KAMPUNG GUNTUNG LUA


Aku lahir di Banjarmasin, 1 Juli 1958. Namun sejak tahun 1960 aku sudah diboyong kedua orang tuaku pindah ke kota Banjarbaru. Mula-mula, pada tahun  1960, kami tinggal di sebuah rumah kontrakan di daerah Guntung Payung, kemudian tahun 1961 pindah ke daerah Loktabat. Selanjutnya, tahun 1962, kami pindah lagi ke asrama APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) yang ketika itu masih dalam proses pembangunan di Jalan Panglima Batur sekarang ini. Cukup lama kami tinggal di sini, yakni selama 4 tahun.

Tahun 1966, kami sekeluarga pindah ke kampung Guntung Lua (sekarang namanya sudah berubah menjadi Jalan Zamzam Jailani). Rumah kami terletak persis di tepi sungai Kemuning (dulu namanya sungai Basar). Seminggu setelah pindah ke kampung Guntung Lua, hujan turun dengan lebatnya, satu jam kemudian rumah kami sudah dikepung banjir. Genangan air di dalam rumah kami  cukup dalam, yakni sekitar 1 meter dari lantai rumah.

Hampir setiap kali kota Banjarbaru diguyur hujan lebat rumah kami pasti kebanjiran. Maklumlah, rumah kami berada di dataran yang paling rendah, dan terletak persis di samping sungai. Meskipun banjir tersebut tidak berlangsung lama, hanya sekedar numpang lewat, namun hal itu cukup membuat kami kerepotan. Sebelum air benar-benar surut, kami harus bergotong royong membersihkan lantai rumah dari endapan lumpur yang dibawa air bah.

Pada saat melakukan pembersihan kami harus ekstra waspada karena sering ada ular berbisa terjebak di dalam rumah kami. Ular berbisa masuk terbawa arus air bah dan terjebak di dalam rumah kami. Selain dipenuhi dengan endapan lumpur rumah kami juga dipenuhi dengan ranting kayu dan rerumputan.

Setelah beberapa tahun direpotkan oleh masalah banjir, ayahku kemudian membangun rumah baru di samping rumah lama. Rumah baru kami dibangun bertingkat dua. Jika banjir datang, kami sekeluarga tinggal naik ke lantai dua.

Pembangunan rumah bertingkat dua tidak hanya disebabkan karena masalah banjir, tetapi juga karena masalah pertambahan anggota keluarga. Selama delapan tahun tinggal di kampung Guntung Lua keluargaku bertambah sebanyak 5 orang, yakni 2 adik baru, 1 nenek (orang tua ayahku), dan 1 orang paman (adik ibuku).

Selama ini rumah kami cuma dihuni 4 orang, yakni kakakku Taberi (sudah almarhum), adikku Sri Dartika, dan adikku Mahyuddin Noor. Nenekku sebelumnya tinggal di Bungur, Benua Padang, Kabupaten Tapin. Namun, seiring dengan usia beliau yang semakin menua, ayah kemudian mengajaknya ikut bergabung ke rumah kami. Sementara itu, pamanku ikut bergabung ke rumah kami setelah beliau bercekcok dengan istrinya di Tabunganen, Kabupaten Barito Kuala.

Rumah baru kami sengaja dibangun bertingkat dua, selain karena alasan sering terendam banjir, juga karena alasan lahan yang sempit. Sehingga tidak ada pilihan lain selain membangun rumah ke atas, tidak membangun rumah ke samping. Lahan kami pada mulanya cukup luas, namun karena kesulitan ekonomi   sebagian tanah dimaksud terpaksa dijual kepada tetangga.

Pada tahun 1966-1969, jalan masuk ke kampung Guntung Lua masih berupa jalan tanah. Jalan beraspal cuma sampai di ujung Jalan Sintuk saja. Di ujung jalan Sintuk ini dulunya adalah tempat pembuangan akhir sampah produksi warga kota Banjarbaru, dan kebun pisang. Sekarang di atasnya sudah dibangun Madrasah Zamzam Jailani.

Guntung Lua, nama ini berasal dari dua kata, yakni guntung dan lua. Guntung adalah istilah dalam bahasa Banjar, artinya hulu mata air sungai yang  berada di bawah jurang. Selain dialiri oleh sungai kemuning, kampung Guntung Lua juga dialiri oleh  sungai kecil berair jernih yang hulu mata airnya berada di bawah jurang, namanya juga sungai Guntung Lua.

Sementara itu istilah Lua berasal dari nama pohon, yakni pohon Lua yang tumbuh di bawah jurang. Pohon Lua dimaksud sangat besar, dan diyakini sebagai pohon yang ditinggali oleh sekelompok jin. Jin dimaksud konon bertugas menjaga sebutir intan pusaka berukuran sangat besar yang berada di dalam tanah di dekat sumber mata air sungai Guntung Lua. Selain menjaga intan besar dimaksud mereka juga menjaga ribuan butir intan lain yang berukuran paling kecil 5 karat.

Seorang malim, yakni paranormal yang mampu melihat keberadaan intan yang masih berada di dalam tanah, pernah melakukan survei untuk mengetahui kandungan intan yang terpendam di dalam tanah di dasar sungai Guntung Lua. Hasil survei menunjukkan jumlah butiran intan yang terpendam di sana sangatlah banyak.

Nah, didorong oleh hasil surveinya itu, maka malim yang bersangkutan bermaksud untuk menjadikannya sebagai lokasi pendulangan intan terbuka.Namun, sebelum rencananya itu diekspos ke publik, salah seorang jin penunggunya segera melakukan penampakan. Jin itu menampakan dirinya di hadapan malim dalam wujud seorang wanita berparas jelita.

Jin wanita itu memperingatkan malim agar jangan coba-coba menjadikan kawasan yang berada di bawah pengawasannya itu sebagai lokasi pendulangan intan terbuka. Semua intan yang terpendam di kawasan ini adalah milik raja jin, sehingga sama sekali tidak boleh diambil oleh siapa saja. Jangankan bangsa manusia, bangsa jin saja tidak boleh mengambilnya.

“Bangsa manusia silakan mendulang intan di tepi kiri dan kanan sungai Kemuning dari Timur ke Barat, karena hak raja kami atas intan-intan yang ada di kawasan itu sudah dilepaskan dengan sukarela,” ujar jin wanita itu menjelaskan kepada Malim.

Sungai Guntung Lua berair sangat jernih. Saking jernihnya maka kilatan sisik ikan puyau, saluang, senggiringan dan ikan-ikan lainnya yang sedang berenang di dasar sungai dapat dilihat dengan jelas dari atas tebingnya. Setiap hari, aku, kakakku, dan teman-teman sekampungku memancing ikan, menangguk, menjala, menguras, memutas, atau bahkan menembak kerumunan ikan yang hidup di dasar Sungai Guntung Lua tsb.

Pelaku penembakan ikan ini, bukan aku dan kakakku, tapi  adalah seorang oknum polisi. Mula-mula ikan diberi makan dengan taburan ampas nyiur, setelah ikan berkumpul, lalu ditembak dengan senapan laras panjang. Darr! Ikan-ikan yang terkejut mendengar bunyi tembakan ada yang langsung mati, tapi ada juga yang cuma pingsan. Ikan-ikan itu lalu dipunguti dengan menggunakan tangguk atau serokan.

Selain di Sungai Guntung Lua, kegiatan memancing ikan, menangguk, menjala, menguras, dan memutas itu, kami lakukan di Sungai Kemuning. Ikan-ikan dimaksud tidak bisa ditembak karena air di Sungai Kemuning selalu keruh berwarna kuning. Air Sungai Kemuning memang selalu keruh berwarna kuning, karena di hulu sungai ini, masih banyak orang mendulang intan.

Ritual memancing ikan di Sungai Kemuning ini kami lakukan pada setiap pagi antara pukul 06.00-07.00 wite. Ikan yang diperoleh adalah ikan puyau atau bisa juga ikan saluang. Sore hari antara pukul 15.00-16.00 wite. Ikan yang diperoleh adalah ikan senggiringan. Bila memancing malam hari antara pukul 19.00-21.00 Wite, ikan yang diperoleh adalah ikan lele berukuran besar.

Sepulang sekolah, sehabis makan siang, antara pukul 14.00-15.00, kami biasanya menangguk atau menjala ikan di sepanjang Sungai Kemuning. Dari rumahku di Guntung Lua, kami menyisir ke timur sampai ke jembatan Bina Marga di Kampung Sumber Adi Banjarbaru I. Lain kali kami menyisir ke barat sampai ke dekat jembatan kembar di Loktabat Banjarbaru Utara.

Kegiatan menguras dan memutas ikan baru kami lakukan pada musim kemarau. Tapi, tanpa dikuras dan diputas, ikan-ikan di Sungai Kemuning tidak jarang timbul sendiri ke permukaan air, dan bila sudah begini maka kami tinggal memungutinya dengan tangguk atau serokan. Ikan-ikan itu sempoyongan dan terpaksa timbul ke permukaan karena kualitas air pada musim kemarau sangatlah buruk.

◊◊◊

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: