BANJARBARU, 1965


Pada tahun 1965 aku sudah duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Suatu ketika, aku sudah lupa hari dan tanggalnya (diperkirakan setelah tanggal 1 Oktober 1965), kami para murid diminta untuk mengikuti apel pagi di halaman sekolah. Ternyata,  hari itu Kepala Sekolah menyampaikan sebuah pengumuman penting.

“Mulai hari ini nama teman kamu Aidit resmi diganti menjadi Aidil. Jadi,  jangan ada lagi di antara kalian semuanya yang memanggilnya Aidit”

“Hidup Aidit !” tiba-tiba ada yang berteriak.

“Siapa yang berteriak tadi ?!” bentak Pak Roem dengan wajah marah

Tidak ada sahutan.

Sunyi.

Sepi.

Tegang.

“Hidup Aidil !,” kali ini Bapak Goemberan yang berteriak memecah kebekuan.

Teriakan itu disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah.

Aidit. Ehh ... Aidil adalah temanku sekelas. Orangnya gemuk pendek. Ketika pengumuman penggantian namanya itu dilakukan, dia berdiri persis di samping kanan Bapak Kepala Sekolah. Dia ketika itu cuma cengar-cengir saja (kelakuan yang khas anak kelas 1 SD). Ketika itu, Aidit, boleh jadi seperti halnya diriku, juga tidak tahu mengapa namanya harus diganti menjadi Aidil.
Bertahun-tahun kemudian baru aku tahu penyebabnya. Ternyata Aidit adalah nama Ketua Komite Sentral PKI. Tapi, mengapa cuma nama Aidit saja yang harus diganti dengan Aidil? Bukankah Aidit bukan satu-satunya pentolan PKI yang terlibat G.30.S/PKI? Masih ada Letkol Untung dan Kamaruzzaman (Ketua Biro Khusus PKI). Nah, mengapa kawan-kawanku yang bernama Untung tidak ikut-ikutan diganti menjadi Unting atau Untang? Lalu, mengapa pula kawan-kawanku yang bernama Kamaruzaman tidak diganti menjadi Kamaruzamin, Kamaruzamun, atau bahkan Kamaruzakar?.   

Suatu ketika, aku dan teman-teman sesama murid sekolah, kembali dikumpulkan dalam suatu apel di halaman sekolah.

 “Mulai hari ini anak-anak dilarang keras mengucapkan kata-kata kompak selalu. Bila di antara teman-teman kamu ada yang berani mengucapkannya. Laporkan kepada Bapak. Nanti akan Bapak keluarkan dari sekolah!”

Tidak ada di antara kami yang berani menanyakan mengapa kami dilarang mengucapkan kata-kata kompak selalu?! Untunglah, pada kesempatan itu juga Pak Roem berkenan menjelaskannya tanpa diminta.

“Bapak yakin di antara kalian tidak ada yang tahu apa artinya kata-kata itu. Kompak adalah singkatan dari komunis pasti kembali.”

Sesuai dengan tingkatan usiaku yang ketika itu baru jalan enam tahun, maka wajar saja jika aku tidak tahu apa itu komunis? Jadi, bagiku tak ada masalah dengan larangan Pak Roem itu. Tapi, aku masih ingat kata-kata kompak selalu adalah kata-kata yang sangat familiar di kalangan para penyiar dan pendengar radio amatir. Agaknya perlu kujelaskan bahwa di kota Banjarbaru ketika itu memang banyak didirikan pemancar radio yang daya pancarnya sangat terbatas.
Pemancar radio amatir dimaksud didirikan sebagai mainan bergengsi atau simbol status sosial bagi anak-anak baru gede yang orang tuanya kebetulan punya uang berlebih. Nah, dalam siarannya itu para penyiar radio amatir dimaksud sering menyapa para pendengarnya dengan ucapan kompak selalu. Dalam tempo yang relatif singkat, kata-kata kompak selalu menjadi kata-kata yang sangat populer di kota Banjarbaru.

Aku tidak tahu secara persis apakah pelarangan yang diumumkan oleh Pak Roem ketika itu merupakan inisiatif beliau sendiri atau merupakan instruksi pesanan dari aparat keamanan yang ketika itu memang sangat anti PKI. Pasca pelarangan itu, tidak ada lagi di antara kami yang berani mengucapkan kata-kata kompak selalu.

Bagiku ketika itu, tidak ada bencana yang lebih dahsyat daripada dikeluarkan dari sekolah. Jika aku sampai dikeluarkan dari sekolah gara-gara iseng mengucapkan kata-kata kompak selalu, maka ini berarti aku harus pindah ke sekolah lain yang jaraknya lebih jauh dari rumahku.
Bertahun-tahun kemudian barulah aku mengetahui bahwa stigma PKI merupakan stigma yang ketika itu dapat berdampak sangat serius.  Di tahun 1965, siapa saja yang karena suatu dan lain hal iindikasikan sebagai anggota PKI, maka yang bersangkutan akan dipecat dari pekerjaannya sebagai aparat pemerintah, dimasukan ke penjara, dan yang lebih fatal lagi dimasukan ke liang lahat.


Ayahku pernah marah besar kepadaku, saking marahnya beliau bahkan sampai memukuliku hingga babak belur. Ceritanya, beliau ketika itu memergokiku  tengah menulis kata-kata tidak senonoh di dinding rumah kami, yakni : Tabri PKI. Tabri adalah kakakku, yang karena suatu dan lain hal pernah membuatku kesal. Kekesalan itulah yang kemudian kulampiaskan dalam bentuk tulisan cakar ayam di atas. Aku sempat merasa menang besar dengan grafiti di dinding rumah itu, tapi tak lama berselang aku justru menjadi korban kemarahan ayahku.

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: