk menjajal kesaktiannya melawan jin kapir Maskabal dan Maskabil. Sutakil dan Sutakul  sudah merencanakan untuk mengalahkan penunggu Pulau Kaget itu dan kemudian memperbudaknya sebagai pembawa kayu ulin hasil rambahannya  dari Pulau Kaget ke lokasi pembangunan masjid di kota Muara Banjar. Keduanya sudah membayangkan bahwa namanya akan langsung harum, kesohor dan dihormati orang jika berhasil mengalahkan Maskabal dan Maskabil, sekaligus juga berhasil memenangkan sayembara pencarian kayu ulin untuk tiang guru masjid dimaksud.

“Ular!” pekik Sutakil.

“Ciaaat!” dengan refleks Sutakul melompat ke belakang dan menebaskan mandaunya ke arah datangnya serangan mendadak itu. Pras ... sedetik kemudian ular “tangkal baju” yang menyerangnya dari arah atas pohon ulin itu menggelepar-gelepar dengan kepala putus di rumput tak jauh dari mata kaki Sutakul. Darah segar tampak muncrat dari leher binatang melata yang terpotong secara telak oleh sabetan mandau Sutakul.

“Bukan main!” puji Sutakil melihat kegesitan permainan mandau saudara kembarnya itu. Sutakul sendiri tampaknya sangat menikmati pujian itu. Hidungnya yang bangir terlihat semakin membesar saja.

“Untunglah, naluri kependekaranku masih tetap terpelihara dengan baik. Jika tidak, pastilah tubuhku sudah matang biru dan kejang-kejang karena terkena patukan ular “tangkal baju” yang terkenal amat ganas bisanya itu.”

Ular “tangkal baju” memang adalah ular yang terkenal ganas bisanya. Binatang melata ini sendiri tidak begitu besar ukurannya tubuhnya. Cuma seukuran ibu jari anak balita saja, tetapi bisa ular berbelang hitam putih ini sanggup membunuh seekor buaya besar hanya dengan sekali patukan saja. Buaya besar yang terkena patukan ular “tangkal baju” ini  akan tewas secara mengenaskan hanya dalam tempo beberapa menit saja. Apa lagi jika yang terkena patukannya adalah seorang manusia biasa yang tidak sakti mandraguna.

“Ular!” kali ini Sutakul yang berteriak.

“Ciaaat! Sutakil beraksi.

“Hahaha .... gayamu boleh juga, Kil,” teriak Sutakul sambil tertawa sambil menyaksikan betapa tebasan mandau Sutakil cuma mengenai ranting pohon saja. Sementara ular berbisa yang ditebasnya tidak nampak sedikit pun di tempat itu. Ketika itu Sutakul memang cuma bergurau saja. Ular yang diteriakkannya tadi sebenarnya tidak ada, ia cuma ingin menggoda Sutakil saja. Ternyata Sutakil menanggapinya dengan serius.

“Hahaha ...,” Sutakul masih tergelak.

“Kau ini memang suka bergurau, Kul” ujar Sutakil geram.

“Hahaha ....”

“Ayolah, kita kembali ke pondok. Hari sudah sangat sore.”

Sepanjang jalan menuju ke pondok, Sutakul masih tetap tergelak. Memang, begitulah yang selalu dilakukannya setiap kali berhasil mengolok-olok saudara kembarnya Sutakil.

Sementara itu hujan masih tetap turun membasahi dedaunan yang tampak lebih hijau karenanya. Langit yang gelap karena diliputi hujan ketika itu  sepertinya telah mempercepat datangnya senja di Pulau Kaget yang angker itu.

Sulit dipercaya Sutakil dan Sutakul bisa tidur dengan lelapnya pada malam itu. Mulai dari lepas senja hingga besok pagi berikutnya keduanya tidur pulas tanpa gangguan sedikit pun. Padahal Pulau Kaget tempatnya bermalam bukanlah tempat yang ramah. Tapi adalah tempat yang angker karena banyak dihuni jin kapir yang usil dan suka berbuat onar.    

“Ke mana perginya jin keparat itu, ya?!” tanya Sutakil dengan nada menantang.

“Entahlah, Kil. Aku juga bingung. Padahal konon katanya pasangan jin kapir itu suka mengganggu orang. Nyatanya hingga pagi ini  kita berdua tetap aman-aman saja.”

“Ya, ya. Padahal kita justru mengharapkan gangguan  mereka.”

“Mungkin pasangan jin kapir itu sudah mengetahui kehebatan kita, sehingga keduanya langsung lari terbirit-birit begitu kita mendarat di pulau ini,” ujar Sutakul  tak kalah sombongnya.

“Hahaha. Dasar jin kapir pengecut. Belum apa-apa sudah lari terbirit-birit!.”

Ironis. Jika orang lain akan bersyukur jika tidak diganggu Maskabal dan Maskabil, sebaliknya Sutakil dan Sutakul justru menantangnya untuk diganggu. Sutakil dan Sutakul sengaja minta diganggu agar keduanya bisa menjajal kekuatan magis “isim kajim malim”. Keduanya sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dengan nada menantang seperti itu. Tujuannya tidak lain untuk memanaskan  hati Maskabal dan Maskabil agar jin kapir itu marah besar, lalu terpancing untuk menunjukkan batang hidungnya di hadapan Sutakil dan Sutakul. 

“Isim kajim malim” adalah mantera penakluk jin yang sangat besar kekuatan magisnya. Bila Sutakil dan Sutakul sudah  merapalkan manteranya ini, maka jin kapir yang terkena kekuatan magisnya akan langsung terkapar tanpa daya. Setelah ditaklukan, jin kapir dimaksud akan diperbudak untuk mengerjakan tugas-tugas berat. Tugas berat yang paling sering dibebankan Sutakil dan Sutakul pada jin taklukan mereka adalah mengangkat ramuan hasil hutan yang begitu berat. Ramuan hasil hutan itu harus diangkat dan diangkut dari tengah hutan tempat mereka meramu hasil hutan hingga sampai ke Desa Mantuil tempat tinggal mereka.

Sutakil dan Sutakul sudah merencanakan akan menaklukkan Maskabal dan Maskabil dengan mantera “isim kajim malim”. Setelah berhasil ditaklukan, jin kapir itu akan mereka paksa untuk menebang empat batang pohon ulin yang sudah mereka beri tanda kemarin sore. Setelah ditebang, cabang dan rantingnya harus dibersihkan dan setelah itu baru diangkat untuk kemudian diangkut dari Pulau Kaget ke lokasi pembangunan masjid.

Sudah sejak tadi kegelapan malam menyungkup Pulau Kaget. Tapi, Sutakil dan Sutakul masih tampak duduk mengobrol di luar pondok. Mereka mengobrol sambil menghangatkan badan di depan api unggun yang mereka nyalakan dari tumpukan ranting kayu dan potongan kulit pohon ulin bekas tebangan mereka.

“Tak terasa sudah 7 hari kita berada di pulau ini. Padahal, kita sudah merencanakan akan berada di  sini paling lama 4 hari saja. Ternyata setiap batang pohon ulin harus kita tebang dan bersihkan selama 2 hari. Bahkan, untuk menebang pohon ulin yang terakhir, kita memerlukan waktu 4 hari penuh,” ujar Sutakil menggerutu.

“Ya. Pohon ulin yang ke-empat itu memang lebih keras dibandingkan pohon ulin yang lain.”

“Bisa jadi jenisnya memang berbeda dengan pohon ulin lainnya.”

“Mungkin juga. Warna getahnya lebih merah dan baunya lebih  amis.”

“Ya. Warna dan bau getahnya mirip darah.”

“Kul, mulai besok kita harus puasa.”

“Puasa?!”

“Ya. Bekal kita sudah habis sejak sore tadi.”

Tiba-tiba Sutakul mencium bau sesuatu yang menyengat hidung.

“Bau apa ini, Kil?”

“Entahlah, Kul. Seperti bau daging terbakar.”

“Ya.”

“Coba kau periksa api unggun itu, Kul. Mungkin ada bangkai kambing terpanggang di sana.”

“Hahaha, kau ini ada-ada saja, Kil. Masa ada kambing berkeliaran di sini.”

“Siapa tahu Maskabal dan Maskabil berternak kambing di sini?”

“Maksudmu, kambing yang tidak kasat mata.”

“Ya. Begitulah.”

“Coba kuperiksa,” ujar Sutakul sambil berdiri dan segera berjalan ke arah api unggun itu. “Aduh!”, jerit Sutakul. Malang baginya, kakinya tanpa sengaja tersepak bekas sisa tebangan kulit pohon ulin yang berserakan di sekitar api unggun. Potongan kulit pohon ulin yang tersepak itu langsung melesat masuk ke dalam api. Aneh bin ajaib, begitu terbakar, potongan kulit pohon ulin itu mengeluarkan bau harum daging ular terpanggang.

“Ada apa, Kul.”

“Kakiku tersepak potongan kulit pohon ulin itu,” tunjuk Sutakul.

Sutakil dan Sutakul saling berpandang-pandangan begitu mencium bau daging ular terpanggang yang berasal dari bakaran potongan kulit pohon ulin tersebut.

“Bau harum daging ular panggang itu berasal dari sini,” ujar Sutakul sambil mengambil potongan kulit pohon ulin itu dari dalam api unggun. Lalu Sutakul menggigitnya.

“Hei, benar. Bau harum daging ular panggang itu memang berasal dari potongan kulit pohon ulin ini. Rasanya juga seperti daging ular panggang,” ujar Sutakul lagi.

“Ah. Masa, Kul.”

“Silahkan coba sendiri.”

“Wah, benar, Kul. Coba kita garami. Kemudian panggang dan rasakan,” ujar Sutakil.

Benar saja, setelah diberi garam lalu dipanggang di atas api unggun bekas potongan pohon ulin itu mengeluarkan bau harum daging ular panggang dan setelah dicicipinya rasanya juga enak seperti daging ular panggang.

Begitulah, tanpa menaruh syakwasangka sama sekali Sutakil dan Sutakul yang sedang kelaparan itu mulai memunguti, menggarami, memanggangi dan memakani bekas potongan kulit pohon ulin itu. Saking laparnya, Sutakil dan Sutakul tidak sempat berpikir panjang lagi  mengapa potongan pohon ulin itu berbau harum dan rasanya enak seperti daging ular panggang. Setelah kekenyangan keduanya langsung masuk pondok dan tertidur dengan pulasnya.

Keesokan harinya, Sutakil dan Sutakul terbangun dari tidurnya.

“Hei, kau sekarang berkumis, Kul!”

“Berkumis? Hei, kau juga, Kil!”

“Hei, kau bertaring, Kul!”

“Bertaring? Kau juga, Kil!”

“Kau berubah rupa, Kul!”

“Kau juga, Kil!”

“Kau jadi naga, Kul!”

“Kau juga!”

“Hah, aku jadi naga?!”

“Ya!”

“Hah, kita berdua jadi naga, Kul!”

“Ya!”

“Tidaaak!”

Aneh bin ajaib. Sutakil dan Sutakul berubah wujud menjadi naga. Mula-mula kepalanya berubah wujud dari manusia menjadi naga. Kemudian kaki dan tangannya. Selanjutnya tubuh mereka mulai ditumbuhi sisik sedikit demi sedikit hingga akhirnya keseluruhan tubuh keduanya bersisik. Kini Sutakil dan Sutakul telah sempurna berubah wujud menjadi naga.

“Hahaha!” tiba-tiba terdengar suara tawa menggema keras sekali. Sutakil dan Sutakul segera memandang ke arah asal suara nun jauh di sana di pucuk  pohon ulin yang menjulang tinggi.

“Siapa kau?!” tanya Sutakil.

“Aku Maskabal dan ini Maskabil!”

“Hah?. Maskabal Maskabil penunggu pulau ini?!”

“Hahaha. Begitulah anak muda. Kalian berdua telah tertipu!”

“Tertipu?!” tanya Sutakul.

“Ya. Kalian berdua telah memakan potongan kulit pohon ulin yang sengaja kami pasang sebagai jebakan ketika kalian sedang tertidur pulas. Potongan kulit pohon ulin yang kalian panggang dan makan itu sudah kami olesi dengan sejenis minyak yang bila ditelan manusia akan membuat manusia itu berubah wujud menjadi naga seperti kami,” jelas Maskabal.

“Hahahaha. Itulah hukuman bagi kalian yang telah banyak mencelakakan bangsa jin di masa lalu. Sekarang, rasakanlah pembalasan kami. Hahahaha,” ujar Maskabil menambahkan.

“Kurang ajar!” teriak Sutakil sambil mengibaskan ekornya ke arah pohon ulin tempat Maskabal dan Maskabil berada. Tapi sia-sia karena pasangan jin kapir itu segera mengubah wujudnya menjadi asap putih yang segera membubung tinggi ke langit. Maskabal dan Maskabil tertawa penuh kemenangan. Lalu hilang tak bisa dilihat mata telanjang.

Menurut ceritanya, begitu mengetahui bahwa pasangan Sutakil dan Sutakul akan datang ke Pulau Kaget untuk menebang empat batang pohon ulin yang tumbuh di tempat kediamannya, Maskabal dan Maskabil  segera mengubah wujudnya menjadi 2 batang pohon ulin yang tumbuh berdekatan. Itulah pohon ulin yang ditebang terakhir kali oleh Sutakil dan Sutakul. Pohon ulin itu sangat keras sehingga sulit ditebang, getahnya berwarna merah semerah darah dan baunya juga amis seamis darah. Sudah seminggu lebih Sutakil dan Sutakul bekerja menebang pohon ulin dimaksud, tapi keduanya tidak juga berhasil menumbangkannya.

Kini tinggallah Sutakil dan Sutakul meratapi diri sambil menyesali nasib buruknya. Keduanya lalu saling menyalahkan.

“Ini semua gara-gara kamu, Kil.”

“Jangan menyalahkanku, Kul. Ini salah kita berdua yang tidak waspada.”

“Kaulah yang mengajakku memakan panggangan potongan kulit pohon ulin itu.”

“Ya, benar. Tetapi mengapa kau mau kuajak memakannya?”

“Aku lapar sekali ketika itu, Kil.”

“Sama aku juga lapar.”

“Aduh, malang benar nasib kita, Kul.”

 “Sabarlah, Kil. Kita terima musibah ini sebagai takdir yang tak bisa dihindari.”

“Sabar! Sabar! Aku tak mau jadi naga, tahu?!”

“Aku juga tak mau jadi naga. Tapi apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur.”

“Ah!. Kau memang banyak bicara, Kul,” teriak Sutakil sambil mengibaskan ekornya dengan penuh kemarahan ke arah Sutakil. Sutakil menghindar sambil mengibaskan ekornya sebagai balasan ke arah Sutakul.

Begitulah, setelah bosan adu mulut keduanya lalu adu cakar dan adu kibas. Perkelahian itu berlangsung dengan serunya, tidak ada yang mau mengalah, sebaliknya berusaha saling mengalahkan. Akibat perkelahian seru itu Pulau Kaget menjadi porak-poranda, Sungai Barito bergelora  dan sebagian besar wilayah pesisir Kerajaan Banjar segera tenggelam diterjang gelombang pasang yang berkecamuk ganas akibat perkelahian itu. Banyak rumah penduduk kota Muara Banjar yang rusak berat dan korban pun berjatuhan akibat gelombang pasang yang menerjang perkampungan mereka yang terletak di tepi kiri dan kanan Sungai Barito.

Sultan Suriansyah segera memberlakukan keadaan darurat di wilayah Kerajaan Banjar. Ia lalu memanggil para pejabat tinggi kerajaan untuk bersidang membahas bencana alam yang menimpa Kerajaan Banjar.  Selain Patih Masih, sidang darurat itu juga dihadiri para pejabat Manteri Ampat yang terdiri dari Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Manau dan Garuntung Waluh. Manteri Ampat adalah empat tokoh sakti mandraguna yang menjadi kepala keamanan di empat penjuru negeri Kerajaan Banjar.

“Panimba Sagara, apakah gelombang pasang ini berasal dari ulah anak buah Pangeran Temenggung yang ingin membalas dendam?,” tanya Sultan Suriansyah.

“Ampun, paduka. Hamba belum mengetahuinya secara pasti.”

“Mungkin, Pambalah Batung sudah mengetahuinya?”

“Ampun paduka. Hamba juga belum mengetahuinya.” 

“Bagaimana dengan Garuntung Manau dan Garuntung Waluh?”.

“Ampun, paduka. Kami berdua juga demikian adanya.”

“Belum mengetahuinya juga?”

“Ampun, paduka. Begitulah adanya.”

“Kalau begitu. Kalian berempat kuperintahkan untuk menyelidiki asal muasal terjadinya gelombang pasang  yang bergelora ini.”

“Ampun, paduka. Kami segera berangkat.”

Setelah diketahui bahwa gelombang pasang Sungai Barito yang bergelora itu  berasal dari Pulau Kaget tempat terjadinya perkelahian hidup mati antara naga jelmaan Sutakil dan Sutakul, maka rombongan Manteri Ampat itu segera berangkat ke tempat kejadian perkara.

Ketika rombongan Manteri Ampat itu tiba di Pulau Kaget, naga jelmaan Sutakil dan Sutakul masih berkelahi dengan serunya. Jika tidak segera dilerai oleh Panimba Sagara dan kawan-kawannya, pastilah salah satu atau bahkan keduanya akan tewas sebagai korban dalam perkelahian hidup mati itu.

Begitu tiba di tempat kejadian perkara, Panimba Sagara langsung mengeluarkan kesaktiannya mengeringkan lokasi perkelahian. Ternyata naga jelmaan Sutakil dan Sutakul tidak begitu leluasa mengibaskan ekornya jika mereka berkelahi di tempat kering. Gerakannya tampak melemah dan tidak gesit lagi, ketika itulah  Garuntung Manau beraksi menangkap Sutakil dan Garuntung Waluh  beraksi menangkap Sutakul. Pada saat yang bersamaan Panimba Sagara memukul kepala Sutakil dengan telak dan Pambalah Batung memukul kepala Sutakul tak kalah telaknya.

“Ampun, punggawa. Ampuni, kami. Jangan sakiti kami. Kami sudah banyak menderita” ujar Sutakil dan Sutakul menghiba-hiba.

Panimba Sagara dan kawan-kawannya saling berpandang-pandangan. Mereka heran kedua naga itu ternyata bisa bicara.

“Siapa kalian!” bentak Panimba Sagara dengan penuh wibawa 

“Hamba Sutakil.”

“Dan kamu?”

“Hamba Sutakul.”

“Kenapa kalian berkelahi?”

Sutakil segera menceritakan apa yang terjadi sejak awal hingga akhir.

“Tahukah kalian. Akibat perkelahian ini air Sungai Barito bergelora. Gelombang pasang yang ditimbulkannya telah memporak-porandakan rumah-rumah penduduk yang berada di tepi kiri dan kanan Sungai Barito dan Sungai Kuin,” ujar Panimba Sagara.

“Ampuni kami, punggawa,” ujar Sutakil dan Sutakul.

“Kalian kuampuni. Bahkan, keadaan kalian juga akan kupulihkan seperti sedia kala.”

“Kami berdua akan menjadi manusia kembali?”

“Ya. Tapi dengan syarat.”

“Apa syaratnya punggawa?”

“Kalian dalam keadaan masih berwujud naga jelmaan ini harus membawa 2 batang pohon ulin tebangan kalian ini ke kota Muara Banjar. Setibanya di kota Muara Banjar, barulah wujud kalian akan kupulihkan kembali  menjadi manusia seperti sedia kala.”

“Bagaimana dengan hadiah uang yang dijanjikan oleh Sultan Suriansyah untuk 2 batang pohon ulin yang akan kami bawa ke kota Muara Banjar.”

“Akan tetap dibayarkan oleh Sultan Suriansyah sesuai dengan janji beliau yang diucapkan sebagai sabda pandita ratu yang tak mungkin diubah dan diingkari lagi.”

“Lalu apa imbalan yang punggawa minta untuk bantuannya memulihkan wujud kami berdua?”

“Aku minta imbalan yang besarnya setara dengan  hadiah uang yang akan diberikan oleh Sultan Suriansyah untuk 1 batang pohon ulin yang kalian bawa ini.”

“Wah, terlalu besar, punggawa.”

“Imbalan uang itu bukan untukku tapi untuk membantu para penduduk membangun kembali rumahnya yang porak-poranda karena diterjang gelombang pasang Sungai Barito yang terjadi akibat ulah kalian berdua.”

“Baiklah kalau begitu. Kami berdua setuju.”

Siang itu juga, Panimba Sagara, Pambalah Batung, Garuntung Waluh dan Garuntung Manau bergotong-royong membuat 2 buah rakit bambu. Setelah selesai 2 batang pohon ulin hasil tebangan Sutakil dan Sutakul dinaikan ke rakit bambu dan pada malam harinya digiring ke lokasi pembangunan masjid di pusat kota Muara Banjar.

Rakit bambu berisi 2 batang pohon ulin itu sengaja digiring pada malam hari, selain menunggu air pasang, juga dimaksudkan agar penduduk yang tinggal di tepi kiri dan kanan Sungai Barito  tidak ada yang menyaksikan bagaimana rakit bambu itu digiring oleh dua ekor naga jelmaan Sutakil dan Sutakul. Panimba Sagara dan kawan-kawan khawatir jika peristiwa langka itu pada akhirnya akan menimbulkan kehebohan yang tidak perlu di kalangan para penduduk yang menyaksikannya.

Pemulihan wujud Sutakil dan Sutakul juga sengaja dilakukan Panimba Sagara setelah naga jelmaan itu menunaikan tugasnya membawa 2 batang pohon ulin itu dari Pulau Kaget ke kota Muara Banjar. Jika wujud Sutakil dan Sutakul langsung dipulihkan ketika masih berada di Pulau Kaget, maka kekuatan fisiknya sebagai manusia tidak mungkin bisa dimanfaatkan untuk menggiring rakit bermuatan 2 batang pohon ulin yang berbobot sangat berat itu. Sebaliknya jika Sutakil dan Sutakul masih berwujud 2 ekor naga jelmaan maka kekuatan fisiknya akan jauh lebih besar dengan kekuatan fisiknya sebagai 2 orang manusia biasa. Selain itu, wujud Sutakil dan Sutakul juga tidak bisa dipulihkan secara serta merta, karena untuk itu Panimba Sagara dan kawan-kawannya terlebih dahulu harus berhasil menaklukan Maskabal dan Maskabil sebagai pemilik kutukan yang membuat Sutakil dan Sutakul berubah wujud menjadi 2 ekor naga jelmaan.

Sultan Suriansyah merasa lega ketika menerima laporan dari Panimba Sagara bahwa gelombang pasang yang memporak-porandakan perkampungan di tepi Sungai Barito itu sudah berhasil diatasi sebagaimana mestinya. Ketika dibawa menghadap Sultan Suriansyah untuk menerima hadiah uang atas prestasinya yang berhasil mendapatkan 2 batang pohon ulin, Sutakil dan Sutakul sudah berubah wujud menjadi manusia kembali. Mengenai hal ini Sultan Suriansyah juga telah mengetahuinya melalui laporan yang disampaikan oleh Panimba Sagara.

Penyerahan hadiah uang bagi Sutakil dan Sutakul diserahkan langsung oleh Sultan Suriansyah dan disaksikan oleh segenap petinggi Kerajaan Banjar lainnya. Sutakil dan Sutakul dielu-elukan sebagaimana layaknya 2 orang pahlawan yang baru pulang dari medan pertempuran setelah meraih kemenangan yang gilang-gemilang.

Setelah diselidiki secara seksama barulah diketahui bahwa jin kapir Maskabal dan Maskabil ternyata adalah kaki tangan Pangeran Temenggung juga.

...selanjutnya


Klik Daftar Isi atau Bagian Lima


0 comments: