Sunday, March 10, 2019

HUJAN, Cerpen Korrie Layun Rampan




Baru pertama kali pasangan muda itu bertengkar dengan sengit. Sejak menikah dua tahun yang lalu, baru kali ini mereka berduel mulut dengan saling menyalahkan.
    
Persoalannya memang tidak sederhana.
    
Setelah dua tahun menikah, mereka baru mendapatkan rumah pilihan yang didapat dengan susah payah. Bukan hanya selama dua tahun harus berhemat, akan tetapi mendapatkan kawasan yang benar-benar memenuhi idaman cukup sulit.
    
Pertama-tama kawasan yang dipilih harus bebas banjir. Selain itu harus memberi kemudahan ke tempat kerja. Juga kawasan itu tidak terganggu oleh polusi asap pabrik atau polusi dari asap kendaraan bermotor. Di dalam kawasan harus tersedia kemudahan seperti pasar, rumah sakit, tempat ibadah, dan sekolah. Meskipun mereka belum memperoleh anak, akan tetapi sekolah cukup penting, jika nanti si bayi sudah datang, alangkah sulit jika tak ada sekolah yang dekat. Karena mereka berdua sama-sama bekerja. Dan yang terakhir, semua ketersediaan kemudahan itu sesuai pula dengan kemampuan kantong.
    
Pada suatu pameran perumahan akhirnya pilihan itu ditemukan juga. Daerah yang dipilih sama-sama memenuhi keinginan mereka berdua. Husni merasa itulah pilihan terakhir, dan Husnah sepakat dengan saran suaminya.
    
“Tapi kita harus melihat sendiri,” Husni memegang tangan istrinya. “Sebaiknya jika musim hujan.”
    
“Memang harus kita hunting lokasi,” Husnah mengiyakan apa yang dikatakan suaminya.

“Melihat dengan mata kepala sendiri. Banyak developer sekarang menipu calon pembelinya. Dikatakan bebas  banjir, tahu-tahu malah lebih dalam dari banjir Ciliwung.”
    
Pada suatu hari Minggu, dan kebetulan hari sedang hujan mereka berdua berangkat melihat lokasi. Rumah-rumah itu dibangun di suatu tanah datar yang sudah diratakan. Menurut kondisinya tanah itu bukan tanah bekas lahan sawah, tetapi tanah matang yang dahulunya berupa lahan kebun atau tegalan. Jalan-jalannya sudah bagus, listrik, air tahan masih dangkal, dan suasana kawasan memberi kesegaran jika dibandingkan dengan kesumpekan Jakarta. Apalagi di kawasan Tambora, hunian mereka selama ini, tempat yang baru ini terasa sangat nyaman. Untuk pergi-pulang kerja dapat ditempuh dengan kendaraan umum dengan beberapa alternatif.
    
Di mana lagi mencari kawasan perumahan yang begini nyaman? Dengan harga dan angsuran yang terjangkau kocek?
    
Seharian mereka melihat rumah yang dipilih. Meskipun kecil, akan tetapi kondisinya nyaman. Husnah yakin inilah rumah tempat mereka menikmati cinta, dan Husni merasakan inilah rumah untuk pulang. Saat masih lanjang sering ia tak ingin pulang, apalagi kalau rumah masih kebanjiran, rasanya sulit sekali untuk bergerak. Lebih baik nginap di rumah teman, dan kondisi itu berlanjut setelah ia bekerja. Namun rumah yang dipilih ini tampaknya merupakan rumah yang tidak akan mengecewakan. Ia akan pulang setiap hari, lagi pula tak mungkin ia membiarkan Husnah sendirian, jika ia tidak pulang. Tak ada alasan apa pun ia tak pulang, karena rumahnya merupakan pilihan sendiri.
    
Tak terlalu sulit segala urusan dibereskan. Uang muka, akad kredit, perjanjian angsuran, dan kunci rumah.

Sebuah kehidupan baru berdenyut seperti nadi.
    
Husni tersenyum kepada Husnah. Senyum itu membuat hati istrinya berbunga-bunga.
    
Barang-barang pun diangsur dibawa sampai tibanya mereka berdua pindah.
    
Bau kayu dan bau tanah bercampur dengan bau cat memberi suasana baru bagi pasangan muda yang sedang dipenuhi perasaan senang. Bukankah rumah merupakan salah satu tanda keberhasilan perjuangan? Selama dua tahun menumpang antara rumah ibu dan rumah mertua, baik Husnah maupun Husni merasa seperti dipingpong. Semua yang dikerjakan seperti tak pernah mapan, karena semuanya sementara.
    
Kelelahan karena kerja seharian membuat keduanya segera saja jatuh dalam tidur yang lelap. Suasana rumah yang baru dan lingkungan yang masih terasa asing membuat keduanya merasa tak perlu cepat-cepat mengadakan silaturahmi kepada para tetangga. Tampaknya memang belum banyak penghuni kawasan itu, dan sejumlah rumah masih kosong. Hujan yang jatuh sejak siang membuat keduanya enggan ke luar, dan tidur merupakan pekerjaan yang paling tepat dilakukan.
    
Belum sempat memasang ranjang, kasur digelar saja di dalam kamar, berdua tergeletak mirip manusia tanpa nyawa.
    
Begitu nyenyak mereka tertidur. Hujan yang lebat merupakan pelengkap sempurna kenyenyakkan. Hingga hampir subuh mereka sama-sama terbangun karena kaget oleh sesuatu yang ingin menyeruak dengan hebat memasuki kamar.
    
“Air!” Husnah terpekik.
    
“Banjir!” Husni juga terpekik kaget.
    
Kasur mereka ternyata telah mengapung di atas air yang masuk menderu dari pintu.
    
Semua barang yang diletakan di bawah mengapung. Sebentar saja air sudah mencapai lutut.
    
Keduanya berbarengan menengok ke luar, kawasan perumahan ternyata telah berubah bagaikan danau raksasa. Jika saja ada gelombang dan tanpa dihalangi rumah-rumah, mungkin permukaannya akan menyerupai Lautan Indonesia.
    
Itulah asal-muasal pasangan muda itu untuk pertama kalinya berkelahi. Sama saling menyalahkan, mengapa tidak mengerem dulu membayar uang muka, sampai tiba masa banjir tiba.
    
“Tapi kita sudah lihat bersama saat hari hujan,” Husni membenarkan keputusan bersama.
    
“Tapi sebelum banjir di Jakarta,” Husnah memelototkan mata. “Percuma kita buangkan uang berjuta, kalau masih saja tidur di atas banjir, seperti kita di Tambora!”
    
“Kita bisa klim, dan minta uang kembali!” Husni mengajukan pendapat.
    
“Percuma saja. Dalam klausul surat perjanjian ada dikatakan bahwa uang muka tak dapat ditarik kembali jika akad kredit sudah ditandatangani. . . .”
    
Pertengkaran makin seru dan keduanya bersikeras dengan pendapat sendiri-sendiri. Sampai akhirnya Husnah berlari ke dalam hujan memintas banjir, dan pulang ke Jakarta.
    
Beberapa lamanya Husni mematung di depan pintu menatap kepergian istrinya dan banjir yang makin meluap. Rupanya di bagian timur perumahan itu mengalir sebatang sungai yang cukup besar, dan dua cabangnya melingkari kawasan perumahan. Tanggul di bagian hulu bobol oleh derasnya arus banjir, air semuanya melimpah ke areal perumahan. Jadilah perumahan itu kawasan yang mirip sebuah danau buatan! Kalau hanya hujan biasa-biasa saja memang kawasan itu tidak akan banjir, sebab airnya segera mengalir ke dalam kali, akan tetapi jika kali itu tidak lagi mampu menampung curahan hujan yang terlalu banyak, banjir yang hebat akan terjadi. Tanggul penahan banjir itu ternyata tidak mampu menyandang benturan arus banjir.

                                                                        ***

Hampir seharian Husni memberesi barang-barang yang masih berserakan basah oleh air. Hujan yang terus turun membuat cuaca terasa dingin dan hawa panas sama sekali tak ada.
    
Setelah lewat tengah hari Husnah tak juga kembali. Husni hanya bisa memasak supermi dengan cara mengangkat kompor dan tabung gas ke bagian yang lebih tinggi, dan makanan yang seadanya itu dilahap dengan rakus.
    
Hujan masih terus juga tak mau berhenti sampai pukul tiga, Husni sudah kepayahan mebereskan segalanya, juga memikirkan bagaimana keadaan Husnah. Apakah istrinya itu bisa tiba dengan selamat di Jakarta, atau malah nyangsang di perjalanan karena kecelakaan kendaraan atau tersangkut karena banjir. Pertengkaran sudah dilupakannya, yang tersisa hanya rindu. Nanti saja dipikirkan bagaimana mengurus barang-barang yang basah serta lapor kepada developer. Yang utama bagaimana menemukan Husnah. Ia pun mengunci pintu, dan berjalan perlahan dalam banjir yang telah mencapai pinggang. Ia harus berjalan sekitar satu kilometer untuk mencapai jalan raya yang terbebas dari amukan banjir. Bersama beberapa orang warga yang juga akan mengungsi, Husni berjalan sambil menjinjing sepatunya. Celana panjangnya telah basah semuanya, tinggal baju yang ditariknya di atas pinggang. Rasa dingin seperti menggigit, terutama karena guyuran hujan yang makin deras. Payung yang melindungi kepala seperti mau robek oleh jatuhan butiran hujan.
    
Saat ia tiba di mulut jambatan yang memisahkan kawasan perumahan dengan jalan raya, beberapa orang sudah berkerumun di kedua ujung jembatan itu. Tak ada orang yang berani menyeberang karena jembatan itu telah kebanjiran, dan air sudah mencapai batas hampir satu meter di atas permukaan jembatan. Air menderu-deru dan kadang kala ada kampar kayu yang hanyut atau pohon-pohon yang tercabur oleh banjir karena tanah di tebing sungai jadi longsor.
    
“Hati-hati kalau nekat nyeberang,” seorang lelaki tua berkata pada Husni. “Arus deras sekali.”
    
“Tapi aku harus ke Jakarta,” Husni merasa sangat menyesal  mengapa harus bertengkar dengan istrinya. Ia ingin minta maaf pada Husnah atas kejadian subuh tadi agar tak terulang lagi. Bukankah mereka berdua tidak ada yang bersalah, mereka hanya korban dari pilihan yang salah. Pada saat itu juga Husnah merasa menyesal mengapa ia keburu nafsu ngambek meninggalkan suaminya yang justru sedang capai mengurus barang-barang yang basah. Mengapa ia jadi begitu tega meninggalkan Husni sendiri? Ibunya pun menyesalkan mengapa Husnah  pergi sendiri.
    
“Kamu harus pulang segera,” ibunya berkata pada Husnah. “Bawa adik Husni. . . .”
    
Husnah pun segera pergi ke rumah mertuanya. Jika ada adik Husni tentu dapat membantu membereskan barang-barang yang kebasahan. Pada saat Husni sedang menyeberang jembatan yang kebanjiran, saat itu juga Husnah sedang menyeberang jembatan yang juga kebanjiran. Kali Blombongan yang deras dan sedang banjir, tampak mengamuk, namun Husnah harus tiba di rumah mertuanya dan membawa iparnya ke rumah mereka yang baru. Beberapa orang yang berada di ujung jembatan mengingatkan Husnah agar hati-hati, dan seorang yang agak tua justru minta dibimbing Husnah.
    
Pada saat orang-orang yang berada di jembatan yang diseberangi Husni berteriak karena melihat Husni ditabrak kampar kayu yang hanyut dari hulu, saat itu pula para pelintas Kali Blombongan di Tambora berteriak saat melihat Husnah dan seorang wanita tua sedang berjuang di tengah arus sungai yang menggelombang deras. Permukaan air yang hampir semeter di atas permukaan jembatan, membuat kedua penyeberang itu doyong ke hilir dan beberapa detik kemudian tampak kibaran rambut dan kain mereka hanyut bersama arus yang menderu. Hanya sekali warga yang berjubel di ujung jembatan melihat kepala salah seorang menyembul, sesudah itu tak tampak lagi. Pada saat yang sama para pengungsi berteriak karena Husni terlibas kampar dan hanyut tak muncul-muncul lagi. Beberapa orang berusaha melakukan pertolongan dengan mengejar ke arah hilir, tapi sia-sia. Arus begitu deras dengan banjir yang makin dalam, sementara hujan terus mengucur dari langit.
    
Hari hempir gelap dan hujan menambah cepatnya malam tiba. Ibu Husnah berharap anaknya sudah tiba di rumah mertuanya, sementara adik Husni sudah menyusul ke rumah kakaknya ingin tahu apakah kawasan perumahan yang dipilih kakaknya bebas dari banjir.
    
Ibu Husni menyumpahi banjir, seperti juga ibu Husnah. Ayah Husni sesaat menatap langit, sementara dalam saat yang bersamaan ayah Husnah juga menatap langit.
    
Di kejauhan hanya ada warna gelap. Dalam mata kedua lelaki yang sudah agak tua itu  hanya ada warna gelap. Udara basah dan curahan hujan makin lebat.
    
Orang-orang di pinggiran jembatan Kali Blombongan dan jembatan perumahan baru masih juga terpaku atas kejadian barusan. Mereka seperti disihir mimpi buruk.
    
Hujan makin deras dan banjir di mana-mana. . . .
    
“Semoga anakku selamat.” Ibu Husnah berkata sendiri seperti berkata kepada hujan. “Semoga Husni dan Husnah tak kebanjiran,” ibu Husni berkata kepada banjir yang menggenangi di dalam rumahnya. “Bosan aku hidup di dalam banjir begini. . . .”
    
Jakarta banjir di mana-mana. . . .

                                                                                                  
Jakarta, 13 Februari 1996
(Pro Jamal D. Rahman dan Dimas Arika Miharja)



Biodata Korrie Layun Rampan


Korrie Layun Rampan lahir di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953—meninggal 19 November 2015. Selama kuliah di Jogjakarta –dalam bidang ekonomi keuangan, publisistik, dan hukum sampai S2—bergabung dengan Persada  Studi Klub—sebuah klub sastra--yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Di dalam grup ini telah lahir sejumlah sastrawan ternama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi, R.S. Rudhatan, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Suminto A. Sayuti, Mustofa W. Hasyim, Naning Indratni, Sri Setya Rahayu Suhardi, Slamet Riyadi, Slamet Kuntohaditomo, B. Priyono Sudiono, Sutirman Eka Ardhana, Saiff Bakham, Agus Dermawan T., Yudhistira ANM Massardi, Darwis Khudori, Jabrohim, Sujarwanto, Gunoto Saparie, Yoko S. Passandaran, dan lain-lain.

Sejak 1978 bekerja di Jakarta sebagai wartawan dan editor buku untuk sejumlah  penerbit. Pernah beberapa tahun  menyiar di RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta, mengajar, dan terakhir menjabat Direktur Keuangan merangkap Redaktur Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sentawar Pos yang terbit di Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Sendawar di Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Dalam Pemilu 2004 ia sempat duduk beberapa bulan sebagai anggota Panwaslu dan kemudian mengundurkan diri karena mengikuti pencalegan. Dalam Pemilu Legislatif itu ia dipercayai konstituen  untuk duduk di DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009, dan sempat menjabat Ketua Komisi I.

Telah menulis sekitar 300 judul buku sastra, meliputi novel, kumpulan cerita pendek, kumpulan puisi, esai, dan kritik sastra. Novelnya Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya  mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Tahun 2004 ia mendapat anugerah Kaltim Post Award 2004 dan tahun 2006 ia memperoleh Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia atas dedikasi, kreativitas, prestasi, inovasi, kontinyuitas, dan kesetiaannya dalam bidang sastra selama lebih dari tiga puluh tahun. Tanggal 10 Februari  2009 ia dianugerahi Hadiah Pelopor Sastra Kalimantan Timur dari Pemerintah Kota Balikpapan. Tahun 2010 mendapat hadiah Citra Darma Pustaloka dari Badan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Sampai 21 Januari 2012 ia telah menerima 16 hadiah secara nasional.

Ia juga menulis sekitar 100 judul buku cerita anak-anak, di antaranya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud/Depdiknas yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997). Sejumlah bukunya dijadikan bacaan utama dan referensi di tingkat SD, SLTP, SMU, dan perguruan tinggi. Ia juga menerjemahkan sekitar 100 judul buku cerita anak-anak dan puluhan  judul cerita pendek dari para cerpenis dunia seperti Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O’Henry, Luigi Pirandello, dan lain-lain. 

Sejumlah karyanya telah dipilih untuk puluhan antologi karya sastra terkemuka seperti Laut Biru Langit Biru (ed. Ajip Rosidi, 1977), Antologi Cerpen dan Esai (ed. Pamusuk Eneste, 1983), Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (ed. Korrie Layun Rampan, 1985), Cerita Pendek Indonesia 4 (ed. Satyagraha Hoerip, 1986), Tonggak 4 (ed. Linus Suryadi AG, 1987), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (ed. Suratman Markasan, DBP Kuala Lumpur, Malaysia, 1991), Antologi Puisi Indonesia 1997 (ed. Slamet Sukirnanto, dkk., 1997), Jakarta dalam Puisi Mutakhir  (ed. Korrie Layun Rampan, dkk.,  2000), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (ed. E.U. Kratz, 2000), Dari Fansuri ke Handayani (ed. Taufiq Ismail, dkk., 2001), Horison Sastra Indonesia 2 Kitab Cerita Pendek (ed. Taufiq Ismail, dkk. 2002), Pembisik (ed. Ahmadun Yosi Herfanda, 2002), Dua Kelamin bagi Midin (ed. Seno Gumira Ajidarma, Kompas, 2003), Bingkisan Petir (ed. Korrie Layun Rampan, 2005), Tujuh (ed. Ita Dian Novita, 2005), dan lain-lain.

Ia sering menjadi juri dalam berbagai lomba penulisan, di antaranya tahun 1999 dan 2000 menjadi ketua juri penulisan sinopsis dan resensi buku di Klub Perpustakaan Indonesia (KPI) dan lomba penulisan buku bacaan Pusat Perbukuan, Depdiknas, Jakarta.

Di antara kumpulan puisinya yang sudah diterbitkan adalah: Matahari Pingsan di Ubun-ubun, Cermin Sang Waktu, Alibi, Mata, Sawan, Putih! Putih! Putih! (bersama Gunoto Saparie—cetak ulang ke-2, 2008), Nyanyian Kekasih, Nyanyian Ibadah,  Undangan Sahabat Rohani, dan Upacara Bulan. Sejumlah puisinya disertakan dalam antologi puisi bersama: Bulaksumur Malioboro (ed. Halim HD, 1975), Tonggak IV (ed. Linus Suryadi AG), Dermaga II (1975), Bandarmasih  (1975), Dari Negeri Poci 2 (ed. F. Rahardi, 1994), Trotoar  (ed. Ayid Suyitno PS dkk., 1996),  Antologi Puisi Indonesia 1997 (ed. Slamet Sukirnanto dkk., 1997), Jakarta dalam Puisi Mutakhir (ed. Korrie Layun Rampan, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Slamet Rahardjo Rais, 2000), Resonansi Indonesia (ed. Ahmadun Yosi Herfanda, 2000), Nyanyian Integrasi Bangsa (ed. Korrie Layun Rampan, 2000), Samarinda Kota Tercinta (2007). 

0 comments: