![]() |
Ilustrasi: Pixabay |
Jika dibaca sekilas, judul di atas terkesan seperti main keroyokan. MBG atau makan bergizi gratis yang menelan 1,2 trilyun rupiah per hari melawan empat olah. Ya, olah hati (etika), olah pikir (literasi), olah karsa (estetika), dan olah raga (kinestetik).
Banyak yang bilang sebenarnya MBG itu menjadi beban negara. Dalam hal ini sejatinya merupakan beban rakyat karena dananya juga diambil dari rakyat melalui pajak. Jadi, pendapat itu secara tidak langsung bermakna, "Apanya yang gratis?" Lebih tepatnya makan bergizi berbayar. Ini hanya sebuah pendapat. Bisa benar, bisa salah.
Secara empiris, program kampanye pilpres 2024 lalu itu dipaksa berjalan di tengah masih banyaknya pemutusan hubungan kerja, upah yang minim, pajak yang mencekik, dan tentu saja kian menggunungnya utang pemerintah kepada pihak luar negeri. Entah ini disadari atau tidak oleh pihak yang berwenang?
Terlepas dari tidak sesuainya kondisi Indonesia yang belum sehat wal'afiat dengan MBG ini, sebuah pertanyaan muncul. Apakah MBG selaras dengan dunia pendidikan di Indonesia? Atau lebih tepatnya pada pendidikan karakter yang didasarkan pada filosofi Ki Hajar Dewantara?
Dalam filosofinya, pendidikan karakter difokuskan pada olah hati, olah pikir, olah karsa, dan olah raga. Nah, apakah selama ini pendidikan di Indonesia sudah demikian?
Jawaban paling mudah adalah dengan mengaitkannya dengan output dan autcome. Ketika seorang peserta didik sudah berhasil menjadi sarjana sebagai output nyata, misalnya. Maka, ibarat gedung yang sudah jadi, apakah "dia" berfungsi dengan baik? Jika ya, outcome bernilai baik. Sebaiknya, perlu evaluasi terhadap dunia pendidikan secara maksimal.
Lantas, bagaimana kenyataan di lapangan yang sebenarnya? Masih banyak pelaku korupsi, contohnya? Ya. Pelaku kolusi? Ya juga. Nepotisme? Sama. Tindak kriminal lainnya pun masih banyak.
Berarti, filosofi Ki Hajar Dewantara belum sepenuhnya dijalankan secara baik dan benar. Padahal dalam dunia pendidikan banyak juga peserta didik yang berlatar belakang dari keluarga mampu. Mereka makan bergizi? Sejak dalam kandungan mereka sudah mendapatkan asupan bergizi.
Hal-hal di lapangan seperti itu haruslah menjadi bahan pertimbangan terkait makanan bergizi gratis. Sebutkah contohnya, apakah MBG harus menjadi fokus utama dalam dunia pendidikan? Ataukah malah harus dihentikan karena menelan biaya yang sangat besar? Dan, tanpa mempertentangkannya dengan bentuk apa pun, idealnya yang menjadi titik perhatian adalah filosofi pendidikan di Indonesia agar terlahir generasi-generasi berkualitas menyongsong Indonesia emas.
0 comments:
Post a Comment