Tuesday, December 18, 2018

SELAT BOSPHORUS, Sebuah Cerpen Ewin Adhia


Tahun 1998 adalah tahun yang sulit. Sering hanya acar tomat yang menemani nasi di piringku. Atau terasi yang kubikin penyedap rasa nasi gorengku. Usia terasiku berusia  setahun lebih. Tersisa di kotak bekal karena aku tak pernah suka. Saat krismon melanda, terasi dan minyak panas adalah sahabat nasi. Bawang bombai pernah ikut  sobatan  saat seseorang menyelipkan puluhan pound di saku celanaku sepulang shalat subuh di Masjid Rab’ah.
Aku lebih sering bikin cacapan asam untuk menemani nasi. Sejak ikan asin terhitung barang impor yang mewah, cacapan asam itu langsung kucampur nasi. Akan tetapi, kemiskinan  tidak sedikitpun membuat sedih.
Tahun itu juga aku mengenal keluarga Oslo dan keluarga Batur, dua keluarga Turki yang membuat kemiskinan tidak terasa. Batur sering datang membawa beras beserta makaroni, ayam, telur, suguk, burger, sayuran dan apa saja yang disukai mahasiswa Indonesia. Batur tak hanya membawa berkah bagiku tapi juga teman-teman seapartemenku. Adapun keluarga Oslo adalah tempatku merasakan kehangatan keluarga—malas-malasan di sofa sambil membaca, main monopoli, nonton TV, makan siang atau malam dalam menu Turki rumahan, atau sekedar bercanda tawa dengan kedua gadis Oslo.
Suasana rumahan yang menyenangkan itu terus berlanjut walaupun salah satu gadis Oslo kembali ke Negaranya.
Keadaan mulai rumit saat Anas Oslo memintaku ke Istanbul untuk diajarinya berdagang—lebih tepatnya menyelundupkan dagangan Anas dari Istanbul ke Kairo.
Dagangan itu sangatlah indah, tipis dan ringan—lebih kecil dari korek api bila dilipat. Seransel dagangan itu akan bernilai ratusan dolar yang akan menjadi ribuan dolar bila dijual di Kairo.
Aku selalu tinggal beberapa hari di Istanbul atau Bursa menemaninya belanja. Kadang bertiga Janan, kadang hanya berdua Anas atau berdua Janan. Kemudian aku dan Anas kembali terbang ke Kairo, membagikan jilbab-jilbab sutra itu di toko-toko Abbasiyyah, Heliopolis, Mohandessen sampai Alexandria, dan Mansoura. Kemudian aku serius belajar sampai saatnya memunguti tagihan lalu terbang lagi ke Istanbul.
Cerita ini terjadi pada kedatanganku ke tiga. Aku berdiri di atas Bosphorus membelakangi Haigha Sophia dan Mesjid Biru, memandangi Kiz Kulesi dari pelatarannya. Maiden Tower, Arcla, Little Castle, Menara perawan dalam bahasaku sendiri. Menurutku nama itu sangat mewakili keindahan dan kesunyian tempat ini—dulu aku mengira tempat ini hanyalah gazebo cantik yang dibangun di atas karang di tengah Bosphorus.
Sehabis sembahyang Magrib di Masjid Ortakoy aku ditawari ke sini oleh pemilik kapal yang sembahyang Magrib bersamaku.
Ternyata tempat ini adalah bangunan abad pertengahan dari batu yang seperempatnya dibikin tiga tingkat, membuatnya terlihat bagai menara. Dan aku menelpon Janan agar menyusulku ke sini.
Buyrun efendim. Onluk Dakika.” Dia menjawab dengan suara agak paraunya yang seksi dan penuh—Seperti bila kau minum vegeta. Kalimat itu secara harfiah berarti “Baiklah tuanku, 10 menit lagi.” Tapi saat itu terdengar dari mulut Janan, aku mengira diriku adalah Sulaiman Alqanuni karena dia hampir selalu mengucapkan “efendim” dengan sedikit anggukan dan tatapan menyerah, dan caranya mengucapkan Ü mengharuskanku membuang muka karena pernah membuat insomnia. 
Aku memutar tubuh membelakangi Kiz Kulesi. Matahari tenggelam sepenuhnya di laut Marmara. Yang tersisa darinya hanya langit kemerahan di atas Haigha Sophia. Lampu-lampu sorot membuatnya terkesan agung. Masjid biru di sebelahnya tampak cemerlang, gagah dan rupawan.
Kupandangi lautan yang gelap. Lampu-lampu di sekitar Bosphorus tampak menari di dalamnya. Sekilas yang mengalir di selat itu bukanlah air tetapi minyak, karena tarian lampu-lampu bergerak lambat.
Kapal-kapal kecil yang singgah dan pergi, tak satupun terlepas dari perhatianku. Sebenarnya aku menyesal menelpon Janan. Terus terang aku merasa salah tiap  hanya berdua dengannya. Kondisi seperti ini hanya terjadi bila kau sangat  sadar akan berbuat dosa namun sukarela larut di dalamnya. Mungkin dosa itu hanyalah tatapan tetapi dosa adalah dosa. Bila jantungku diukur dengan seismometer dan degup jantungku saat memandangnya sama banyak dengan dosaku, entah berapa meter kertas yang keluar dari alat pencatat getaran itu. Dan aku menyerah dalam zona persahabatan yang makin kacau ini.
Kumasukkan tangan ke saku jaket. Adidas. Berwarna biru dengan 2 strip putih di bagian lengan. Sebuah perahu lain mendekat, kuperiksa hpku, itu Janan. Dia sangat presisi dalam urusan waktu. Mungkin semua orang Turki begitu. Mungkin semua bangsa kecuali Banjar yang terbawa-bawa kebiasaan Indonesia.
Itu dia! Aku menjerit di dalam hati. Janan melambai ceria. Bila tidak dipegangi ibu-ibu di sebelahku, mungkin aku sudah tercebur dalam Bosphorus saking senangnya—saat itu sepatuku sudah keluar setengah dari pelataran Kiz kulesi.
“Andunisi!” Jeritnya setelah perahunya merapat sempurna, dia melompat dengan tangan terpentang. Tidak seperti keluarga Batur yang syari’, gadis-gadis Oslo sangatlah liberal. Seperti biasa aku menyambutnya serba salah untuk kemudian menyentuhkan pipiku pada pipinya.
 “Dalam rangka apa mengundangku ke sini?” Tanyanya dengan senyuman lebar, tempat ini hilang indahnya demi senyuman itu.
“Aku…,” seperti biasa aku gagap bila bersamanya. Sebenarnya karena aku baru tahu ini restoran tapi…, apa salahnya makan bersama?
“Kamu ingin melamarku?” Dia menyelaku tanpa merasa bersalah. Seolah itu bukan sesuatu yang mengubah garis hidup seorang pemuda dan parahnya aku tak pernah berfikir sejauh itu. Umurku baru 21 dan dia 18-an.
, “…aku punya versiku sendiri tentang Kiz Kulesi yang ingin kuceritakan padamu.” Akhirnya aku berkesempatan meneruskan kalimatku tadi.
“Ceritakan!” Katanya cepat.
“Mungkin sambil duduk.”
“Andunisi!” Dia berseru gembira lalu memeluk lenganku. Janan kemudian berjalan riang seperti gadis bertudung merah yang belum tahu neneknya sudah dimakan serigala.
Kami melangkah menuju restoran dan aku kesulitan berjalan karena dia menyandari bahuku sambil melangkah. Setelah melewati pintu restoran, kami terpaku melihat meja-meja di sana terisi penuh. Pelayan menyilakan kami naik ke lantai dua dan menunjukkan meja pesananku. Meja-meja di lantai dua lebih personal, menjanjikan kami sedikit privasi.
Suara langkah kami teredam karpet tebal. Lantai dari kayu ini adalah konstruksi tambahan di samping ruangan yang terlihat seperti menara.
“Ceritakan versimu!” Katanya setelah duduk.
Aku terdiam. Aku selalu butuh waktu mengagumi bibirnya yang seperti pulau di tengah lautan—pulau kecil yang dilihat dari kejauhan dan lautan tenang seperti yang mengitari Angsana, Derawan dan Raja Ampat. “Begini,” kataku setelah berhasil mendamaikan jantungku, “waktu Benua Atlantis belum tenggelam—,” Janan menyelaku dengan mengangkat lima jarinya, “Ini tentang Kiz kulesi, kan?” 
Aku mengangguk, Janan tidak menurunkan tangan, hanya mengerutkan kening, menatapku tajam hingga menembus mata dan menyelidiki isi otakku.
“Terlalu jau… terlalu ngga nyambung.” Dia menggeleng setelah berpikir beberapa menit.
“Biar kuteruskan….” Protesku.
“…biar aku yang meneruskan.” Katanya. “Arcla didirikan pada abad lebih baru. Waktu itu yang tersisa dari Atlantis hanyalah sebuah pulau,” Janan seperti berfikir keras, “…Borneo, pulau itu namanya Borneo. Rajanya sangat berambisi meluaskan kekuasaan sampai Aegea, Mediterania dan Marmara.” Aku mengangkat alis, Janan terus bicara, “dia pemalu tapi kejam. Sparta dibumihanguskan dalam tiga hari, Troya—Priam dicincangnya, Hector tumpas lebih dulu dengan satu lemparan lembing dan Athena rata dengan tanah.”
“Siapa nama raja itu?” Tanyaku antara penasaran dan ingin tertawa melihatnya mengada-ada penuh semangat.
“Namanya tidak penting. Raja itu menaklukkan Anatolia dan merampas putri tercantiknya, nama putri itu…,”
“Jeanett.” Aku menyela, “bentuk singular dari Janan dalam bahasa Arab.” kutekankan penamaan itu dengan pandangan mengintimidasi.
“Jeanet.” Janan menyerah dan tertawa kecil, “gadis yang kecantikannya membuat surga menjadi murung.”  
“Dan Jeanet membuatku lapar karena ceritanya.” Timpalku.
Janan tertawa, memanggil pelayan lalu berceloteh dalam bahasa Turki dengannya. Pelayan minta diri, kami kembali berdebat tentang akhir cerita itu dan berakhir dengan….
“Kenapa Jeanet harus mati dipatuk ular?”  Bibir Janan melipat menyesali penutup karangannya sendiri.
“Kalau begitu, dengarkan versiku.” Jawabku,  aku memeras otak mencari sambungan ceritanya. “Raja tanpa nama itu mengurung Jeanet di menara ini hanya sementara menyelesaikan istana baginya di Borneo.”
“Raja itu bukannya tanpa nama tapi jelek. Terdengar seperti kimia terlarang di telingaku.” Sahutnya, “Kamu tahu, Anatolia yang kalah meminta bantuan dari Sardinia untuk menyerang balik Borneo.”
“Dan cintanya pada Putri Anatolia membuat Borneo tumpas.” Aku berkata pasrah.
“Raja itu pengecut dan peragu.” Timpal Janan.
“Lengkap. Pendiam, pengecut dan peragu. Sama sekali bukan raja.”
“Bukan Raja, mungkin hanya pecinta.”
Kami terdiam, aku berdiri meninggalkan meja, berhenti pada jendela yang menghadap Eropa, memandang kosong pada lampu-lampu Kabatas. Janan memandang hampa ke arah Sacak lewat jendela yang menghadap Asia.
Yemek hazir. Madam, efendimiz.” Pelayan memecah kebisuan, di tangannya ada sebuah bokor penuh bola-bola berduri yang membuat kami kembali duduk. Janan tersenyum-senyum menatapku dan aku mengimbanginya.
Di samping bokor itu ada semangkuk sup sangat kental dan sepiring kecil udang rebus.
“Apa…,” aku ingin bertanya tapi digagalkan Janan dengan tatapannya. Dia melindungi tangannya dengan serbet lalu hati-hati memungut sebutir bola berduri, membuka bagian atas yang rupanya sudah dipotong lalu mengisinya dengan sup kental.
“Yang ini lentera Aristoteles.” Katanya, sesuatu berpindah dari sendok di tangannya ke mulutku, gurih yang ganjil, pedas dan berkrim. “Yang ini caviar landak laut.”
Janan tertawa-tawa melihat ekspresiku mencicipi menu pilihannya. Dia sendiri memasukkan beberapa potong udang dalam cangkang yang berisi krim itu lalu memakannya.
Kejadian itu berulang, dia mengambil landak laut baru, membuka, memasukkan jeroannya ke mulutku setelah menambahkan sup dan udang rebus ke mulutnya.


Bagi yang berminat menikmati cerita-cerita lainnya dari penulis ini, silakan baca langsung buku  Dari Warung Jablai ke Selat Bosphorus (klik judul)


0 comments: