Bahasa Empat Generasi


Casadhea

Sudah hampir dua jam aku mematut diriku di depan cermin kaca rias tempat kostku yang terbilang mewah. Dari menyisir rambut, mencoba berbagai baju yang kuanggap pantas sampai mengoles bibirku dengan lipstik tipis-tipis. Rambutku yang panjang bergelombang dan hitam kemerahan ini sudah sepuluh kali tersentuh sisir. Baju sudah lima belas model yang keluar dari almari pakaian. Gincu yang jarang kupakai ini sudah terlihat memendek setelah berulang kali mewarnai bibir. Aku yang terbiasa masa bodoh dengan penampilanku, kali ini  menjadi lain. Tomboi dan cuek berubah menjadi super perhatian merias diri. Celana jin yang biasa kukenakan, tidak lagi menjadi pilihan berganti mengenakan gaun anggun.
Ya, namaku Stephani. Lengkapnya Caroline Stephani Putri. Wajahku berparas Indo. Hasil perkawinan campuran mama dari Inggris dan papa dari Indonesia. Kedua orang-tuaku menikah ketika papa tugas kerja di kota Wembley, Inggris. Aku bersama kakakku memang lahir di sana dan menghabiskan masa remaja kami di sana.
Hasilnya, meski aku berdarah Indonesia, bahasa Indonesia yang kumiliki jadi minim dan terdengar kagok. Bahkan ketika pindah dari kota Wembley ke Kota Medan, Aku, kakakku dan mamaku masih seperti tiga turis asing yang berwisata. Komunikasi dengan orang sekitar masih menggunakan bahasa tarzan. Kedua tangan kami sering kami pergunakan untuk mempertegas arah dan maksud bicara kami. Lucu sekali, komunikasi ala kuis yang ada di sebuah stasiun TV swasta. Keadaan ini menjadikan kami terasing di negeri nenek moyang papaku.
Kami adalah sebuah keluarga yang berkecukupan dan boleh dikatakan mewah. Segala kebutuhanku terpenuhi tidak terkecuali pendidikanku yang tengah aku tempuh di sebuah universitas terkemuka di Yogyakarta.  Mahal dengan mahasiswa yang rata-rata dari kaum elite. Di lingkungan kampus inilah aku diterima dengan keberadaanku. Mungkin kesetaraan kondisi ekonomi yang membuat hubungan di antara mahasiswanya tidak menemui kesulitan yang berarti.
Tetapi, Aku tetap dengan diriku dengan penampilan sederhana dan tomboi. Aku lebih nyaman berada di tengah orang-orang kalangan bawah seperti kebanyakan bangsa ini. Namun,  mereka selalu tidak bisa  menerima orang seperti aku. Hanya karena aku berparas Indo, berasal dari kaum yang berada dan lebih fasih berbahasa asing.  Harus kuakui bahwa bahasa Indonesiaku tidak bagus. Tetapi, itu bukan alasan bahwa aku tidak menjadi bagian dari bangsa ini.
Entah dari mana, kebetulan aku senang sekali berkegiatan dengan dunia petualangan. Tidak ada warisan jiwa ini dari nenek moyangku. Menyusuri gua, panjat tebing atau mengarungi jeram-jeram sungai. Dunia inilah yang mengantarkan seorang tambatan hatiku. Lelaki yang kemudian menjadi pacarku itu bernama Jalu.
Dia memang jagonya olahraga yang memicu adrenalin. Seorang senior yang gagah dan tampan. Sikap urakan namun tidak pernah meninggalkan kesembronoannya. Lelaki yang kuat tetapi lembut bertutur terhadap perempuan pasangannya. Bahasa yang dipakai jika berkomunikasi denganku adalah bahasa Indonesia. Tetapi, ia pun jago jika aku ajak bicara dengan bahasa Inggris.  Namun,  tutur katanya terhadap teman-teman kami yang lain, sering tidak aku mengerti. Kata orang itu bahasa “Walikan” yaitu bahasa prokemnya orang Yogyakarta.
Disamping bahasa  “Walikan” sebagai orang Yogyakarta asli, Mas Jalu mahir berbahasa Jawa tentunya. Bahkan sering juga kudengar ia menggunakan bahasa kromo halus jika berbicara dengan orang yang lebih tua dengannya. Ini menjadi jembatan penghubung dari keterasinganku.
Darinya aku terus diajak untuk melihat hal-hal yang baru yang aku sendiri tidak pernah melihat dan merasakannya. Kadang hanya untuk diperkenalkan dengan anggota keluarganya sudah cukup menjadikan aku menikmati suasana yang lain dalam hidupku. Kedua orang-tuanya cuma orang yang biasa. Bapaknya hanya tamatan SD pada masanya dan ibunya tidak sempat mengenyam pendidikan pada level apa pun namun demokratis. Aku nyaman jika berada di tengah keluarganya. Meskipun harus kuakui bahwa sering mengalami kesulitan komunikasi. Bapak-Ibunya hanya menguasai bahasa Jawa dan sedikit bahasa Indonesia, sedangkan aku baru belajar menggunakan bahasa Jawa. Jadi, mas Jalu sering berfungsi sebagai seorang penerjemah di antara kami.
Seperti pagi ini, aku juga diajak bertemu dengan keluarganya di desa tempat kedua orang-tua mas Jalu berasal. Yang menjadikan aku gugup dengan penampilanku bukan karena aku tidak terbiasa dengan suasana desa dan enggan bertemu dengan anggota keluarga yang lain. Tetapi, kali ini berbeda, karena aku akan diajak di pertemuan seluruh keluarga besar mas Jalu. Dari Neneknya yang masih sugeng, pak dhe, Budhe, pak lik, bu lek, para sepupu sampai pada kemenakan mas Jalu.
Bisa dibayangkan berapa banyak penilaian terhadap diriku dan sulitnya aku menjawab pertanyaan jika mereka akan lebih mengenal aku. Kalau orang tua mas Jalu saja terbatas menguasai bahasa Indonesia apalagi keluarga yang lain. Tentu sedikitnya akan sama sulitnya dalam berkomunikasi dengan diriku. Aku takut mereka tidak bisa menerima keberadaanku.
Lagu Health The World terdengar dari BB yang aku miliki di atas ranjang. Sebuah nada dering yang khusus ada jika mas Jalu menghubungiku. Segera kuangkat, dan terdengar suaranya di ujung sana “Aku sudah sampai tempatmu”. Dan segera kujawab, “Ya”. Aku pun bergegas keluar kamar menuju depan kost. Memang kami telah sepakat pada sekitar pukul 09:00 mas Jalu mau menjemputku.
Tampak mas Jalu sudah berada di halaman tempat kostku dengan duduk di atas motor butut. Motor inilah yang biasa kami gunakan berdua menikmati indahnya alam Yogyakarta. Mata mas Jalu tidak berkedip menatap dan segera menundukan muka seperti orang yang baru pertama mengenal dan melihat orang asing. Aku segera mendekat dan mencubitnya karena gemas.  Ia menyeringai sambil menghidupkan mesin motor. Dan tak lama kami pun berlalu meninggalkan kostku.
Aku terus tidak bisa menahan tawa di sela aku tengah mengganti gaunku dengan kaos dan celana pendek sebatas lutut. Mengingat terus apa yang terjadi pada pertemuan keluarga besar mas Jalu. Sebuah pertemuan di rumah yang sederhana namun cukup besar. Rumah yang semuanya terbuat dari kayu itu menampung sebagian besar keluarga mas Jalu.
Pertemuan yang hangat terasa karena keramahan anggota keluarga. Mulai sapaan sampai pada canda-canda mengenai hubunganku dengan mas Jalu. Sekadarnya tetapi menghiburku. Hidangan-hidangannya pun dapat membuat aku tidak menghentikan mulutku terisi makanan. Orang-orang yang ramah jauh dari bayanganku semula.
Dengan merebahkan diri aku mulai membuat kesimpulan dengan kejadian tadi. Ada yang sangat menarik. Sebuah pertemuan keluarga dengan empat generasi. Generasi pertama yaitu nenek Mas Jalu. Semestinya, bahasa yang dikuasai nenek mas Jalu ini akan lebih sedikit dan akan terbatas pada penguasaan bahasa Jawa saja.
Tetapi tidak demikian halnya. Nenek mas Jalu justru lebih lancar berkomunikasi denganku karena beliau mengusai bahasa Indonesia dengan baik. Menurut cerita beliau, ini terjadi karena pada masa penjajahan dahulu, beliau bersama kakek mas Jalu pernah mengalami program kolonisasi yang diterapkan Belanda di tanah Deli Sumatera selama beberapa tahun. Bahkan, ibu mas Jalu juga dilahirkan di sana. Terbiasa menggunakan bahasa Melayu sehari-hari yang tidak jauh beda dengan bahasa Indonesia sekarang, membuat nenek mas Bayu satu-satunya orang yang menguasai bahasa Indonesia di desa jika dibandingkan dengan orang-orang yang seusia beliau.
Generasi kedua yaitu  ibu mas Jalu dan saudaranya. Generasi yang serba sulit hidupnya dahulu, bahkan hanya untuk mendapatkan pendidikan karena terlahir dalam masa penjajahan. Ibu mas Jalu meski terlahir di tanah Sumatera, hanya menguasai bahasa Jawa karena memang tidak pernah bersekolah. Hanya para suami mereka yang banyak mempengaruhi pemahaman berbahasa selain bahasa Jawa.
Generasi ketiga adalah generasi mas Jalu dengan sepupu-sepupunya. Generasi ini menjadi generasi yang terpelajar dan hidup dalam masa kemerdekaan. Sudah menagalami era globalisasi sehingga cenderung menguasai bahasa yang beragam. Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan anak mulai tumbuh di samping norma tata-krama dan pendidikan budi pekerti yang belum hilang.
Dan, ini yang membuat aku bingung antara perasaan prihatin atau senang. Pada generasi yang keempat ini, terdiri dari keponakan mas Jalu yaitu anak dari sepupu-sepupunya. Hampir semua masih berusia anak. Semua menggunakan bahasa Indonesia dan tidak bisa menggunakan bahasa Jawa. Aku tidak tahu apakah ini sebagai keberhasilan nasionalisme atau suatu kemerosotan nilai budaya daerah.
Aku tidak mau berpikir tentang itu lebih dalam. Kuambil dan kudekap gulingku erat-erat sambil mengandaikan. Jika esok, Tuhan telah mengizinkan aku dan mas Jalu membentuk sebuah rumah tangga dan mempunyai anak. Aku berpikir bahasa apa yang aku ajarkan dalam berkomunikasi nantinya pada anak-anakku. Mengikuti bahasa asingku yang banyak dipakai sebagai syarat menjadi pegawai di sebuah perusahaan. Bahasa Jawa yang adi luhung dan di dalamnya terkandung pendidikan budi pekerti yang santun. Bahasa Indonesia sebagai pemersatu keragaman budaya bangsa Indonesia. Atau semua bahasa? Dan, ketika semua belum terjawab aku sudah terlelap.

Silakan klik Senarai Isi untuk membaca cerpen-cerpen lainnya.

0 comments: