Monday, January 20, 2020

Jangan Gunakan Elpiji jika Harganya Naik, tapi Gunakanlah Energi Alternatif Lain


Ada yang sering kelupaan dengan hukum kausalitas terkait judul di atas. Saya membayangkan hal itu mirip lupanya seseorang dari kekasihnya.

Betapa tidak? Sebutlah misalnya dia bahagia karena ditemani kekasihnya, tetapi dirinya kelupaan bahwa rasa bahagia tersebut adalah akibat dari keberadaan orang yang dikasihinya tersebut.

Memang terkesan aneh, tapi ini pula yang saya dengar atau baca belakang ini mengenai naiknya harga bahan bakar (bb). Segelintir orang kelupaan naiknya bb sebenarnya akibat dari dicabutnya subsidi bahan bakar bersangkutan, seperti bensin dan solar.

Pertanyaannya, siapa yang mencabut? Siapa pun orangnya, dialah yang menyebabkan naiknya bahan bakar di Indonesia. Sebab, jika subsidi tersebut tak dicabutnya, harga bb pun tidak akan naik.

Hal di atas hanyalah perkara kausalitas. Lalu, adakah solusi dari pencabutan subsidi dari bahan bakar seperti bensin dan solar itu? Bagaimana pula dengan yang "akan" dicabut, yakni elpiji atau Liquified Petroleum Gas (LPG)?

Mengganti dengan bahan bakar lain? Kalau ini solusinya, dengan apa?

Saya masih ingat waktu kecil sering melihat orang memasak dengan bahan bakar kayu (bbk). Konon, rasa makanan yang dimasak dengan bahan bakar itu lebih enak. Tentu maksudnya lebih enak daripada yang dimasak dengan minyak atau gas. Harga kayu pun murah. Bahkan, bisa didapatkan secara gratis jika rajin mencarinya.

Kelemahan paling mencolok dari bbk ialah kepulan asap yang dihasilkan. Selain aromanya tidak sedap, juga membuat mata berair.

Selain itu, pernah juga saya melihat orang memasak dengan daun kelapa kering. Masalahnya, asapnya lebih parah daripada hasil pembakaran kayu.

Kemudian pernah juga saya melihat orang memasak dengan energi surya. Ini sangat bagus. Tapi, bagaimana jika hujan atau sekadar mendung?

Akhir-akhir ini "booming" pula bahan bakar dari sesuatu yang tak terduga sebelumnya, yakni kotoran sapi. Hasilnya adalah biogas. Sangat menarik. Namun, hingga sekarang sebarannya masih belum menyentuh seluruh manusia Indonesia.

Dan, ada lagi, batu bara. Cara menggunakannya bisa dibakar dalam bentuk briket atau dalam wujud paling baru digagas. Apa itu? DME atau dimethylether yang direncanakan dapat menggantikan LPG.

Awal tahun lalu, dikabarkan bahwa PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero) bersama perusahaan asal Amerika Serikat--Air Products and Chemicals, Inc--telah sepakat membentuk perusahaan patungan dengan membangun pabrik gasifikasi batu bara di Peranap, Riau. Jika sesuai rencana awal, maka pabrik inilah yang akan mengubah batu bara menjadi dimethylether atau DME. Meski demikian, hingga kini batang hidungnya juga belum dapat dirasakan masyarakat.

Selebihnya listrik. Teknologi semakin canggih. Orang memasak bisa dengan panas yang dihasilkan dari listrik. Hebat. Lantas apakah listrik tarifnya tidak naik? Atau bagaimana saat terjadi pemadaman bergilir?

Pertanyaan terakhir, seandainya tidak lagi menggunakan elpiji yang mungkin harganya akan naik, energi alternatif apa yang paling ideal kita gunakan?


0 comments: