Bagian Ketiga


Puisi Desi Imam Harmika (Tanah Bumbu, Kalsel)

Hutanku

Surga tersembunyi di balik hutanku
Gemercik air
Semilir angin
Kicauan burung
Membawa luka hati terobati

Hutanku pujaan hati
Menatap pepohonan nan tinggi
Luas membentang
Terharu akan ciptaan-Mu

aku berjanji
Menjaga hutan sepenuh hati
Hutanku, sebagai paru-paru dunia
Tak kan kubiarkan, punah begitu saja



Puisi Dewi Indahcahyani (Sumatera Selatan)

Doa Sebatang Pohon

Kering tubuhnya yang menahan sinar
Akar-akar pun kian rapuh
Karena seleksi alam kian gemuruh

Tuhan..
Bantu kami, agar hidup tetap bertahan
Tangan-tangan itu kian mencekal
Membuat jiwa kami kian surut hingga tak kekal

Terpedaya dengan gemerlap kemewahan
Hingga mereka tak sadar
Warisan lenyap terbabas-bingkas
Anak cucu tak dapat bernapas

Apakah ini yang mereka inginkan?
Mereka harapkan?
Wahai manusia-manusia serakah...
Tangan kalian yang kekar telah merusak segalanya
Tangan kalian yang kuat mencampakkan kami hingga sirna
Tangan kalian memang bagaikan bisa
Memberikan racun sebagai umpan bagi keturunanmu yang lainnya

Inilah dunia kami yang baru
Hancur lebur seperti debu
Tanah ratah membeku
Tak ada lagi hijau
Tak ada lagi paru-paru dunia itu

Kami telah tenggelam
Habis sakit ini melawan hidup yang kelam
Tak ada lagi yang tersisa
Semua rusak binasa


Puisi Dewi Padmasari (Muara Teweh, Kalteng)

Kalian Apakan Istanaku?

Ke mana gaun hijau putri yang anggun dan mahkota menawannya
Kini gaun itu robek tak tersulam, mahkotanya hancur berantakan
Ke mana harus kucari gemulai dahan tempatku bergelayutan
Kini hanya cabang dan ranting yang berserakan

Ke mana harus kucari payung teduh menaungi
Kini dia hanya ujung kaki yang menancap mati
Saudaraku tak banyak lagi, orang tuaku entah ke mana mereka pergi
Kobaran api membakar, pekatnya asap mengurung kami
Kampung halamanku sudah tak bisa menghidupi
Haruskah aku dipenjara kotamu hanya demi makanan basi?

Aku ingin rumahku yang dulu
Bernaung pohon, bersemak belukar bagai kelambu
Berkicau burung menyanyikan lagu merdu
Bergemuruh lebah mengumpulkan madu
Berkawan rusa menghirup mata air berbatu
Gemercik riak sungai kecil membentang di tengah halamanku
Jatuh ujungnya menuruni tebing di dinding rumahku
Berkumpul di cawan telaga lantai alamku
Memainkan harmoni indah, membuai membisiki lelapku

Kini aku lihat sekelilingku abu-abu
Sudah tak nampak bentangan gaun hijau itu

Kudengar teriakan sisa pohon yang meronta ingin ikut aku pergi
Dia ingin berlari menyelamatkan diri
Agar tak tumbang dan tinggal akar kaki
Seperti yang diduduki monyet kecil sedih ini

Muara Teweh, 25 Juni 2016


Puisi Dian Rotua Damanik (Sumatera Utara)

Oksigen Dunia

Warna hijau yang sangat memikat
Semilir angin menari ria
Gemercik air yang berarus tanpa henti
Burung-burung yang menyanyi bahagia
Itu kau, Hutan!
Semua darimu tampak sangat sempurna
Kaulah sang paru-paru sejati
Kaulah oksigen dunia!

tapi, masih saja ada tangan-tangan yang menggerogoti tubuhmu
Untuk kepuasan sesaat
hingga lapisan ozon kian menipis
dan terpaan kesejukan nyaris tiada




Puisi Dian She (Jakarta)

Merangkul Risau

Langit menawan
air mataku menyudutkan kerinduan
risik dedaun dan suara burung dalam lipatan
gemuruh aliran sungai

Aku merindukan matahari
yang ramah dari balik daun randu
dan lumut yang dipermainkan air
sepanjang ingatan semua menjelma
dongeng merangkai buah
rindu ya rindu

semua menjadi sunyi
dalam keangkuhan
angin menerpa aroma pahit
mengembarai sisa sejarah
yang terkikis keserakahan
dahan pun kerap meninggalkan amarah
di atas trotoar yang disalahartikan

Keramahan terkapar dalam peti jenazah
hujan enggan berbagi rindu
segumpal kabut berpindah jarak
dari sebaris hutan yang tersisa dari dosa
guratan petaka merangkul risau
mencari-cari celah menjulurkan bara api

Dian She
Jkt2016


Puisi Dimas Hendra Sasmita (Surabaya, Jatim)

Hijauku

Hijau melintasi deretan agra
Kumpulan cucak bernyanyi riang
Air berjalan melintasi langit ke bumi
Tersangga pelan oleh hijau
Jalma terbantu napas oleh hijau
Hijau menyeluruh mengorbankan jiwa
Menjelma keluruhan empati dan simpati
Dalam kalbu yang terseluruh
Kini hijau dastha oleh tangan iblis
Langit menangis bumi tergetar
Bumi muntah oleh deda
Oleh tangan iblis yang selalu berburu
Biarkan hijau bernapas dan menyangga
Jangan potong kaki dan tangan hijau
Donga hijau melintasi langit
Griya bumi jalma esok

  

Puisi Drajat Kuncoro (Lampung Selatan)

Geringlah 
(dalam tunduk kayu)

Percumalah
simpan hujan
lewat tanganku
karna kau cuma
komersialkan aku

Aku pilih gering
bersama gersang
puing debu tanah merah
alang-alang menari binal
menanti erosi 

Siapkan pesta bencana
seperti caramu 
merengkuhku
liar


  
Puisi Dwi Wahyu C.D. (Banjarmasin, Kalsel)

Rinduku pada Jati
                       
Tak kudapati kini biji Jati
menjulang batang hilang karena tangan
tersisa pangkal tanpa lambaian.
Sepi belantara tak seharusnya ada
Pandangan hijau tak lagi menyapa
Tak ada lagi kemarau dengan gugur daun
Tak ada lagi rimbun hutan perawan
Tersisa benih kurang kasih
Tersisa tunas tanpa bekas
Entah kapan lagi datang sejuk olehmu.

Betekan, 13 Juli 2016



Puisi Edi Purwanto (Lampung)

Elegi Damar

silam, kami tumbuh dan dibesarkan
dengan selaksa kasih sayang
amanah dititipkan
jagalah tanah
jagalah marwah

kami beri hidup orang-orang
kami beri rumah hewan-hewan

kini tubuh kami terkapar
lahirkan luka paling akbar
yang kini terpapar

mesin-mesin bersuara merdu
memutilasi tubuh dengan gairah
di mana kami temukan lagi
hati paling resah
atas semua kisah

Bandar Lampung, Juli 2016


Puisi Edi Santosa (Banjarbaru, Kalsel)

Kabar dari Rajawali

Rajawali terbang di senja yang jingga 
cakarnya merobek langit
lengking suaranya menyayat cakrawala 
mengepak menggetarkan semesta,
menyampaikan kabar berita

Aku berdiri dalam genangan tanda tanya
angin menerpaku dalam hampa 
mendesau bergemuruh
datang dari degup jantung rimba
yang tertindas oleh serakah,
Dibawa ke kota meninggalkan luka
Di antara jejak - jejak buldoser
gergaji yang terus meraung
Menumpahkan derita,
menuliskan sejarah
yang akan dieja oleh anak cucu kita

Kapankah mereka menanam pepohonan itu?
Kenapa mereka menebangya sekarang?
Kapankah mereka merawat tunas-tunas itu?
Kenapa mereka membakarnya sekarang?
Kapankah mereka mencintai rimba itu?
Mereka mengkhianati dan tak pernah kembali

Wahai rajawali, terbanglah lebih jauh
melengkinglah lebih tinggi
Kutitipkan risauku bersamamu

Banjarbaru,  Juli 2016


Puisi Eri Syofratmin (Muara Bungo, Jambi)

Aku Presiden Penyair Suku Kubu

Aku presiden penyair Suku Kubu
Bercerita tentang anak rimba raya
Mula dari malau sesat moyang sedayo
Tanah hitam sampai ke selatan proto melayu
Golongan ras mongoloid
Bertapak tebal rambut keriting
Warna kulitnya sawo matang
Gigi merah jantan betina
Mengunyah sirih penguat tenaga

Aku presiden Suku Kubu
Yang tak pernah henti-hentinya berkicau
Tentang alam rimba raya
Tahtaku hutan terbentang tak berdosa
Makhluk sejagat rimba raya hulubalangnya

Aku presiden penyair Suku Kubu
Menabuh genderang buat penguasa
Tabuh gendangku bertalu-talu
Tan gentar akau buat alam rayaku

Aku presiden Suku Kubu
Gajiku batin suhada
Penghargaanku dari manusia
Yang punya jiwa-jiwa suhada

Kun faya kun
Terbentang hijau alam semesta raya

Kota Lintas, 14 Juli 2016



Puisi Eunike Pakiding (Makassar, Sulsel)

Nyanyian untuk Hutan

Polos ekspresi muka
Bilamana dulu
Mata memandang hijau

Menghirup udara segar
Terdengar kicauan riang dari sahabat kecil
Siula-siulan angin nan merdu
Mengajak  untuk bernyanyi

Seketika tanganku terbuka
Bebanku lari dariku
Layakkan aku terbang
N’tuk Lihat lebih luas lagi

Kusebut mereka hutan
Alam yang kunikmati dengan gratis
Pelarian saat hati tak sanggup lagi menahan
Saat tidak ada lagi ruang untuk bercerita.

  

Puisi Fahd Al Fauzi (Banyumas, Jateng)

Panggung Kehidupan

Harap-harap mereka mendengar cerita sederhana ini;
Menengok keluar jendela memandang dunia
Terlihatlah panggung alam terhampar luas
Tempat para aktor mengacungkan jari telunjuk
Menghibur tanpa raut mengeluh tersirat di wajah
Bernyanyi merdu beriring orkestra semesta
Menari elok beriring gending kelembutan jagat
Mimpi berjumpa tanpa halang melintang
Namun asa tak sampai ujung
Kurun masa menggertak keras
Isyaratkan robohnya panggung kehidupan
Terusir sang aktor pergi ke alam abadi
Siapakah perlu pada panggung itu berdiri?
Bukankah hanya sang aktor?
Sekali-kali tidak! Sang peroboh lebih perlu
Robohnya panggung itu robohnya dunia
Bangkitnya panggung itu bangkitnya dunia
Tak sadarlah dunia jatuh menyentuh bumi;
Harap-harap mereka mendengar cerita sederhana ini
Panggung zamrud yang hampir-hampir roboh memusnah makhluk

Banyumas, 30 Juni 2016



Puisi Fahrudin (Binuang, Kalsel)

Hutan Banyak Pohon

Hutan banyak pohon
Hutan gelap basah menakutkan banyak nyamuk, lumut, suara burung, dan gemercik air di pancuran
Hutan didatangi manusia
Hutan ditebang
Hutan tinggal tonggak-tonggak batang, tunggul hitam berasap
Kering, hening, kosong, hilang
Hutan rata, tanah rata,
Hujan datang angkut tanah arus air, ke bawah, air kuning, tanah merah turun ke bawah
Suara burung hilang, menjelma desiran angin panas, tak ada tempat berteduh
Suara jengkerik malam punah, jangkrik lari ke bawah

Hutan banyak pohon
Hutan didatangi manusia
Pohon ditanam, dipelihara, jangan ditebang
Hutan gelap basah menakutkan banyak nyamuk, lumut, suara burung, dan gemercik air di pancuran
Hutan didatangi manusia
Hutan dijaga
Hutan dipelihara

Binoeang, 21 Juni 2016

  

Puisi Faisal Adenan (Kandangan, Kalsel)

Negeri Ilusi Tak Sehijau Cerita

Gang sempit berkabut, sengsara menghampiri penjuru
Napas pilu sesak mencabik bahasa kemanusiaan
Pagi merintih nurani begitu menjerat
Malam datang tanpa sinar buaian rembulan
Semuanya tertutup luka dan kabut nestapa
Air mata masa depan luluh lantak diterpa merah membakar lekat
Kenyataan pagi ini tidak seindah yang kami kira
Kehijauan belukar tenggelam dalam bulan-bulanan kekuasaan
Irama serakah penguasa hutan negeri seberang menjadi syair dalam bibit derita
Angkuhnya kekuasaan berontak beradu di padang lalang
Tumbang rapuh barisan paru-paru kehidupan
Riuh satwa sejenak pergi dan tak kembali
Kicau burung haru dalam diam dan gelap bersanding tangis
Gersang kotor tanah tak bernyawa hutan kehidupan

Akankah semua sadar
Akankah semua iba
Akankah masih terikat jurang nafsu
Tanah pujangga dilema menggenggam nasib anak cucu
Sebelum duka berujung nestapa
Sebelum sempit berubah nyawa
Sebelum hilang tatapan suka
Akankah berlabuh jiwa masa depan menatap coretan alam bersama masa lalu
Titip bumi hijau bersama luruh hujan untuk anak cucu

Kandangan, 7 Mei 2016


Puisi Fauzi Rohmah (Tanah Bumbu, Kalsel)

Tangis Pesisir

Awan putih berarak
Menambah pasi seraut wajah biru yang kini semrawut

Tak ada lagi pagar hijau nan kokoh
Gigi gerigi gergaji itu telah mengiris pilu
Dedaunan pun layu dan kuyu
hingga wajah ayunya tidak lagi kemayu
Tiada lagi ombak yang meliuk menari
Menyisakan duka yang merongrong hati

Bakau yang tersisa tampak parau dendangnya. Jerit tangisnya menyayat nurani

Reklamasi itu modernisasi, katanya
demi laju dan stabilisasi ekonomi
Untung untuk siapa?
hanya untuk tikus-tikus necis berdasi,
sedang kerugian merata di permukaan laut dan daratan

Bakau tiada lagi lestari
Air tawar kini kian payau terkontaminasi air asin
Racun menyebar ke aliran darah anak nelayan
Keanekaragaman hayati menurun di wilayah pesisir
hingga harapan anak nelayan tersisa segelintir
Abrasi pantai merangkak naik
Pencemaran pantai meningkat, mencengkik

Lalu, ke manakah biota laut berlindung?
jika bakau tiada lagi mampu mengampu
Habitatnya tergerus arus modernisasi.

Pagatan (Tanah Bumbu), 05072016



Puisi Furqon Edy Muhammad (Bandung, Jabar)

Semoga Kau Mencintaiku

Entah kau menatapku atau tidak
Memahami atau menganggapku ada atau tiada

Kucinta kau sepenuh hatiku
Walau aku tak tahu hatiku ada di sebelah mana
Namun aku rasakan hal ini

Kuberikan padamu napasmu
Terkadang kunaungi dirimu
Tak sedikit kucoba berikan tubuh dan setiap bagianku
Hanya untukmu
Entah kaujadikan apa aku tak peduli
Hanya untuk kebahagiaan dan senyummu yang tergambar

Apakah hanya aku yang mencintaimu?
Tanpa kau mencintaiku
Namun, tetap kuharapkan
Sedikit merawatku sudah menjadi kebahagiaan kepadaku
Menghijaukanku lagi dan kaudapatkan seluruh jiwaku

Ya, cintailah aku yang tetap mencintaimu
Semoga




Puisi FE Sutan Kayo (Muara Bungo, Jambi)

Di Seberang Kota Sepasang Anjing Serupa Patung

menatap hutan terbakar di jantung kota
lampulampu berlarian seperti hantu
mengusap rambut kekasihnya
yang mulai tumbuh uban

di dalam salon mulai macet
raungan klakson begitu sunyi daundaun
mulai gugur melantunkan lenguh menjadi abu

di seberang kota sepasang anjing serupa patung

Muara Bungo – Jambi 2015

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: