Bagian Kedelapan


Puisi Nenny Makmun (Jakarta)

Jangan Lagi Bersedih

Hamparan hijau bak permadani
penyejuk pandang abadi
kenapa tiba-tiba harus berubah
menjadi gersang kelam merana

Di manakah hutan yang indah itu?
mahakarya sang Pencipta
nan menjadi penjaga sang bumi
rangkain detak napas sang bumi

Ingin kuserukan pada semua
untuk tidak mengusikmu
untuk tidak membuat engkau bersedih
ketika kezaliman merenggut

Karena seharusnya engkau bahagia
dengan ketulusan menjaga kami
terjaga dan lestari semoga bukan
hanya asa dan harapan…

Roemah Hijau, 18 July 2016

Puisi Niko Nababan (Medan, Sumut)

Seruan dari Hutan

Lalu kau berteriak, jauh dari ujung sana aku mendengarnya.
Untuk sebuah kata penyesalan.

Lalu  izinkan aku berkata, bukan untuk mengangkuhkan diri.
Namun, siapa aku dan siapa dirimu?
Sebatas kesempunaan sajakah ?
Lalu aku bertanya, adakah kau dalam kehidupanmu  ?
Hingga kau tidak dapat mendengar setiap jeritan dari sekelompok yang kau anggap terbatas.
Sebatas itukah kesempurnaan yang kaumiliki.

Lalu aku berteriak, jauh dari ujung sana untuk kau dengarkan.
Untuk sebuah peringatan.

Medan, 25 Juni 2016



Puisi Ningrum Zahrohtul Janah (Tanah Bumbu, Kalsel)

Kira-Kira Sajalah!

Rawu dan rawa
Menyusup pandai di permukaan dan kependiaman
Melengkung layu nan lapuk di kekeringan
Lalu rasukan jiwa bepergian
Menjauh,
Menghilang,
Habis,
Hingga kematian menyergap erat keduanya

Jati itu jatuh bak ditebas tajam belati
Batang sekeras karang menghitam menjadi arang
Kepulan asap gelap menyampuli kawasan hutan
Membakar,
Memanas,
Tumbang,
Hingga tatap kehidupan tertutup debu usang

Air, udara, tanah
Tak satu pun mereka berkaki dan bertangan
Mereka tak kemana
Sial karena tak kuasa melawan

Tangan-tangan besi menyingkap bumi lenyapkan hutan
Lalu udara tanpa kuasa mengubah iklim disalahkan
Hujan adalah saat kemarau
Kemarau adalah saat hujan
Rambut-rambut akar sangatlah kecil diterpa banjir
Dan tanah tak berpenghuni sangatlah lemah menampung bandang
Hangus,
Debu,
Hujan,
Banjir,
Longsor,
Lalu lancangnya menjadi jalan kematian
Salah siapa?
Kira-kira sajalah!

Tanah Bumbu, Juli 2016


Puisi Noor Indah Wulandari (Banjarmasin, Kalsel)

Hijau yang Dirindu

Mentari nan anggun menyapa pagi yg mistik
Kicau burung berganti bunyi klakson
Merdu jangkrik berganti musik
Binatang melata diburu demi alasan klasik
Meraup untung mengundi akik

Ketika hijau berubah cokelat
Ranting mengering
Sungai menjelma lumpur
Kupu-kupu pun telah berpaling

Ke mana hijauku?
Hijau yang diperkosa tangan nakal manusia
Hijau yang dijuluki paru-paru dunia
Hijau yang menyeimbangkan seluruh ekosistem
Hijau yang menyangga bumi dari luapan sungai
Dan hijau yang dirindu
setelah semua menjadi cokelat..



Puisi Nor Aulia Shifa (Tanah Bumbu, Kalsel)

Tangis Tanpa Air Mata

Hamparan alam yang terbentang
Terpapar indah di ujung cakrawala senja
Indah tersorot di pelupuk mata
Membentang harap yang selama ini menjadi cita-cita

Hutan dengan kekayaan yang melimpah ruah
Tempat mengadu dan menadah
Mereka menganggapnya sebagai rumah
Tak ada yang lebih indah
dibanding tempat di mana mereka bercurah

Kini
Masa demi masa
Terlintas rasa takut di benaknya

Hutan yang dulu melindungi segenap rasa cinta
Kini tinggal haru duka di matanya
Berbekas pilu sembilu di sanubari
Berlobak hati semua telah pergi

Hijau hutan
Kicauan beburungan
Semua berganti sekejap saja
Tak tahulah apa yang tertanam di benaknya yang tega
menghancurkan semua cita yang telah dibina

Sekarang apalah yang tersisa
Warisan yang ditunggu anak cucu kita
Kini tinggal khayalan belaka

Dengan waktu yang tersisa
Aku bangkit menghalau bencana bagi mereka
Kusingsingkan lengan baju, tegap badan dan melangkah maju
Aku kan menjaga rumah bagi mereka
Di sisa waktu yang kupunya

Batulicin, Tanah Bumbu, 24-06-2016



Puisi Novy Noorhayati Syahfida (Tangerang, Banten)

Hutan di Kepalaku

kutemukan hutan di kepalaku
lebatnya memayungi tanah-tanah rindu
matahari menerobos dedaunnya dari minggu ke minggu

pada rimbunan hutan di kepalaku
rembulan berebut duduk di reranting bisu
ragam serangga berumah tanpa ragu

ada begitu banyak hutan di kepalaku
tempat tumbuh berbagai benalu
hingga tanaman si putri malu

hutan yang tumbuh subur di kepalaku
warisan leluhur yang perlu dijaga agar tak layu
atau lenyap di makan waktu

Tangerang, 2 Oktober 2015



Puisi Nurlaeli Umar (Jakarta)

Jangan Biarkan Aku Hilang

Namaku Hutan. Nama lahir yang tertulis pada peta dan berwarna hijau. Yang menumbuhi sebagian tanahmu dan mengusir risau. Telah kuberi sejuk di rongga parumu hingga kepalamu berpikir jernih, dan kau dapat hidup lebih lama. Telah kumurnikan air yang bisa kau minum hingga semua mengalir ke hulu lebih cepat. Telah kuberi tanahmu semua yang bisa kauwariskan agar tak lekas hilang dari ingatan. Telahku, telahku, telahku.

Kau tak pernah mengerti adaku hingga kautandas-hilangkan bahkan pada bayi seumur jagungku. Sebab setelah para tetua mengorbankan diri pun, nafsumu tetap tak terbendung. Hijau mana lagi yang ingin kau sesap habis tak bersisa, sampai batuk-batuk pada tenggorokanmu menyekik lehermu sendiri. Rimbun mana lagi yang ingin kaupangkas, hingga rasa haus paling mati mengunjungimu.  Kau membuat bayi-bayimu kehilanganku pada matanya nanti.

Di ingatanku paling tajam, aku menaksir adakah sebenarnya kau ingin mengubah namaku menjadi tandus. Yang akan menyimpanku di lembar-lembar kenangan bersama tangis, bersama air mata yang luruh saaat deras hujan mengetuk. Yang menjadi kerontang paling. Tanpa kenduri, hanya sebuah pesta sesaat yang sendiri.

Namaku Hutan, aku menjadi wujud kawan. Namamu kawan yang terkadang menghilangkan.



Puisi Oka Miharzha.S. (Tanah Bumbu, Kalsel)

Hutan Anak Cucu

1
Setiap rezim, presiden dan para pembantunya
selalu  ada kabar gembira
aku sebenarnya turut menghiasi 
yang hiruk pikuk di dalam rimba-rimba hutan anak cucu
aku dan ayah, paman dan adik-adikku
hanya jadi penonton
seperti manusia biasa
aku waktu itu lebih suka mengikuti arus
aku terpana dan kadang sengsara
bahkan ikut tergoda menyelam di kedalamannya
ayahku memberi makan, minum, dan uang jajan sekolahku
menggunakan tetes air mata pohonpohon hutan anak cucu
pohon-pohon yang beratus tahun
menemani bumi
memanjakan ayah, ibu, dan adik-adikku
betapa ikhlas
tak pernah menggerutu
mungkin ia tahu di dalam rimba itu
akan terus terjadi perang dengan dalih kepentingan perut anak cucu
padahal itu hanya tipu muslihat
dileburnya dalam kawah-kawah tambang
hutan anak cucu, semakin garang menakutkan

2
Kini dengan tangan gemetar
bersama kekuatan yang tersisa
aku beradu nasib melawan anomali musim yang tak menentu
kuambil cermin, kucoba memandang  wajahku sendiri
seperti apa wajahku
ternyata penuh guratan, kumis dan jenggot memutih
sudah  terlukis jelas
aku benar-benar ikut larut membabat habis hutan anak cucu
kau pukau aku, lalu kaupenuhi isi perutku
darah dan desah napasku berasal dari muara-muara sungai
air samudera yang asin
arus sungai abu-abu, payau
lalu ia menghambur ke telaga-telaga hingga ke gelas-gelas
mulut-mulut cucu-cucu menolak

3
Suatu hari si  pemimpin rezim berganti
para pembantu terlihat sibuk bermimpi
anak cucu ricuh mendulang riang
ia ingin sekali melihat mimpi itu seperti  lampu-lampu bercahaya terang
ia selalu bertanya kepada siapa saja,
apakah para pembantu itu masih bisa dipercaya ?
aku  larut dalam tangisan
aku sadar, aku juga  bagian dari mereka
tapi ada cerita yang belum selesai
jangan-jangan  aku tertidur, tak bisa
tak menjadi apa-apa
hutan anak cucu
hutan kegelapan
                                            
Batulicin,  5 Juni 2016



Puisi Polanco S. Achri (Yogyakarta)

Kisah Sebuah Hutan

Dahulu ibu sering bercerita
tentang hewan-hewan surgawi yang turun ke bumi
bermain di antara pepohonan yang berkabut
sembari menunggu fajar menyingsing lembut

Ibu juga sering bercerita
tentang pohon-pohon yang menjadi gerbang imaji
gerbang bagi mereka; manusia sejati

Tapi kini,
apa yang harus kuceritakan pada anak-anakku?
Apa hanya legenda tentang wilayah yang hijau subur;
di mana dahulu ada hewan surgawi yang bermain-main
bersembunyi di heningnya dini hari bersama sepi

Haruskah kuceritakan itu?
di kala gerbang imaji telah hilang dan musnah        
apakah mereka akan percaya?

Yogyakarta, Juli 2016

Puisi Prasasti Nurmaning Ratri (Purworejo, Jateng)

Tak Lagi Sama

Hutanku kini tak lagi sama seperti cerita bunda
Bayang-bayang kehancuran telah  di depan mata
Banjir menenggelamkan harapan anak bangsa
Tanah longsor menimbun cita-cita generasi muda

Ke manakah kesadaranmu, wahai tangan-tangan kelabu?
Hatimu? Apakah sudah membatu?
Ini hutanku, hutan kami!
Kami ingin hidup nyaman di negeri sendiri

Purworejo, 26 Juni 2016



Puisi Qudsi Falkhi (Probolinggo, Jatim)

Lian

Namanya Lian,
Singa hutan berwajah rupawan
Yang kukenal lewat tatapan
Antara menghiba dan dendam
Saat
Pohon
Semak
Belukar
Aku bakar

Namanya Lian,
Singa hutan berwajah rupawan
Yang kukenal lewat tatapan
Antara menghiba dan dendam
Saat
Gubuk
Rumah
Pemukiman
Diserang

Namanya Lian,
Kini menjadi buronan
Warga dan polisi hutan
Saat
Itu
Andai
Aku bisa
Menahan
Keinginan dan ketamakan
Mungkin
Lian akan tetap menjadi Lian.



Puisi Rahma Dany Asyifa (Kuningan, Jabar)

Dalam Pelukan Embun

Kupu-kupu bertebaran
Sayapnya tinggal separuh
karena bulan malu-malu
di balik asap sepekat mahoni tua yang merajuk ke awan

Esoknya ulat enggan menjadi kupu-kupu

Dan kelak cucumu mungkin bertanya
Bolehkah hutan tidak berwarna hijau lagi? Merah jambu misalnya?
Sebab sudah habis hijauku dimakan rayap



Puisi Rahmitha Ananda Makarim (Tanah Bumbu, Kalsel)

Hutan Kutukan

dalam hutan kutukan tinggal bayang bangkai ranting-ranting
inikah akhir yang kaubayangkan
wahai pembangunan

kini dengan tangan gemetar
dan mata luyu
tubuh bergetar
kita  saling bertengkar
menyalahkan semua orang
yang merangkai tembikar
memburu lembaran dolar

padahal semua itu tak ada sangkut pautnya
tidak mesti sampai ke rakyat
rakyat menggelepar
sedang aku hanya menyimpan doa
dan setiap hari
meniup lilin di hutan kutukan
tertidur,
wajah pucat dan sendiri
menghalau rama-rama
penebang pohon-pohon
penambang liar
dalam mimpi
di siang hari

Batulicin, Juli 2016 


Puisi Ratinie Fatmawati (Kebumen, Jateng)

Rerumput  Berasap

Kau kalungkan gundah pada sayap-sayap negeri
Merampas hijau daun yang tak lagi asri
Kambium terlucuti, jejak tak lagi semi

Tunas-tunas meranggas, mencoba pudarkan panas
Sehingga rumput kembali berasap esok hari
Menukar rerimbun belukar tanpa sadar
Dengan jiwa yang mengakar pada payah kepenatan

Adalah manusia, jiwa pertama yang meruntuhkannya
Manusia, jiwa yang harusnya bisa menjaga dan melestarikannya
Hingga pada titik kesenjangan
Ribuan tuan-tuan hutan kembali mengaum
Tanpa terbengkelai karena bungkaman

Bukan, bukan lalai!
Namun ia memperdaya di tengah terik surya
Lalu siapa yang patut?
Menjaga budaya hijau hutan yang harus kita emban
Ini suatu amanah, bahwa tanggung jawab mereka adalah "kita".

Punggol, 25062016


Puisi Resa Karina (Bandung, Jabar)

Gundul

Kulihat di timur sekawanan gagak menyerbu
Kudengar di timur jeritan gergaji menggebu-gebu
Telingaku tercabik-cabik, geram, hampir tuli
Tanganku gemetar, mengepal dan langkahku, berat
            Ingin kuberlari selayaknya flash
            Menghentikan gagak itu, menghentikan jeritan itu
            Menghentikan semua yang terjadi
            Sungguh tak sanggup ku melihatnya
Tiupan angin menerbangkan daun-daun kuning
Tanah yang basah sekarang menjadi kering
Bumi tanpanya hampa, sungguh hampa
Hampa tanpa, gapaian tangan kita



Puisi Retno Ningrum (Riau)

Rimbaku Telah Beku

Subuh ini terasa pengap
Payung hijau tidak lagi berdaun lebar
Roda dimensi membawaku dengan sigap
Kulihat gajah…
Namun tak lagi besar
Di mataku berlarian si belang
Di kejar pemburu bermata uang
Di telingaku berisik suara ngiing
Kutelusuri dengan tergopoh
Sang penebas ilegal logging
            Rumah satwaku luluh lantak
            Pohon kecilku luruh mendesak
            Di mana belantaraku?
            Bahkan rimbaku telah beku
            Sepi karena gema tak menderu
            Kini…
            Senja indah terselimut kabut
            Asap mengepul bakaran lahan gambut
Mati
Hutan beragam kami
Binasa
Suaka margasatwa
Kami berakhir tanpa O dua

Juli, 2016



Puisi Rima Muryantina (Jakarta)

Mudhammatan

Hijau tua adalah warna,
Dari masa kecilku yang indah,
Yang kuhabiskan dengan gagah,
Sekedar untuk makan dan menjelajah.

Hijau tua adalah warna,
Tempat kau dan aku dapatkan sumber air,
Yang tiada hentinya mengalir,
Sebelum hatimu dipenuhi rasa kikir.

Hijau tua itu menipis,
Ketika kau putuskan kuasai habis,
Anugerah Tuhan yang berlapis-lapis.

Saat kurindukan hijau tua,
Dan datang ke kampungmu menagih,
Namun kau usir dan bunuhku dengan perih,
Rebut gadingku yang merintih.

Kini kenangan hijau tua,
Kunantikan di pintu surga,
Yang warnanya pun serupa,
Dengan yang kita lihat di dunia.


Tangerang Selatan, 11 Juli 2016

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: