Wednesday, November 4, 2020

Puisi-Puisi Ibramsyah Amandit


 



MAMANG BORNEO

 

Aku mencari Pepunden cinta 

Tanah Borneo

mencari pemilik makna Otot Rimba

sa'at ini mamang buli ke risau

kebawa-bawa kpd Ikau... 

 

Iyu beh; ikau Uluh Siang, uluh Ngaju, uluh Busang, uluh Benuak, uluh Punan, uluh Penyabung, uluh Bahau, uluh Kenyah, uluh Manyan, uluh Bawu, uluh Otdanum, uluh Lawangan, uluh Tabayan, uluh Kahayan, uluh Kutai, uluh Bakumpai, uluh ngawa si kuweh2, uluh Ngaju kanih... 

 

Risau yaku buli pada rimba, 

hutan ulin, hutan ramin, kapur meranti keruing

Ken kuweh ikau cari jihi huma betang. Huma beleh peteh, sandung

semayam tulang-tulang? 

Ken kuweh tancap kayu palawan? 

Sanggai lunuk upacara Tewah? 

Rimba Awen meranggas-ranggas

pagar Banua hilang batas

Tiada halat sasangga wisa

hilang arifnya  ! 

 

          Kudengar isyarat dari gurun2;

          "Ihdzaar al Jidaar"! " Ihdzaar 

          al Jidaar"! 

           Awas dinding!  Awas dinding! 

 

Namun tiap jengkal tanah Borneo

gerbang peluang... 

kaki tangan jerat masuk 

menginjak-injak

senyum jebak rayu me-nembak2

Halimatek lintah lunak

menhisap-hisap

 

Aku mencari Pepunden cinta

 tanah Borneo

mencari pemilik makna Otot Rimba

dari perih luka2 daging jantung Banua

 

Sebuas-buas binatang; tdk di Rimba

Sebuas-buas siapa; ia binatang kota

Segarang-garang raung bukan singa

Segarang-garang raung; ia Uang Kuasa! 

Konglomerat habitat apa kuku tajam

taring merunjam-runjam

sorot mata ke lapis2 bumi plg dalam

wariskan jurang menganga;

          Kawah kubur Rakyat anak

          Banua

          Banjir menerjang desa-desa

          membelah-belah kota

          melindas sawah kebun 

          dan pematang

 

Sebuas-buas siapa; ia Binatang Kota

Segarang-garang apa raung;

ia Uang Kuasa? 

 

Kita, kita, kita... 

Inilah kita jadi reruntuhan peristiwa

Kita, kita, kita... 

Inilah kita tak kuasa berkata Jida! 

 

Hai Dayak, pewaris Diraja Bunu

Putera2 Kekasih Raja Jata

Raja Sangiang, 

habiskan sudah Tewah Balaku Untung? 

 

Duhai, Rahyang Hatala Langit;

tunjukan Pepunden tanah Borneo

pemilik makna Otot Rimba

tunjukan enzim kekuatan 

tubuh Kalimantan

Zat Hidup pengetahuan Borneo

Tunjukan...

apa-bagaimana-siapa-mengapa

di Borneo! 

 

          Kudengar dari gurun2 

          berdesauan suara lembut ;

          "Wari'u al lushuut"! 

          " Wari'u al lushuut"! 

          Usir maling2 itu! 

          Usir maling2 itu! 

 

Tamban, 8 Mei 2011(IA) 

Dibaca di Rumah Etam pd Dialog Borneo Kalimantan XI Samarinda, tgl. 13--15 Juli 2011

 

 

SOSOK

 

Bila kau lahir menjadi Penyair;

Anakku, jangan tidur ! 

Terimalah beban sejarahmu. 

 

Di sepasang bibirmu;

kicau kan burung Syurga

berbaur guruh Naraka ! 

 

Karena ucapanmu milik abad akan datang

jangan baringkan lidah di ilalang rebah ! 

 

Katakanlah... 

Hanya dirimu yg menaklukanmu

bukan si burung Beo ! 

 

Tamban, 14-1-2011.(IA)

 

 

 

MADU DAN BATU

 

Ketakutanku pada pengertian dan ilmu

Apa mencair seperti madu

atau membatu? 

 

Bila tangan selesai menjurai puisi

langit terbit membintang pagi

 

Bila khusyuk menimbang laba-rugi

rumput laut menyusur kali 

Aku menjerit-jerit meraih tepi. 

 

Tamban, 29 April 2012(IA)


Biodata Penyair


Bernama asli H. Ibramsyah bin H. Lawier, lahir pada tanggal 9 Agustus 1943 di Desa Tabihi Kanan, Kelurahan Karang Jawa, Kecamatan Padang Batung, Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam dunia puisi ia menggunakan nama pena Ibramsyah Amandit dan di kalangan sastrawan Kalsel dirinya lebih dikenal dengan sebutan si Janggut Naga.

Mulai menulis sejak tahun 1970-an. Pada tahun 1971 ia aktif dalam diskusi dan pembacaan puisi Persada Club Yogyakarta di bawah bimbingan Umbu Landu Paranggi. 

Di samping rajin menulis puisi ia juga rajin mendalami ajaran tasawuf melalui guru-gurunya yaitu: KH Gusti Abdussamad, KH Ramli Tatah Daun, KH Ahmad Arsyad, KH Muhammad Nur Tangkisung, KH Sam’ani, Guru H. Basman Tinggiran, KH Abdul Mu’in yang membaiatnya dalam Thariqat Akhirul Zaman, dan KH Muhammad Zaini Ghani yang membaiatnya dalam Thariqat Syamaniah.

Keakrabannya di dunia tasawuf membuat hampir seluruh puisinya kental dengan pemikiran tasawuf. Hal ini dapat kita lihat dalam setiap puisinya yang pernah dimuat dalam berbagai media.. Di antaranya yang dimuat di Mercu Suar Yogya (1971), Sampe Balikpapan (1978), Banjarmasin Post Banjarmasin, (1980-an).

Puisi-puisinya juga pernah dimuat dalam antologi puisi bersama antara lain Bahalap (1995), Pelabuhan (1996), Rumah Sungai (1997), Jembatan Asap (1998 ), La Ventre de Kandangan (2004), Sajak-sajak Bumi Selidah (2005), Seribu Sungai Paris Berantai (2006), Cinta Rakyat (2007), Tarian Cahaya di Bumi Sanggam (2008), Doa Pelangi di Tahun Emas (2009), Konser Kecermasan (2010), Menyampir Bumi Leluhur (2010), Seloka Bisu Batu Benawa (2011), Kalimantan Dalam Puisi Indonesia (2011), Sungai Kenangan (2012), Tadarus Rembulan (2013), dan dalam Membuka Cakrawala Menyentuh Fitrah Manusia (2014). Buku kumpulan puisinya Badai Gurun dalam Darah (Penerbit Tahura Media, Banjarmasin, 2009).

Ibramsyah Amandit juga telah menerima beberapa penghargaan antara lain, Penghargaan Seniman Sastra dari Kantor Wilayah Dep. Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Selatan (1990), Penghargaan Seniman Sastra dari Bupati Barito Kuala Provinsi Kalimantan Selatan (2006), Penghargaan Hadiah Seni bidang Sastra dari Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan (2009), dan Penghargaan Astaprana dari Kesultanan Banjar (2013).


0 comments: