MENDULANG INTAN DI KAMPUNG KARAMUNTING




SATU
Dulu, ketika masih kanak-kanak aku pernah ikut mendulang intan membantu ayahku di Kampung Karamunting.

“Adinda,” ujar ayahku membuka bicara

“Ada apa kakanda?” sahut ibuku manja

“Besok aku membawa serta anak kita bekerja mendulang intan di Kampung Karamunting.”

“Mengapa anak kita harus ikut serta bekerja, kakanda. Bukankah anak kita masih belum cukup umur untuk mengerjakan pekerjaan yang begitu berat?’

“Ya, benar sekali adinda. Aku tahu itu. Tapi ini atas saran malim**. Kata beliau harus ada anak kecil ikut bekerja dalam kelompok kami. Masih kata malim, galuh*** di Kampung Karamunting senang sekali melihat anak kecil.”

“Oh, begitukah, kakanda. Kalau begitu bolehlah. Tapi kakanda harus menjaganya, jangan sampai terjadi apa-apa dengan anak kita.”

“O, itu pasti adinda,”


DUA

Ketika masih di rumah sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan, ayahku sudah memberi wanti-wanti

“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”

“Ya, ayah.”

“Ketika berada di pendulangan intan, anakda jangan sekali-kali bernyanyi apa lagi bersiul.”

“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”

“Menyanyi dan bersiul di pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti
Anggani tidak suka mendengar nyanyian dan siulan.”

“Apa dan siapa mereka berdua itu, yah?”
“Beliau berdua adalah putri raja yang tidak kasat mata keduanya tinggal di Alam Banjuran Purwa Sari. Tugas mereka berdua menaburkan butiran intan mentah ke dalam lubang pendulangan yang digali orang di Kampung Karamunting ini, anakku.”


TIGA

Ketika masih di rumah, Sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan, ayahku sudah memberi wanti-wanti.

“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”

“Ya, ayah.”

“Ketika berada di pendulangan intan anakda jangan sekali-kali berkacak pinggang.”

“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”

“Berkacak pinggang di pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani  tidak suka dengan orang yang berkacak pinggang. Beliau berdua tak mau mendekat apa lagi menaburkan intan ke dalam lubang pendulangan milik orang-orang yang berkacak pinggang. Orang yang suka berkacak pinggang adalah orang sombong, anakku.”


EMPAT

Ketika masih di rumah, sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan, ayahku sudah memberi wanti-wanti.

“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”

“Ya, ayah.”

 “Ketika berada di pendulangan intan anakda jangan sekali-kali menyalakan api.”

“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”

“Menyalakan api di pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani   Sangat takut dengan api, karena mereka berdua diciptakan Tuhan dari api. Jika tubuh keduanya terkena api  maka keduanya akan mati.”


LIMA

Ketika masih di rumah, sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan, ayahku sudah memberi wanti-wanti

“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”

“Ya, ayah.”

“Ketika berada di pendulangan intan anakda jangan sekali-kali membawa ayam.”

“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”

“Membawa ayam ke pendulangan intan pamali, anakku. Konon, Putri Sahanjani dan Siti Anggani  sangat takut dengan ayam, karena ayam adalah monster ganas di alam gaib sana


ENAM

Ketika masih di rumah, sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan, ayahku sudah memberi wanti-wanti

“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”

“Ya, ayah.”

“Ketika berada di pendulangan intan anakda jangan sekali-kali bersin, kentut, buang air kecil, apa lagi buang air besar di lubang pendulangan.”

“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”

“Semuanya itu pamali, anakku.”


TUJUH

Ketika masih di rumah, sebelum membawaku pergi ke pendulangan intan, ayahku sudah memberi wanti-wanti.

“Anakku, dengarlah nasihat ayah.”

“Ya, ayah.”

“Ketika berada di pendulangan intan anakda dilarang keras menyebut kata intan, sebutlah intan dengan kata ganti galuh. Anakda dilarang keras menyebut kata ular, sebutlah ular dengan kata ganti akar. Anakda dilarang keras menyebut kata nasi, sebutlah nasi dengan kata ganti biji.
Anakda dilarang keras menyebut kata pulang, sebutlah pulang dengan kata ganti mara. Anakda dilarang keras menyebut kata hujan, sebutlah hujan dengan kata ganti jatuh. Anakda dilarang keras menyebut kata makan, sebutlah makan dengan kata ganti muat.

“Ya, ayah. Mengapa harus begitu, yah?”

“Semuanya itu pamali, anakku.”

Banjarmasin, tengah malam, 3 Agustus 2010

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: