Saturday, March 9, 2019

Empat Puisi Moh. Syarif Hidayat



Kepada Sang Dewi

Kaulah dewi penunggu hujan
Pemuja gerimis
Pemelihara kunang-kunang
Pencuri kesunyian

Di antara gelap yang menyingkap
Di balik jelebu yang menderu
Kaulah penyelamat rindu

Menunggumu di untaian waktu
Memujamu di zaman yang syahdu
Adalah cara lain mengasah diri
Mencipta ruang kosong di sanubari
Menajamkan rasa, mengukir kembali cinta

Kepadamu sang dewi
Bertahtalah dalam hati.

2016


Menunggumu

Menunggumu di beranda ini
mengeja ulang perjalanan
cinta yang memancar dari urat nadi
menyebar dalam lintasan bola mata

Menunggumu di beranda ini
ibarat musafir separuh jalan
menyusuri padang pengembaraan
kembali pada titik pijak yang sama
kerinduarn

Menunggumu di beranda ini
adalah mengenang perjumpaan
memilah butir hujan
yang tumpah di sudut mata
kesunyian

Bandung, 2017


Gadis Garut

Sungai ini mengingatkanku padamu
yang dulu, menyebar kerinduan mengusik keresahan
dalam perjalanan antara batas kota dan gudang di sana
warnamu masih hijau saat itu

Saat kutelusuri lagi jejak rindu
sekian purnama dalam kesendirian
dalam lalulintas cuaca tak mudah diterka
engkau menjadi layu

Hijaumu menjadi ungu
cantikmu serupa senja yang kesumba*
gadismu tak perawan lagi
lekukan tubuhmu tak senakal yang kukenal

engkau telah berubah, gadisku
tapi aku harus tetap memujamu
karena hati tak bisa dibohongi
kupendam cinta dengan berat hati.

Garut, 2016
*Meminjam penggalan larik puisi Acep Zamzam Noor


Di Kota Ini Panas Menyengat Tak Henti-Henti

Lihatlah langit di atas sana! Cerah ceria!
Tapi kenapa di sini panas menyengat
Tak henti-henti
Membakar ubun-ubun, menusuk ulam jantung

Aku paham, hujan tak tentu datang
Aku paham, berteduh adalah cara terbaik menghindari
sengatan
Namun, tempatku berlindung dari panas dan hujan
Sirna ditelan angkara

Di kota ini panas menyengat tak henti-henti
Membakar diri.

Indonesia, 2017


Biodata singkat Moh. Syarif Hidayat


Ia lahir di Panjalu-Ciamis, 28 Juli 1976. Karya-karyanya berupa puisi, esai, dan resensi dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional, seperti Bandung Pos, Hikmah, Suara Publik, Pikiran Rakyat, Galamedia, Media Pembinaan, Tabloid AKSI, Suara Pembaruan, Republika, Rakyat Sultra, Mimbar Umum, dan lain-lain. Selain itu sejumlah puisinya termuat dalam antologi bersama Ketika Matahari... (1998), Graffiti Gratitude (2001), Cimanuk, Ketika Burung-Burung Kini Telah Pergi (2016). Kumpulan puisi tunggalnya adalah Tentang
Bunga yang Tumbuh di Pinggir Kolam (Kaifa Publishing, 2016) dan Mengenang Kelahiran (Gam,bang, 2017. Kini masih aktif bekerja sebagai peneliti di Balai Bahasa Jawa Barat.


0 comments: