Sunday, September 21, 2025

Sastrawan, Sejarah, AI, Kultur, dan Masyarakat

 

Ilustrasi: Pixabay

Membicarakan sastrawan seperti tiada habisnya. Sebab, sastra selalu terkait dengan segala aneka ragam kehidupan. Maka, jangan heran jika sastrawan selalu berkaitan dengan hidup dan kehidupan dari zaman ke zaman. Tentu saja, hal itu termasuk pula dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi yang terus terbarukan, AI, misalnya. 

Dari situ pulalah sastrawan masuk di dalam sejarah itu sendiri. Ya, selain menjadi orang yang mengingatkan sesama akan sejarah, sastrawan juga pelaku sejarah yang nyata. Nama dan profil sastrawan dicatat dalam buku-buku sejarah kehidupan. Sebutlah seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Buya Hamka, dan Chairil Anwar. Bahkan mendiang Ayip Rosyidi menulis buku ikhtisar sejarah sastra Indonesia. 

Tersebut di atas termasuk yang telah menjadi masa dulu, sementara pada masa sekarang sastrawan akan dicatat untuk dibaca pada masa depan. Dan, semua itu terkait dengan kultur masyarakat. Bukan hanya dititkberatkan pada budaya baca, tetapi juga segala yang menjadi kebiasaan masyarakat yang hidup dan terus berkembang. 

Nah, ketika zaman silam sastra ditulis di media kuno, kini sastra hadir dalam media super canggih. Mau tak mau, sastrawan harus bersedia menerima setiap jengkal kemajuan. Jika tidak, sastra akan terkubur dan hanya menjadi kenangan yang bisa jadi akan dilupakan selamanya. 

Pertanyaannya, apakah sastrawan akan tetap eksis dalam setiap masa? 

Mungkin jawabannya terkait erat dengan yang namanya penghidupan. Lebih tepatnya bagaimana karya sastra bisa menjadi mata pencaharian utama untuk keberlanjutan hidup para sastrawan. Namun, ini pun bisa dikatakan hanya berlaku bagi sastrawan yang menggantungkan hidupnya di dunia sastra semata. Bagi sastrawan yang berprofesi utama selain di dunia sastra semisal mendiang Sapardi Djoko Damono yang dosen itu, tentu saja tetap bersastra ceria dan suka-suka meskipun tidak memperoleh uang dari karya sastra yang dihasilkannya. 

Agaknya dalam hal ini yang menjadi fokus utamanya adalah eksistensi sastrawan model pertama. Sementara model kedua hidup mereka sudah "dikelola" di pekerjaan utama yang memungkinkan berkarya sastra meski tak mendapatkan bayaran sepeser pun. 

Khusus sastrawan model pertama, umumnya akan terus berkarya sastra agar dapur tetap beraroma asap. Honorarium dari surat kabar dan royalti dari penerbit sangat didambakan. Terlebih yang sudah berkeluarga. Itulah sebabnya, diharapkan pula dalam acara sastra, sebutlah Pertemuan Penyair Nusantara dan Musyawarah Sastrawan Nasional Indonesia, eksistensi sastrawan model pertama ini pantas diketengahkan sebagai tema utama makalah-makalah yang disajikan. 

Sebutlah contohnya terkait bagaimana agar buku-buku sastra laku di pasaran, baik cetak, maupun digital. Atau, misalnya trik jitu supaya masyarakat berminat membaca karya sastra. Dengan begitu, diharapkan karya sastra terus menjadi santapan rohani bagi masyarakat dan alhasil sastrawan pun dapat hidup dari sastra dengan sejahtera. 

Singkat kata, semoga saja ke depan semua itu bukan sekadar harapan belaka. Aamiin

0 comments: