MENGIKUTI AIR MENGALIR, MENEMBUS BATAS


Begitulah mengikuti arus, apa yang sedang mengarus. Mengarus mengalir. Mengikuti air mengalir. Tidak capek. Mengalir, menuruti arus. Manut ilening banyu. 

Begitulah saat mana harus mengalir mengalir, saat harus mandeg ya mandeg. Bagaimana membuat hidup lebih hidup. Apalagi menghadapi dunia yang penuh arus ini bisa klerut, bisa hanyut kalau kita tak punya pilihan dan kepribadian. Ramai-ramai bagaimana mengikuti kenaikan pangkat. Pagi yang mendung tapi tak semendung hati kita.

            “Sekarang ini kita di era internet jadi apa apa serba otomatis, semua data harus via on line!”

            “Wah sekarang kok rekasa, susah teman yak!”

            “Semua bisa dikerjakan!”

            “Semua pekerjaan bisa dilakukan!Danon line bisa mempercepat input data”

            “Kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah, wkwkwk!’ kelakar temanku yang satu kantor menghadapi situasi kondisi yang sekarang ini.

Bayangan-bayangan itu Muncul, terkadang menjadi semangat yang menyala. Bagaimanapun aku lebih suka menjadi perempuan yang mandiri, dapat memilih pilihan-pilihan sendiri dan mampu bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri. Begitu juga yang kuterapkan pada anak-anakku sekarang yang sudah beranjak dewasa semua. Ryasa sudah lulus dari kuliahnya. Aku selalu tanamkan agar dia mampu menjadi perempuan dewasa yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan bertanggungjawab terhadap keputusan keputusan penting yang akan dan telah dilakukannya. Aku tidak suka perempuan yang tergantung. Meskipun kita punya suami tetapi keputusan dan memutuskan harus dengan benar dan pertimbangan masak-masak agar tak menyesal di kemudian, hari.

Begitu tegar begitu kuat. Setegar karang, sekeras baja. Begitu halus selembut kapas. Itulah sikap yang harus diambil Maulida atau Dida, umi dari 4 orang anak. Menjalani hari hari yang ‘tak mudah. Menghadapi hari hari yang tak pasti.

            “Umi tak suka perempuan cengeng!” kata Maulida  kepada anak gadisnya Ryasa, yang sekarang sudah menapaki bangku kuliah. Begitulah ketegaran hidupnya melawan keterbatasan dan kekurangan. Melawan nasibnya yang kurang beruntung perkawinannya. Antara keberuntungan atau ketololan perkawinannya. Atau kebodohannya barangkali. Kebetulankah atau kebodohankah? Mungkin iya atau mungkin tidak.

         “Hanya pada diriku sendiri aku bergantung!” ya hanya aku yang bisa menyelesaikan permasalahanku sendiri bukannya orang lain. Angin berhembus di antaraMusim semi. Bunga-bunga ceplok piring sedang bermekaran diMusim semi di kota kecil di rumahnya. Dida menerawang jauh ke depan. Sepanjang bukit tumbuh pohon rambutan  di kaki gunung Lawu dan Merapi. Menerawang jauh di luar musim, yang dimukimi sekarang.

        “Mi, Bariq minta uang buat PPL pembayaran paling akhir bulan ini loh Mi!” anak keduanya sudah berkali-kali mengingatkan dead line pembayaran PPL-nya.

            “Fathan juga, Mi, belum bayar uang study tour!”

            “Iya nanti Umi carikan pinjaman koperasi dulu ya ini Umi juga masih usaha!”

        “Ayun juga Mi besok dah harus bayar uang semester!” kata anaku perempuan yang mengambil Kedokteran.

Alhamdulillah aku bersyukur pada anak anakku tak ada yang mengambil seni atau sastra. Aku tak ingin mereka rekasa dan menderita. Umi tak ingin melihat anak-anaknya sengsara, mereka harus berhasil. Dan umi tak ingin melihat dan bangga anaknya menjadi seniman atau masuk jurusanku. Biarlah uminya yang menderita seperti ini tetapi tidak anak anak aku.

Tak tega melihat anak-anaknya menderita seperti ini karena kesalahan perkawinanya, seolah suaminya  dan ikhlas jalani dalam hidupnya. Ia coba tegar hadapi hari hari seperti sendiri dalam urusan pembiayaan sekolah anaknya. Kalau Faizal suaminya kerja ya bisa bantu sedikit sedikit meringankan beban tanggungjawabnya.

      “Butuh keberanian untuk menyelamatkan dan mengantarkan anak anaknya ke masa depan. !”

Begitu tegar Dida menghadapi badai sedahsyat apapun. MenghadapiMusim dan cuaca seburuk apa pun. Angin menyibak rambut Dida, bunga bunga bunga alina  berguguran diterpa angin.

Waktu seperti datang dari langit, mengecup kening Dida. Kening selembut bulan yang sedang menunggu tanggal satu, seperti selengkung perahu di wajahnya yang luas dan bundar. Bunga-bunga alina berguguran di mata Dida.

Menerawang jauh ke masa anak-anaknya yang tengah berjuang untuk mendapatkan pendidikan dan kesempatan untuk mengubah nasib. Ya hanya itu pikirannya dipenuhi bagaimana ia harus menebus kekalahan dan kekonyolan perkawinannya agar anak-anaknya tidak menderita seperti ini. Yaitu agar anak-anaknya dapat lebih baik.

Masa-masa pahit dan sulit seperti saat anak-anak butuh biaya kuliahnya harus ia perjuangkan tak peduli apa pun ia akan lakukan. Kelembutan hati dan kekerasan jiwanya sebagai ibu teruji dan tertantang.

         “Bi. kalau Abi gak kerja seperti ini anak-anak gimana, Abi?”

Abi Faizal suaminya tak seperti laki-laki ayah pada umumnya.  Abi suka menyerah dan tidak mau berjuang sekuat tenaga memberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya anak anakku. Faiz tipikal orang yang memang tidak keras dalam usaha, bagaimana caranya untuk menyelamatkan endiikan anaknya dengan cari pinjaman atau cari utangan kalau perlu gali lobang tutup lubang. Itu tak mau dilakukan suamiku. Suamiku sangat standar tidak se-gambling aku dalam mencari peluang dan masa depan anak anakku.

Sudah beberapa bulan hampir setahun ini abi, suaminya off kerja. Proyeknya lagi off. Tidak ada pekerja. Hari-hari hanya pergi pengajian ke pengajian. Hari hari dihantui kecemasan dan ketakutan. Suami jika di rumah membuat hati gusar dan tidak tenang. Jelas beban kebutuhan semakin besar ditanggungnya sendiri. Coba kalau dikalkulasi 40 juta Faizal suami Dida berhutang padanya, kalau gaji per bulannya 4 jutaan. Artinya Faizal tidak menafkahi lahir. Faizal lagi lagi memberanikan diri untuk meminjam modal atau meminta mencarikan modal Dida untuk usaha bisnis. Tetapi ternayata Dida  sudah tidak lagi percaya. Modal utama kepercayaan saja sudah dikhianati. Berapa ratus juta uang Dida buat modal usaha suaminya hasilnya nol besar dan tak berhasil.

            “Tidak!

            “Tidak. Bi!

            “Mi…ini sangat menjanjikan!”

            “Please deh Bi, enggak!”

Berapa kali berpuluh-puluh kali suami Dida memohon. Sudah ratusan juta kalau dihitung. Kosong nihil hasilnya. Apa yang bisa diharapkan anak-anak dari abinya, hanya kekecewaan. Hanya serangkaian kepedihan, kecemasan, impian kosong dan angan-angan. Hidup ini real, nyata bukan hanya impian. Sudah habis air mata ini memendam rasa kecewa dan kebahagiaan yang dirasa hanya sepenggal kisah yang sungguh jauh dari imajinasi. Hidup adalah realitas bukan imajinasi.

            “Aku sudah capek Bi!”

            “Lelah, Umi ingin nikmati saja apa adanya, apa yang di depan mata saja Bi!” Gak bayak mimpi-mimpi!”

            “Beri kesempatan lagi, Mi, aku takkan menyia-nyiakan kalian lagi!”

         “Aku sudah beri kesempatan berkali-kali tapi kau gagal membangun usaha, membangun relasi dan komunikasi dengan klien!”

            “Abi…kau gagal, Bi!’

            “Aku tidak akan menyerah Mi!”

            “Aku hanya memikirkan masa depan anak-anak Pi, dengan apa adanya yang kupunya, dan aku tak ingin bermimpi!”

            “Kegagalan hal biasa dalam usaha ‘kan Mi!”

            “Terserah,!”

“Silahkan Abi cari modal sendiri jangan ganggu Umi.  Umi lagi capek!” 

“Lelah…Umi!
      “Modal tidak harus uang ‘kan, Abi bisa pakai modal keahlian dari kuliah modal kepercayaan dari kolega, kenapa Abi gak manfaatin itu Abi!”

Abi Faizal, memang masih belum punya pekerjaan tetap saat itu. Dan pekerjaannya hanya mengaji mengaji dan mengaji. Pergi kemana mana untuk mengaji. Pengajian ke mana pun ia ikuti.

Sejak kegagalan itu Maulida stop tidak mau lagi jatuh bangun, banting stir kiri dan kanan, gali lobang tutup lubang dengan gajinya yang pas-pasan. Maulida tak lagi mencarikan pinjaman bank untuk suaminya. Sementara ke empat anak-anaknya bergantungMurni pada gajinya sebagai guru madrasah tsanawiyah (MTs). Anak-anak sudah sangat kehilangan kebanggaan Ayahnya. Dimata anak-anak kewibawaan suaminya sudah sangat jatuh. Tidak bekerja artinya malapetaka, itu realis, dan nyata.

        Dida hanya memikirkan bagaimana cara agar anak-anak tidak menderita seperti ini karena kekonyolan perkawinannya, kebodohan pernikahannya, agar anak-anaknya berhasil dan bahagia. Ia tak ingin terjadi pada anak-anaknya.

    “Tak ada yang bisa diandalkan selain diriku!” Dida melakukan apa saja untuk menyelamatkan masa depan anak-anaknya. Anak-anaknya harus kuliah. Bukan buat gaya dan kebanggaan. Mengapa tak harus meminta dikagumi dan menjadi kebanggaan. Yang mengagumi Ibu adalah anak-anaknya sendiri.

          “Aku tidak butuh kekaguman dan kebanggaan dari orang lain, seorang Ibu, hanya ingin mendapat kekaguman dan kebanggaan dari anak-anaknya!”

        Tugasnya membesarkan anak-anaknya dengan kemampuannya sendiri. Apa adanya. Meski harus menderita hidup gali lubang tutup lubang.

Semua orang berhak untuk hidup bahagia. Dan memberikan kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaan juga. Semua orang berhak mendapatkan dirinya dan kemampuannya sendiri, berhak untuk dihormati dan dihargai. Menjadi pribadi yang berharga akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Benar-benar sebuah perjalanan panjang yang harus dilalui Dida. Ia tak pernah menanamkan rasa benci atau kebencian pada Ayahnya pada anak-anaknya.

Abi sakit. Tapi karena cinta yang begitu agung itulah yang selalu sanggup menyatukan hati yang lemah, karena cinta-Nya begitu tulus. Justru memperkokoh hatinya untuk belajar menerima ikhlas, sabar dan dewasa mensikapi hidup nyata.

Sesekali Dida menengok suaminya dengan anak-anaknya sakit di waktu anak-anak masih kecil-kecil. Sebagai istri tugas utamanya tak pernah ditinggalkan yaitu mengasuh dan mendidik anak-anaknya, apalagi ia saat itu menjadi Ibu sekaligus Ayah.

Suami sakit. Dengan segala kesakitannya. Batas batas sudah ia tebas dan lalui badai topan pun diterjang. Oleh kekuatan dan sekaligus kelemahlembutannya sebagai perempuan. Begitu ikhlas dan berjiwa besar menerima kenyataan hidupnya. Berlapang dada memaafkan kesalahan diri dan orang lain, adalah obatMujarab untuk mendapatkan kebahagiaan yang paling sederhana. Anak-anaklah yang membuat hatinya kuat. Tanpa kekuatan itu ia pasti tumbang.

Dida masih menikmati sore di saatMusim semi tiba di antara pepohonan alina.  Menerawang jauh, anak-anaknya yang didiknya untuk mandiri dan percaya diri. Menembus awan gelap dan menerjang badai dan ombak untuk sampai pada dermaga tujuan dengan selamat.

Anak-anak sangat sayang pada uminya. Dan selalu bisa menerima dan mengerti keadaaan apapun. Inilah yang sering anak-anak sering mengingatkan kebahagiaanya, untuk tak lupa bahagia.

“Umi sering lupa untuk kebahagiaan sendiri!”kata anak-anaknya.

“Tidak sayang…. Umi sangat bahagia memiliki kalian, memiliki Abi, anak anak super Umi yang membuat hati Umi bangga pada kalian!, dan Umi takkan pernah tinggalkan kalian!”

“Kalianlah yang menguatkan hati Umi, tanpa kalian Umi tak ada apa-apanya!”

          Kebahagiaan seorang ibu manakala anak-anak bisa mengalahkan dirinya. Dapat menjadi anak-anak yang bisa dibanggakan.

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Dunia Terlalu Sempit buat Berduka.

0 comments: