SANGGARATU

 

Waktu berlari sangat cepat, tahu-tahu tanggal 1 Nanti sudah UAS (Ulangan Akhir Semester). Anak-anak harus melunasi semua pembayaran dan administrasi keungan madrasah. Harus lunas SOM sampai bulan Desember, Lunas LKS, Lunas Study Tour dan semua administrasi lainnya yang belum tebayarkan.

Lama tak pernah membuka kontak dengan dunia luar kurang lebih 20-an tahun, aku menemukan kontak Banyu via temanku yang reuni di kampus. Mereka saling ketemu dan menanyakan namaku dan kemudian memberikan nomorku ke Banyu.

Hape berdering ada sms. Aku buka sms dari Dedy.

            “Minggu depan aku ada proyek ke Solo!”

            “Ya kalau ada waktu mangga pinarak, mampir!”

            “Ya, nanti aku ada acara ke rumah budaya, kau bisa ke sana temui!”

            “Baik!”

            “Acara apa!”

            “Biasa dengan teman-teman!”

            “Baca puisi?”

            “Iya nih teman-teman pada ngumpul aku diundang di kampus!”

            “Iya nanti kalau aku ada waktu ikut kumpul-kumpul!”

Siang itu aku meluncur ke Wisma Seni. Biasaya mereka tongkrongan di sana, bersama seluruh teman-teman Dedy se Indonesia. Aku Cuma menemui sebentar siang itu saja. Aku hanya bawakan oleh oleh buah buahan dan nasi catringan untuk teman-temannya sekampus dulu. Aku jadi ingat semua kenangan manis dengan Banyu di kampus. Aku memang sengaja mencari duku itu buah manis kesukaan Eddy Banyu Biru.

Oh ya disamping jus jambu dan sari kacang ijo itu juga kesukaannya Banyu.

            “Ikut sampai nanti malam ‘kan ada acara baca puisi dengan teman-teman lama di kampus!”

            Gak, aku gak ikut maaf!”

            “Iya gak papa, makasih loh dah repot bawakan macem macem gini!”

            “Gpp kebetulan lewat toko buah tadi!”

            “Kau banyak berubah Da, pakaianmu, dan semua tentangmu?”

            “Alhamdulillah harus lebih baik ‘kan!”

            “Iya, kau juga sudah haji juga, jadi Bu Hajjah!”

            “Aku minta maaf!”

            “Maaf apa?”

            “Tak perlu yang harus dimaafkan!”

            “Semua sudah takdir gadha dan qadar Allah, Ded, kalau Banyu harus pergi selamanya dariku, tinggal merawat kebaikan ‘kan, kita sudah tua, mau mikir apa lagi toh kita tinggal menyiapkan bekal kepulangan kita ke akhirat kelak, ‘kan!”

            “Iya, semoga kau sehat panjang umur, Ded!”

            Maturnuwun!”

            “Amin, semoga dirimu juga Da!”

            “Ya sabar saja Da, terus berkarya dan suka baca novel  dan disesali, semua sudah takdir jodoh  rejeki dan mati sudah diatur masing masing menempuh waktu dan jalan masing- masing!”

            “Makasih, Ded!”

            “Bukankah hidup ini penuh dengan keindahan dan keajaiban!?”

            “Aku tak sanggup menyakitimu, waktu itu!”

            “Tak apa!”

            “Dan sampai kapan pun aku takut menyakiti hati perempuan!”

            “Iya makasih!”

            “Kau sudah lama kuanggap teman, sahabat dan kakak!”

            “Itu lebih menenangkan dan menentramkan, tak ada rasa cemburu tak ada rasa saling memiliki!”

Begitu cepat pertemuan itu dan singkat di kantin wisma seni Solo. Yang sedang ramai karena ada acara puisi seluruh Indonesia. Banyak sekali teman disana tetapi aku tak mengenal mereka. Mereka mungkin teman-temannya Banyu. Cepat kemudian aku meninggalkan kantin. Dan kulihat seorang perempuan menghampiri Banyu, biasa mungkin teman atau bahkan mungkin istrinya aku sudah berlalu masuk ke dalam mobil.

Keesokannya aku mengirim sopir untuk membawakan nasi katring untuk teman-temannya di wisma dan acaranya di Kampus. Kata teman-teman yang lain sukses acaranya. Aku ikut senang, semua datang semua teman memberi support seperti reunian kembali.

Jangan sekali sekali menolak cowok. Bisa-bisa kualat dan bisa jadi itu cinta sejatimu. Hahaa aku tertawa sendiri. Yang datang seringkali yang membutuhkan cinta dan membutuhkan kita, bukan. Aku menolak dua cowok yang dengan alasan picik bukan tipeku. Dan hidup memang serangkaian pilihan-pilihan. Dan aku harus mengambil keputusan. Ya saat yang tepat untuk mengambil keputusan yang tepat, butuh renungan yang dalam agar kita tak menyesal di akhir nanti.

Dan menyesalkah aku dengan keputusanku menolak lelaki yang dulu datang tidak tepat waktu, melamarku dan mengajakku ke pelaminan saat aku genting gentingnya menyelesaikan kuliahku. Aku sudah di ujung tanduk sebentar lagi aku sarjana. Perjalanan sudah sedemikian panjang aku kuliah di Solo. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu dan perjuangan.

            “Mas, maafkan aku!”

            “Kau ‘kan masih bisa melanjutkan kuliah setelah mariede!”

            Please menikahlah denganku!”

Aku tidak bisa,  aku masih ingin mendengarkan hatiku berkata  kata dengan hatiku sendiri,  kayaknya enggak-lah kau pilihan dan style-ku.

Dan aku sudah punya pilihan sendiri. Aku punya style sendiri, yang membuat hubungan cocok dan nyaman. Dan aku memilih Banyu, mengapa Bukan Banyu yang mengucapkan : “Please married me!”

Tapi hidup sudah diatur Tuhan. Hidup manusia sangat tergantung pada qadha dan qadar-Nya. Sesaat setelah kehilangan Banyu memang cukup membuat stress dan Banyu pun menghilang. Berlari lari kucari Berlarut larut kumerajuk. Sampai habis air mataku. Hingga kumasih menunggu, berharap kau datang. Meski kutahu kau tak mengerti apa yang sebenarnya kumau. Perlahan-lahan kau menghilang, terbayang bayang kau datang. Berlarut kau merajuk, berlarut larut kumerindu sampai habis air mataku. Lagu Novita pemenang X Factor ini selalu menemani perjalananku kehilangan Banyu.

Tetapi  mungkin aku mencari ceruk yang paling dalam hatiku aku ajak dialog siapa dan apa yang aku cari. Siapa cinta sejati, yang jelas yang tidak aku kehendaki  bukan jodohku, aku merasa tidak cocok. Lagi-lagi aku menolak cinta laki-laki lagi. Hanya untuk memenangkan pilihanku aku mengalahkan pilihan-pilihan Ibu, bapakku dan suadara-saudaraku lagi.

            “Cukup Da, jangan suka nolak cowok cowok terus, gak bagus sebagai gadis kau sudah berumur, cukup berumur loh, siapa pilihanmu segera tentukan, kalau kau banyak menolak lelaki pemali tahu!” kata Mbak Murti yang cerewet itu menasihatiku.

Bukankah kita harus menyayangi orang lain seperti kita menyayangi diri sendiri?  Dan Kasih sayang itu hanya tumbuh dan keluar dari jiwa dan hati yang bersih dan bening. Jauh dari keangkaraan dan keambisian serta karena pamrih pamrih tertentu. Namun Murni karena kebaikan itu sendiri atau karena dari dalamnya hati yang ikhlas.

Menghilangnya Banyu membuat perubahan drastis dalam hidupku. Aku sudah jarang lagi menulis puisi dan cerita. Seolah Banyu sebagai tokoh utamaku sudah tamat. Tak ada cerita yang menarik lagi yang perlu kutulis. Meski aku ingat betul pesannya. Tapi semua tentangnya sudah kubuang, bahkan memori pun sudah hilang. Aku tak mengenangnya lagi. Aku hidup normal seperti perempuan lainya punya rumah tangga, melahirkan dan punya anak. Merawat dan menjadi Ibu. Hidupku sudah selesai, tak harus kumulai lagi dan buka lagi lembaran lama, buku lama sudah harus kututup. Aku betul betul move on.

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Mengikuti Air Mengalir, Menembus Batas.

0 comments: