LANGGAR

Namaku Aulia Maulida Muchidah, panggilanku Dida. Cukup singkat dan keren ternyata teman-teman akrabku waktu di SD dan kampungku memanggilku. Mungkin kesannya sangat nyantri dan pondok, tetapi aku sangat biasa saja seperti anak perempuan dan teman-teman lainnya. Aulia adalah sekumpulan orang yang mulia atau berilmu. Sungguh doa yang indah dari abah dan umiku untuk namaku.

Sebenarnya dari kecil itu aku sangat minderan. Aku sekolah di SD umum dekat kampungku. Kalau sekolah cukup jalan kaki. Dulu jalannya tak sebagus sekarang. Masih banyak telethong sapi dan kerbau para tetangga yang memelihara ternak. Dan kalau sore mereka membakar damen untuk mengusir nyamuk dari tubuh sapi atau kerbaunya.

Minderan karena kekurangsempurnaan yang kupunya. Aku cenderung diam, kalem, meneng sejak SD hingga sekarang. Aku lebih banyak diam. Kalau aku gak setuju pun tidak frontal langsung aku bantah, tidak tapi aku tuangkan dalam tulisan. Aku dulu sangat rajin menulis diary. Hanya itu tempat curhat yang paling aman. Menulis untuk menenangkan diri dan lari dari permasalahan. Aku lebih cenderung menulis dari pada bercerita dan ngobrol. Kecuali dengan teman dekat saja. Jadi, mungkin ini passion aku menulis. Aku tidak bisa terlalu percaya diri jika berbicara dan bercerita. Karena kekurangpedeanku inilah maka hanya diary dan buku-buku catatan harianku temanku bicara. Aku takut tidak ada yang menanggapi.

Sebetulnya kekurangpercayaan diri ini tumbuh karena dulu saudara dan keponakanku banyak dari berbagai kota. Mereka suka mengenyek dan terkadang menghina kulit dan tubuhku yang terkesan dekil dan bukan dari orang kota. Aku sangat ndeso dan terlihat kampungan sekali. Kata orang, aku apa adanya, jarang mikir gimana-gimana bagusnya.  Pakaian sak tememplekke di tubuh, kurang memperhatikan diri gimana bisa nggaya-nggaya dan menjadi yang terbaik. Itu mungkin bukan sifatku. Sifatku yang terlalu cuek, cuek sekali pada penampilan dan tidak suka minta perhatian orang. Aku tidak suka mendapat perhatian orang. Dengan tingkah yang aneh-aneh dengan pakaian yang super aneh, karena aku pemalu. Kurang percaya diri kalau dilihat orang. Di SMP, SMA, di kampus, maupun di kos, juga seperti itu, aku sangat kurang pede. Baru ketika SMP, aku sekolah di umum, juga lanjut sampai tingkat SMA aku belajar di sekolah umum. Tidak banyak dari kampungku yang “mondok” hanya beberapa gelintir anak anak seusiaku saja termasuk saudara-saudaraku, malah banyak yang masih di sekolah umum. Dulu mondok masih hal yang asing. Baru adik-adikku yang kemudian sekolah sambil mondok di pesantren.

Tidak juga terlalu nyantri dan atau seperti anak pondok aku biasa seperti anak anak kampung lainnya. Seperti kakak-kakaku yang lulusan pondok. Bapakku, aku menyebutnya Abah dan ibuku, serta Kakekku mempunyai masjid, penunggu masjid di kampung. Artinya Kakek Mustofa dikenal dengan Mbah Mus Mejid. Karena ada masjid di samping rumah kakekku itu. Dan Kakek lah yang menjadi imam masjid di perkampungan kecil itu.

Waktu Dida kecil aku seperti anak-anak kampung lainnya seperti anak-anak perempuan lainnya harus ngaji dan pergi ke TPA. Anak pak kiai dan Ustaz Wachid di kampungku yang dari Kudus, anak-anaknya pandai semuai dan bisa membaca Al-Quran. Karena mereka mondok. Mereka nyantri di pondok Temboro, ada yang nyantri di Gontor. Ada yang di Jombang. Dan ada yang nyantri di dekat-dekat saja masih di kabupaten sama misalnya di pondok Pilangbangu, Pondok Asakinah, dll. Termasuk  aku bukan termasuk anak anak yang mondok,  aku dulu sering sakit jadi Ibu dan Bapak mungkin tak tega memasukkanku ke pondok. Namun generasi Adikku mulai nyantri pondok Assalam Solo. Mereka kemudian mengambil fakultas di IAIN ada juga yang di UIN. Baru kuliah aku tidak mondok karena kebetulan aku diterima di PT Negeri.

Di kampungku ada sekolah atau pesantren kuno yaitu pondok Al Ma’arif.  Ustaznya Ustaz Wachid namanya.  Pak Ustaz mengajari mengaji dan membaca Al-Quran. Beliau pendatang dari Kudus. Dan menikah dapat orang setempat. Hampir semua anak-anak TPA di kampung belajar mengaji di Ustaz Wachid.

Waktu di Sekolah Dasar aku memang sekolah di sekolah dasar Umum. Cuma kalau sore atau bakda Ashar aku TPA dan bada  Maghrib ikut mengaji di masjid. Kakekku namanya Eyang Sastra Mejid. Panggilan sehari-hari orang-orang kampung memanggil kakekku. Dari kakeklah aku banyak mengetahui cerita-cerita sejarah kotaku.

Masa kecilku sebelum abah dan Ibuku pindah tugas ke kota kecil ini dulu aku di Semarang, tepatnya di kampung Swakarya, Jangli, Jatingaleh Banyumanik Semarang. Bapakku pendatang dari Semarang. Ibuku perempuan asli kampung ini anak mbah Sastra Mejid, hanya sebagai tukang imam salat di masjid kampung dan tukang azan, ada masjid peninggalan leluhur yang dirawat sampai kini.

Masa kecil di Semarang tidak lama, hanya beberapa tahun saja sebelum karena Bapak pindah tugas di kota ini. Yang kuingat dulu sewaktu masih SD jalan tol Banyumanik itu belum jadi masih dibangun dan memisahkan kampung menjadi dua bagian. Yang selatan kampung nenek dan kakekku dan yang utara jadi terpisah. Aku suka sekali kalau jalan-jalan di sana dari Jangli naik delman, lalu jalan-jalan ikut nenek atau ibu ke Pasar Jatingaleh atau Banyumanik. Aku suka sekali jajan pecel lotek semarang di kampung sebelah. Juga beli jajanan tahu gimbal dan lumpia semarang, kesukaanku.

Dan di belakang rumah nenekku ada sungai yang cukup jernih aku sering ke sana. Begitu juga dulu masih banyak tanaman murbei dan sering bermain mencari buah murbei yang sudah tua. Warnanya merah tua dan rasanya asam manis.

Tak banyak yang kuingat Semarang, selain sering diajak jalan-jalan ke Pasar Johar dan Pasar Banyumanik dengan naik delman. Sebelum semua kenangan itu harus pindah ke kota kecil ini. Kecuali sesekali kalau setiap lebaran tiba aku bersama keluarga pergi sungkem pada kakek dan nenek di Semarang. Semua sauadara kumpul dari berbagai keluarga dan datang menginap dari jauh.  Om-om dan tante-tanteku datang dari Salatiga, Kendal, Surabaya, Purwodadi, Solo, dan Sragen. Kami semua keluarga besar pada kumpul dan selalu menarik bila lebaran tiba kami keponakan-keponakan pada kumpul.

Di kota kecil inilah aku dibesarkan dengan keadaan yang sederhana, kesederhanaan orang-orang desa yang ajur ajer, ramah tamah, tata tentrem gemah ripah loh jinawi.

Hidup bersama orang-orang kampung dan sekitarnya alam yang harmoni. Dulu kami semua masih tinggal di rumah kakek dan nenek. Sebelum abah dan ibu membangun rumah baru di sekitar rumah simbah.

Aku masih mengingat sewaktu kecil, aku suka pasaran. Di rumah kakek dan nenekku yang luas. Kakekku dulu seorang waker atau pegawai pabrik tebu pada masa Belanda. Yang sangat ditakuti karena dia penjaga kebun tebu. Bersama para sinder yang menguasai seluruh perkebunan tebu. Atasannya adalah sinder pabrik yang sangat disegani di kotaku. Hampir setiap bulan mendapat jatah gula pasir. Gula pasir di rumah Eyang hampir tidak pernah towong, karena Eyang tiap bulan selain mendapat gaji sebagai waker, juga mendapat jatah gula dari pabrik.

Tanaman tebu pada masa itu dilakukan secara intensif, dengan sistem pengairan yang sangat baik karena dijaga “sinder” (pengawas tanaman tebu). Biasanya pabrik gula menyewa lahan milik masyarakat untuk menanam tebu yang usianya sekitar 18 bulan.

Varietas tebu yang ditanam pun adalah varietas unggul dalam pengertian masa itu, yaitu: ruas tebu besar, banyak air tebunya, dan berasa sangat manis. Ternyata sifat banyak air tebunya dan berasa sangat manis ini menjadi magnet bagi anak-anak seusia saya untuk “mencuri” tebu. .

Ada hukum tidak tertulis bagi anak-anak kecil macam saya ini, yaitu: boleh makan tebu sekenyangnya asal di dalam kebun tebu. Dan sama sekali tidak boleh membawa batangan tebu keluar dari kebun tebu. Jika itu yang dilakukan, maka anak-anak kecil akan dikejar oleh “waker tebu” (penjaga tanaman tebu). Di kotaku ada pabrik gulanya namanya PG Mojo berada di tengah kota dan yang membangun dulu pemerintahan belanda. Setiap musim giling, mulai giling tebu diadakan upacara ruwatan mantenan tebu yang kemudian dikenal dengan perayaan Cembrengan (Cembengan).

Sebenarnya sinder kebun itu adalah pengawas kebun yang dibayar oleh perusahaan perkebunan untuk mengelola kebun dengan luas tertentu. Istilah Sinder konon berasal dari bahasa Belanda. Di Pabrik Gula, Sinder dalam tingkatannya berada diatas mandor kebun dan berada di bawah HTO. Di atas HTO adalah CA dan tertinggi adalah Administratur (ADM). Itulah hierarki kepemimpinan dalam sebuah Pabrik Gula. Diatas ADM ada lagi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris yang berada di kantor pusat. Istilah ini masih dikenal pada sebagian besar perusahaan perkebunan ex Belanda, baik itu milik negara maupun swasta, di Jawa atau luar Jawa. Namun, pada beberapa perusahaan perkebunan istilah sinder sudah diganti dengan Asisten Kebun. HTO diganti dengan Kepala Tanaman Rayon. CA diganti dengan Kepala Tanaman dan ADM diganti dengan Manajer.

Temanten tebu adalah simbol dari hasil tebu yang meruah, boneka-bonekaan yang terbuat dari batang tebu itu didandani mirip pengantin dan diarak keliling kota dan setelah diarak maka akan diadakan walimahan yang dihadiri oleh para pegawai pabrik gula.

Hal itu disebabkan, setiap sawah yang ditanami tebu. Pasti akan dijaga oleh oleh beberapa “waker”. Waker adalah penjaga lahan tebu yang diangkat langsung oleh pabrik penggilingan tebu. Selaku pemilik dari tebu yang ditanam itu. Mereka adalah warga sekitar. Sehingga mereka sudah pasti mengenal. Sudah menjadi tradisi, yang diangkat menjadi waker. selalu orang yang bertampang sangar dan galak. Tugasnya adalah menjaga agar tidak ada yang mencuri tebu. Atau beberapa kasus, mencegah pembakaran lahan tebu. Hal ini sering terjadi. Entah apa tujuan pembakaran itu.

“Tebu yang enak, biasanya ditanam di tengah. Yang pinggir-pinggir itu rasanya biasa aja. itu makanya sebelum ditanam, bibit tebu itu dipilih mana yang manis dan mana yang biasa. ” Kata kakak lelakiku. Tebu kadang dapat yang keras dan dapat yang empuk. Ros-ros tebu aku tahu banget gimana milih tebu yang empuk dan tidak keras.

Kebetulan sekolahku SD dekat jalur lori-lori yang di mana ada rel rel dari besi kemudian ditarik sapi menuju pabrik Tebu PG Mojo. Suara klunthung sapi yang menarik lori tebu tadi terdengar tiap pagi. Kadang mereka malam bekerja membawa oncor. Dan di jalan dulu masih banyak gerobak yang membawa hasil petani, baik itu gabah, dan hasil palawija dari sawah dan pekarangan. Juga rumput hijau untuk pakan sapi dan kerbau. Dulu sapi dipakai buat bajak tanah. Tetanggaku ada yang mempunyai gerobak dan anak-anak suka menumpang gerobak itu kalau ke sekolah SD.

Dan lori-lori itu yang mengangkut tebu dari kebun rakyat dan setiap lori dijaga kuli tebu. Anak-anak SD itu sering “nduduti” tebu pada lori yang lewat. Barisan sapi, orang dan tebu, berduyun duyun setiap siang lewat di jalur depan SD-ku itu. Dulu banyak yang menanam tebu di pesawahan rakyat namanya disewa dapat premi. Atau para pencuri kurcaci ini langsung ngasak mencari sisa-sisa batang tebu setelah tebang. Atau justru malah mencuri ke dalam. Tetapi mereka sangat takut dengan waker-waker itu.

Dan Eyang Buyutku mempunyai rumah dengan pintu setengah jendela yaitu bisa dibuat pintu separuh yang separuh dibuka dan separuh ditutup agar ayam tidak masuk dapur. Di bagian depan rumahnya yang luas dengan tanpa pintu dan jendela. Semua terbuka di rumah depan, dengan kursi dan meja-meja tamu. Kebunnya luas sekali. Ada berbagai tanaman di sana. Cereme, duwet, jambu dersana, belimbing wuluh,  jambu,  pisang, dan selebihnya adalah ketela pohon, dan lain-lain.

Yang paling aku kenang adalah makanan khas orang kampung disini yaitu sayur bobor rebung muda. Rebung muda memang terasa manis dari anakan bambu. Orang-orang sering mengguraukan sayuran ini dengan sayuran galar. Tahukah galar? Yaitu sejenis amben atau balai-balai yang dibuat dari bambu yang tua terus dibuat papan dijereng seperti tikar.  Bukan dianyam tetapi dibiarkan bambu utuhan terus dilempangkan dan disigar-sigar di belah menjadi amben atau galar. Bambu muda namanya rebung. Kalau diiris  bentuknya bundar-bundar tipis rasanya manis warnanya putih ada yang kuning. Sebelum diiris dikelupas dulu kulit rebung itu. Hati hati karena lugut bisa mengenai kulit tangan dan gatal dan sakit. Dulu di sepanjang sungai di belakang kebun nenekku banyak tumbuh bambu dan dalam barongan itu muncul tunas muda bambu namanya rebung. Ada kayu carang yang banyak duri bambu, lugut, dan iplik-iplik reranting bambu.

Yang sering jadi sayur makanan sehari-hari di kampung dan kotaku adalah nasi tumpang pecel. Dengan sayur-sayuran segar misalnya semua jenis sayur hijau bisa dibuat “keleman” atau “gudang” misalnya daun papaya, daun singkong, kangkung, bayam, rembanyung, daun nikir, daun so, kembang turi, ale, capar, kacang panjang. Dengan sambal kacang (sambal pecel) dicampur dengan sambal tumpang (bahan dasar dari tempe yang diuleg atau blender lembut plus bumbu-bumbu cabe, lengkuas, brambang bawang, daun jeruk nipis, jeruk purut, salam, dan tahu putih yang dipotong potong lalu terakhir disantani. Maka begitulah nasi tumpang dan campur pecel jadi makanan sehari hari warga di kotaku.

Di samping rumah induk, di rumah eyang yang kuingat ada gardu atau rumah pos ronda yang dipakai untuk kumpul-kumpul tetangga yang isinya kentongan. Kentongan dari kayu besar dari pohon nangka yang digantung kemudian ditabuh sewaktu malam hari atau ada kumpulan warga. Mungkin sekarang nama kerennya adalah gazebo, tempat untuk bersantai-santai dan bercengkarama dengan seluruh keluarga.

Di samping itu Kakek buyutku juga mempunyai banyak rumah tawon,  semacam kayu glugu seperti kendhang bentuknya dilobangi mereka akan menggerombol membentuk madu dalam koloni-koloni itu.

Orang-orang membuat sayur dari rebung muda (bambu muda) dibuat sayur bobor. Bumbunya menggunakan ketumbar dan santan, kalau pingin pedas diberi sedikit cabai namanya menjadi sayur lodeh. Orang orang kampung sering meminta tetangga rebung muda untuk disayur. Sayur ini bisa dicampur dengan daun melinjo atau dongso. Bisa juga dicampur dengan bayam dibuat sayur bening. Lauknya tempe goreng atau ikan asin yang digoreng. Tetangga-tetangga desa banyak yang mempunyai tanaman sayuran sendiri. Misalnya, daun singkong, bayam, daun pepaya, daun melinjo, di pekarangan mereka. Ada sayur lagi yang cukup unik yaitu sayur oblok-oblok rembayung, sejenis daun kacang hijau yang ditanam di sawah atau pekarangan penduduk bumbunya menggunakan kelapa, tempe, cabai, dan ikan teri.

Di kampung ini dulu masyarakatnya masih sangat sederhana dan mempunyai adat leluhur yaitu, bancaan atau kendurian bersama seluruh kampung yang namanya tegas desa atau bersih desa namanya jembulan di punden desa. Upacara adat ini warisan leluhur kirim doa mohon keselamatan dan keberkahan untuk warga kampung. Jembulan itu, orang-orang membawa makanan criping dan opak lalu dimasukkan dalam bamboo panjang yang sudah diserut di ujung bambu panjang tadi seperti jembul ada serutan bambu tadi seperti untuk pantek agar criping opak dan semua bisa dimasukkan dalam bambu yang sudah diserut tadi. Lucu bentuknya sekarang tidak ada yang bisa membuat itu dan tidak ada yang membuat jembulan yang berisi makanan khas daerah tadi.

Bersama nasi golong, uduk, tape ketan dari daun jarak, apem, jadah wajik dan aneka pala kependem, misalnya ganyong, pohong, ketela, uwi, suweq dan mbili. Selain itu, di tengah punden itu dipasang gedebok pisang lalu bambu yang diserut tadi, ditancapkan pada pohon pisang. Isi dari makanan yang dibawa misalnya, tape daun jarak, criping, opak, jadah, wajik, dan apem. Diadakan setelah masyarakat melakukan panen raya. Mereka biasanya doa bersama dipunden itu, dipimpin oleh modin. Lalu anak-anak membawa pulang makanan yang disajikan  dalam jumlah  itu. Ibu-ibu memasak nasi golong dan uduk. Mereka menyembelih ayam kampung untuk dibuat ingkung dilengkapi dengan sayur kentang dan krupuk sayur, srundeng, tahu, dan tempe bacem, juga lauknya cenggereng dan krupuk merah. Mereka membawa nasi tersebut ke dalam encek yaitu, sejenis tempat dari anyaman bambu yang dilapisi daun pisang atau jati. Tempat nasi tersebut, dibawa ke punden yaitu, pohon besar yang ada di kampung tersebut. Bancaan dipimpin oleh seorang modin kampung. Mereka pulang membawa berkat yang sudah di-purak dan dibagi bagi ayam ingkung-nya sudah dipotong potong dan dibagi ke peserta bancaan.

Dulu setiap bulan purnama anak-anak suka bermain di luar rumah main tikupan, jelungan, samparan, bersama teman- teman dan anak-anak kampung.

Aku melewati masa kanakku bersama dengan teman-temanku yang lain. Sama seperti anak-anak desa yang lain. Mengaji ke langgar atau ke masjid. Puasa Ramadhan di kampung sama seperti anak-anak kampung yang lain. Mereka mengaji dan belajar membaca al-Quran namanya Abah Yoyok. Abah Yoyok yang mengajari anak-anak membaca huruf hijaiyah, teman-teman mengaji semuanya rutin tiap malem Jumat belajar di langgar. Hingga mereka bisa membaca al-Quran. Temanku semua yang ikut ngaji rata-rata fasih dan lancar membaca Al-Quran. Lalu mereka biasanya melanjutkan ke sekolah agama (madrasah ) ataupun pondok.

Aku bersama teman-teman SD-ku semua belajar agama dan belajar membaca Al-Quran dari Abah Yoyok. Bisa juga ke pondok Ustaz Wachid di kampungku. Mulai dari huruf demi huruf sampai membaca dengan tartil. Banyak sekali anak-anak yang belajar di sana. Jika Ramadhan suasana kampungku lebh ramai. Mereka anak-anak itu sering habis Subuh mengadakan kuliah subuh di Masjid besar atau mengerjakan salat tarawih di langgar, atau masjid. Masjid kakeku sangatlah ramai dikunjungi anak-anak yang salat Subuh maupun maghrib sampai isyak. Apalagi jika masuk bulan Ramadhan, masjid di kampungku selalu ramai dihadiri santri-santri.

Jalan besar yang masuk kampungku sangatlah asri. Banyak lahan persawahan yang subur makmur khas alam pedesaan. Dengan gemercik dan air irigasi yang selalu mengalir di tepi pematang. Di sebelah kiri tampak megah Gunung Lawu, jika tak berawan dan berkabut terlihat jernih dan biru warnanya. Bak gadis yang menampakkan wajah ayu cerah dan segar dengan body yang montok dan berisi. Gunung Lawu seperti jelmaan puteri gunung yang indah cantik seger dan montok. Sementara Gunung Merapi jelmaan Phallus yang gagah sangar perkasa dan wibawa menyimpan misteri yang luar biasa. Sedang di kanan jalan menuju kampungku,  terlihat dari kejauhan dua gunung yang kekar dan sangar kelihatan mistik dari sini yaitu gunung kembar Merapi Merbabu yang garang dan gagah. Seperti lelaki yang sangat menampakkan kharismatik dan kewibawaannya. Duh dua paduan gunung yang menyatu dalam jalan menuju kampung tanah airku kedua ini. Sangat cantik dan wibawa, dua pasang seperti Lingga dan Yoni yang berpadu dalam alam.

Salahkah aku,  sebagai perempuan aku sangat menjaga kehormatan dan harga diri perempuan? Menyesalkah aku kalau cinta yang kandas hanya karena gengsi dan saling menjaga harga diri, dan sebagai perempuan aku tak mau mendahului. Atau aku yang sangat keras pada diriku sendiri sehingga aku harus kehilangan segala cinta Banyu. Hanya karena persoalan sepele hanya karena kurangnya terbuka saling mengungkapkan isi hati yang jujur dan sebenarnya. Mengapa baru berjalannya waktu tabir itu terkuak dan terbuka? Aku tak pernah tahu jika jalan yang harus ditempuh seperti ini. Waktu yang tak pernah diputar ulang. Waktu tak pernah kembali.

Di kampus biru awal mula pertemuan itu. Pertemuan yang akhirnya membuatku menjadi terkurung selamanya dalam jerat mahligai musim yang kerontang. Seperti padang pasir yang kerontang tanpa air. Hanya oase-oase kecil untuk melanjutkan sisa-sisa impian masih muda. Dan hidup hanya pada selembar surat perkawinan dan surat nikah yang tanpa daya.

Namaku Aulia Maulida Muchidah atau Dida. Cukup simple dan singkat sebagai perempuan Islam Jawa. Yang kebetulan dilahirkan dari orang tua abah yang sangat keras,  dan ibu, yang ketat dan kuat dalam pendidikan kejawaan Islam. Meski bukan dari kalangan kraton tetapi dari rakyat biasa, namun Bapak masih ada darah kiai atau ulama, ibu juga masih ada darah kiai, pemilik masjid di kampung yang dulu sangat disegani, almarhum kakek Mustofa, selalu menanamkan unggah-ungguh dan trapsila saat berbicara menggunakan bahasa Jawa. Tetapi aku kadang memang paling malas pakai bahasa Jawa, sangat sulit untuk ngetrapke krama inggil dan sangat sulit untuk membedakan kata-kata yang pas dan benar. Misalnya sare turu tilem. Nyaoske, maringke, maos, maca, dll. Sungguh ribet sekali memakai bahasa Jawa. Tidak seperti Bahasa Indonesia yang sangat setara sederajat dan lebih demokratis kesannya. Namun, kalau kita salah menggunakan bahasa Jawa dengan benar kita bisa kena malu. Maka perlu hati-hati menggunakan bahasa Jawa.

Aku bukan perempuan pesisir yang lebih terbuka. Aku berasal dari perempuan pedalaman yang sangat menjaga tata krama adat Jawa dan autran aturan agama yang kolot dan konservatif moderat, konservatif namun modern karena abah menginginkan aku berpendidikan dan mempunyai ilmu dunia dan akhirat

Yang dijunjung bapak dan ibuku. Diasuh dan dididik dalam primordial Jawa yang sangat menjunjung tinggi adat leluhur Jawa dan dinaungi oleh hukum konvensi Islam yang kuat yaitu sopan santun dan konvensi yang tidak tertulis yaitu saru dan siku.  Karena aku sangat menjaga kewibawaan orang tua dan adat leluhur, aku memang tidak bisa sembarangan open dan terbuka pada apapun dan siapa pun. Orang tua, bapak dan ibuku tak pernah mengajariku untuk misuh, ngomong saru dan cengengesan. Itu sangat jarang kudengar mereka bertengkar lalu ngomong jelek atau berbicara kasar seperti misuh dan sebagainya. Sehingga itu pun juga jarang kulakukan sekali pun marahnya seperti badai dan bledek tapi aku hanya diam kalau marah jarang banget melontarkan kata-kata untuk pisuhan.

Dididik dengan pergaulan dan lingkungan pergaulan Jawa yang kental, aku hanya sedikit bisa mengetrapke unggah-ungguh bahasa Jawa dan tidak bisa berbahasa krama inggil dengan baik. Itu aku akui. Dan meskipun sangat sulit aku berusaha  benar benar kuterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun aku campur campur juga dengan bahasa Indonesia.

Bagaimana berbahasa dan menghadapi orang yang lebih tua dan menghadapi sepantaran sebaya  dan yang lebih muda. Aku hanya sedikit paham bahasa Jawa, ngoko, krama inggil dan alus. Sejak kecil aku hidup dalam lingkungan budaya yang memang dalam lingkungan Jawa Islam, dengan berbahasa Jawa.

Teman-teman kuliahku pada takut datang ke rumahku. Karena pekewuh atau sungkan ketemu bapak dan ibuku. Mereka selalu bertanya, apa bapakku marah kalau teman temanku ke sana pakai celana jean? Pakai celana panjang pensil ketat atau pakai rok seksi pendek? Aku pun jarang pulang juga banyak di kos, dan itu pun selalu dipantau dan diawasi abah dan ibuku. Juga kakak-kakakku.

Hidup lama di tengah pedalaman daerah perbatasan provinsi besar di Jawa. Sebelum masa SMA habis aku meneruskan kuliah di Solo, aku harus kos di Solo. Meninggalkan kotaku yang jauh di timur, membelah Sungai Bengawan Solo yang panjang.

Kupikir aku beruntung bisa menikmati kebebasan udara di luar rumah dan saat kuliah tidak dipondokkan ibu atau abah. Aku cukup senang karena dulu aku sering sakit dan takut jika harus ke pondok, karena jarak kampus dan pondokku dulu  sangat jauh. Kakakku sering meden-medeni menakut nakutiku kalau di pondok apa apa serba sulit serba antri serba ketat serba diawasi dan dibatasi. Namun saat SMP dan saat SMA aku memang tidak mau mondok. Dan orang tuaku member kebebasan untuk tidak mondok, meskipun sangat kecewa juga ketika aku tidak mondok. abahku pingin-nya aku mondok seperti kakak kakaku dan adik adikku  yang lain. Dan juga selalu pingin seperti anak anak pak Kiai Wachid yang semuanya mondok. Jadi karena saya sering ditakut-takuti kalau disuruh ke pondok saya jatuh sakit, sehingga abah memberikan keleluasaan kuliahku di umum.

Selanjutnya? Klik Daftar Isi atau Bagian Selanjutnya, yakni Tahura.


 

0 comments: