Bagian Kesembilan


Puisi Rind Dea Putri (Tanah Bumbu, Kalsel)

Di Hutan Itu

Di hutan itu,
semua orang lupa waktunya tidur
sembari menarik akar-akar akasia yang lapuk
atau mengais tanah yang menghambur
aroma renta di senja baur harum pinus-pinus

di hutan itu,
semuan dikisahkan
kemarau bukan lagi pahlawan
yang menepikan amal pada surau
di tengah parenkimnya
lalu mereka bukan lagi rimbun
di daunnya
dan hujan adalah hening di jelaga

di hutan itu,
kurebahkan rumput-rumput kering
dalam desah:
"La ilaa ha illallah..."

Simpang Empat, Tanah Bumbu, 28 Juni 2016



Puisi Rissari Yayuk (Banjarmasin, Kalsel)

Hutan Mati

Kepak elang tak lagi terlihat di ujung kampung
Dia beri kabar kalau mangsanya tinggal belatung
Pemburu tak lagi tambatkan jebakannya di lereng gunung
Mereka beri kabar kalau babi hutan dan kijang tak lagi bisa terkurung

Pencari rotan pun  kini tak bisa bawa hasil dalam gulungan
Mereka beri kabar kalau  belukar kini semakin hilang
Peracik obat alam kini tak leluasa temukan dedaunan
Mereka beri kabar kalau  kini daun berganti tanah merah

Ya. Tanah merah yang membuat kayu manis menangis
Aroma daunnya tak mampu semaikan perkampungan dan pegunungan
Sebab tubuhnya telah diberangus oleh parang dan mesin raksasa pembunuh

Ya. Tanah merah yang membuat gunung tak lagi  biru
Sebab gaun indahnya telah dikoyak paksa untuk lahan batu bara tanpa keluh

Ya. Tanah merah yang memberi tanda kalau telah telan hijaunya alam rimba
Alam yang kini telah berganti dengan lahan karet dan kelapa sawit

Ke manakah elang kan cari mangsanya
Ke manakah pemburu kan tambatkan jebakannya
Ke mana para pencari rotan kan tambah gulungannya
Ke mana para peracik obat kan temukan dedaunannya

Ke mana?
Ke mana elang kan mengadu, jikalau kampung kini diam membisu
Ke mana pemburu kan mengadu, jikalau gunung kini tak lagi biru
Ke mana pencari rotan kan mengadu, jikalau belukar tak lagi menghijau
Ke mana peracik obat kan mengadu, jikalau daun kini sudah tak punya pohon dan ranting

Hutan negeri tak bisa lagi beri janji
Janji pada elang, pemburu, pencari rotan, dan peracik obat
Janji tuk bisa terus berbagi
Sebab jantungnya mati ditusuk bayonet putra sendiri dan  yang mengaku kerabat!



Puisi Rizkawati (Tanah Bumbu, Kalsel)

Kembalikan Hutanku

Hilang sudah
tempayan penyejuk paru-paruku
pecah terhempas angkuh

Ke mana lagi aku mencari tempat senyaman itu
Akar-akarnya telah tumbang
Ranting-rantingnya luruh
Di antara keringan perasaan

Teganya kau wahai tangan-tangan  yang lapar
Kaukeruk isinya tanpa sisa
Tanpa ada rasa belas kasihan pada anak cucumu

Aku rindu warna itu
Suasana itu
Bau itu
Rasa itu
Hai para penguasa dunia
Kembalikan hutanku seperti dulu
Kembali menghijau

Tanah Bumbu—Banjarbaru, 23 Juni 2016



Puisi Rizky Anggraini (Jombang, Jatim)

Secercah Embun di Kesunyian

Sorak-sorak riuhnya Cyornis ruckii
Terendam bungkamnya
Hijau-hijau yang selalu menari
Diam tanpa jiwa
Hanya tertinggal jejak kelabunya
Terik yang tersaji
Tak mampu salurkan hangatnya lagi
Justru menjadi candu tuk mengobarkan api
Yang dulu menjulang, kini tak ada lagi
Yang dulu melindungi, kini tinggal memori
Semua pergi
Yang melata, yang merayap
Yang terbang, yang berlari
Tersisa setetes, secercah embun
Mungkinkah semua berawal? Kembali?
Meski dalam kesunyian?



Puisi Robbi Ainul Yaqin (Jember, Jatim)

Andai Saja

Andai  saja...
Gergaji menjadi ketan
Tak akanlah ada tangan-tangan setan
Andai  saja..
Yang berdasi bukanlah hanya berjanji
Tak akanlah ada yang sakit hati
Andai saja...
semua berdiri dengan insan
tak akanlah gumuk menjadi korban
andai saja...
cahaya  datang menderang
tak akan ada banjir menerjang
andai saja...
bukan hanyalah celotehan
tak akanlah ada longsor berhamburan
andai saja...
tak bertuhan kertas
tak akan ada yang bermalas-malas
andai saja..
semua tak membisu
alam pun tak akan menjadi lesu

Jember,29 Mei 2015
09:06 WIB



Puisi Rosita (Jakarta)

Kisah Hutanku

Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang tiangnya pepohonan rindang
Fondasinya bebatuan besar yang diterjang air sungai
Dindingnya diselimuti udara  bersih dan menyejukkan

Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang di dalamnya terdapat berbagai makhluk ciptaan Tuhan
Ada yang menggonggong mengaung
Bahkan ada yang berkicau indah bagaikan seorang biduan yang mengajak untuk berdendang
Ah indahnya hutan
Aku rindu kau

Dua puluh  tahun kemudian ketika aku sudah besar
Aku mencari yang namanya hutan
Sudah melayang-layang  bayangan hutan di pikiran
Sudah  pasti membuatku senang

Namun
Seketika dadaku sesak
Rongga dadaku menyempit
Aku yakin ini bukan asma
Tapi aku merasa oksigen enggan memasuki rongga dadaku
Tubuh ini bergetar
Air laut keluar dari kulitku
Wajahku mulai menghangat
Tanganku mengepal dengan kuat
Air terjun tanpa izin meluncur dari pelupuk mataku
Ketika kudengar  rintihan
Suaranya lemah pilu aku mendengarnya
Dia mengadukan kepadaku
Bahwa telah terjadi sesuatu
Yang merenggut kehormatannya
Dia telah dirampas mahkotanya
Hutanku telah dijamah tangan itu
Tangan-tangan tak bertanggung jawab
Menikmati surga tanpa peduli padanya

Dor dor dor
Suara tembakan itu telah membuat telingaku mendengung
Apa yang sedang terjadi
Aku bertanya pada diri ini
Tak lama terdengar jeritan kesakitan 
Mereka tertawa
Hahaha
ketika hewan-hewan itu sudah tak berdaya

Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang tiangnya pepohonan rindang
Fondasinya bebatuan besar yang diterjang air sungai
Dindingnya  diselimuti udara  bersih dan menyejukkan
Ah bohong lirihku
Semua itu hanya hayalan
Faktanya sekarang hutan-hutan itu tak lagi indah
Tiang-tiang mereka tak dapat berdiri lagi
Fondasi mereka dihancurkan untuk keperluan di jalan
Dinding mereka tak lagi menyejukkan rongga
Yang tersisa hanyalah polusi di mana-mana
Polusi udara  air bahkan tanah
Oh Tuhan sungguh memilukan kisah hutanku ini

Aku diberi tahu tentang sebuah hutan
Yang di dalamnya terdapat berbagai makhluk ciptaan Tuhan
Ada yang menggonggong mengaung
Bahkan ada yang berkicau indah bagaikan seorang biduan yang mengajak untuk berdendang
Ah bohong lirihku
Semua itu hanya hayalan
Kini mereka telah langka bahkan binasa
Akibat para pemangsa yang gila harta
Tak peduli apa akibatnya
Yang mereka pikir hanya materi
Tidak memikirkan generasi

Ah kini hutan indah itu hanya ilusi
Kini banyak yang tak peduli
Pada kesucian hutanku ini



Puisi Roso Titi Sarkoro (Temanggung, Jateng)

Betapa Kita Telah Bersalah

hutan rimba hutan belantara
hutan lebat hutan hakikat
hutan belukar hutan liar
hutan perawan hutan sabda alam
hutan ramah, tak terjamah tangan-tangan jahanam

hutan lindung hutan punggung gunung
hutan unggas bebas bersarang
hutan surga satwa bertualang liar
hutan peredam bencana mengancam
hutan hijau, nyanyikan burung-burung kicau

hutan wisata hutan arena plesiran semesta
hutan tropis hutan daun-daun romantis
hutan cengkerama hutan berbunga cinta
hutan cemara hutan spoi derai asmara
hutan bergincu batu, kera-kera pemburu nafsu

hutan hantu hutan bersiul batu-batu
hutan terkapar hutan terbakar
hutan telanjang hutan dirampok setan jahanam
hutan marah hutan menggelontor bandang bah
hutan menghentak, bencana bicara menelan beribu jiwa

betapa kita telah salah bertingkah
babi-babi buta merampok dan menjarah
hutan kini kering telanjang sublim hilang
bumi perlahan mati kering terpanggang
kehilangan paru-paru, menunggu badang air mata

Temanggung, 2003 -  2016

                                                                

Puisi Rusdi Fauzi (Barabai, Kalsel)

Hutan Penuh Air Mata                                                     

Hijau hutanku terhampar luas
udara yang sejuk berembus di antara pucuk-pucuk
tanah gembur menghasilkan kehidupan
flora dan fauna yang baru

Air hutanku mengaliri sungai-sungai
Yang bertanah, berumput, dan berbatu-batu,  
menciptakan panorama benua kita
dalam deras segala di hati ceria berpadu

Kini hutan mengadu dalam lusuh
benua hewan, tumbuhan hampir musnah
tanah pun merintih
oleh nafsu penuh keserakahan

Apakah semua berakhir, bencana di benua
mungkinkah, kami telah banyak meminta
kalian telah bangga dengan salah dan dosa
ketamakan yang membuat hutanku tak tersisa.

Barabai, 15/07/2016



Puisi Sami’an Adib (Jember, Jatim)

Warisan

tak seberkas pun purnama membayang
kelam, menghitam di antara bebatu dan belantara arang
sisa kejayaan masa silam
:sejarah yang tertikam

kukira mendung menghalau kilau bintang
pekat, membumbung di antara pengap asap bakaran hutan kerontang
puing kepiawaian cendikia menyamarkan perambahan
:warisan muram peradaban

tak ada lagi suluh penerang
semua semu berpendar dalam khayal jalang
kecuali kafilah kunang-kunang tetap setia berbagi kisah
meski embun di bekas rerimbun kebun
pecah di ranggas pohon-pohon tak bergetah
:tilas moyang para pecundang

kemana lagi hendak melangkah
bila peta-peta kehilangan penjuru arah
sedang kaki ini terlanjur membangkai?

Jember, 2014—2015


Puisi Sarianah (Tanah Bumbu, Kalsel)

Paru-Paru nan Hijau

Terdengar suara riuk-piuk mesin
Pohon-pohon tumbang
Paru-paru hijau
menjadi abu-abu

Batulicin, Tanah Bumbu, 25 Juni 2016



Puisi Sitti Syathariah (Kepulauan Riau)

Sebab Angin

sebab angin menyiat-nyiat lembar pagi dengan igau sumbangnya
lalu mengoyak moyak tabir hijau yang tergerai sungsang di pentas kita
tak lagi menawarkan aroma asri di setiap helai daun pagi
pun mentari  letih menginfakkan nutrisinya ke haribaan bumi
maya pada berjelaga
Ini mungkin daun dan dahan terakhir
pun mungkin adalah pagi penghabisan
semua karena keteduhan telah terbunuh
kerindangan telah termutilasi
hingga kau kebiri rohani yang menanggak di setiap hela napas durjana
keindahan itu pun telah kau wafatkan sebelum ajalnya
karena kau telah menghunjamtunakkan belati ke jantungnya
hingga pekat legam darahnya
hingga lemah nadi di detak hidupnya

sebab angin menyiat-nyiat lembar pagi dengan igau sumbangnya
lalu mengoyak moyak tabir hijau yang tergerai sungsang di pentas kita
tak kuasa menyingkap tabir yang tercabik-cabik masai
berayun berkibar melambai lemah mengikuti alunan parau senandung dodoy separuh
meratapi daun yang kehilangan ranting…
menangisi ranting yang meranggas dahan
menatap nanar batang yang kehilangan akar hidupnya
merindu mengecup lembut daun-daun pagi di pucuk alam
aku, kau dan mereka ingin terlelap dengan mimpi sempurna

April 2016



Puisi Sizqa ID (Jakarta)

Suara Rimbanesia

Semburat lentera alam retak melahirkan pagi
Seketika Raja Siang berjalan dari persemayaman
Riuh satwa belantara mencuri pandang
Dari kediaman di balik tirai dedaunan

Kicau Kenari bersambut di Pantai Losari
Desir ombaknya menyisiri tepian Ibu Pertiwi
Kala Merak terpanah jatuh hati
Menarikan tarian cinta tiada henti

Tapi kemana Raja Hutan bersembunyi
Anoa dan Badak ikut bersedih hati
Rupanya mereka berimigrasi dari api
Lalu beradaptasi sebagai benda mati

Oh tanah Merah Putih
Kembalikan sang penguasa rimba ini
Benahi kediamannya tak cukup konservasi
Reboisasi Negeri ini bukan eksploitasi

Lampung, 12 Juli 2016



Puisi Setia B Borneo (Banjarmasin, Kalsel)

Kerakap Membatu Musim demi Musim

Menancap di dinding berbatu
Kerakap musim kemarau
Sekadar mencuri air
Menghisap lumut berplasenta

Demikianlah bukit-bukit hutan menyerah pada longsor
Sejuta cengkeram tercerabut ribuan bolduzer
Mata gergaji dengan geram memotong nadi
Akar gantungan tinggal kenangan

Anak-anak dengan tangisan rintih mengirimkan kabar pilu
Ibunda mereka terkubur tercerabut menghantam sawah ladang
Ibunda itu bernama Dewi Sri yang menggenggam setangkai padi
Memberi mereka buah-buah dan sayur mayur

Siapakah yang salah
Ataukah pada pergantian musim
Ketika malapateka runtuh dari atas bukit

Akar kering menutup sumur tua di lereng perbukitan
Sebab air telah lama beracun pestisida
Kerakap itu membatu musim demi musim
Sedang Ibunda Dewi Sri telah lama menghilang
Terbang jauh bersama asap dupa dan kematian

Malay 2014



Puisi Siswondo (Bandar Lampung)

Hutan

Aku tersesat di lingkaran hijau yang membentang luas..
Aku berlari ke sana kemari tak menemukan arah..
Aku lelah, aku capek, aku kebingungan..
Sepertinya daku tersesat dalam-dalam, hingga jalan pulang pun tak kutemukan..

Bisingan suara lantunan irama terdengar di telinga..
Aku terbaring di rerumputan, aku terlena oleh keindahan pepohonan hijau bergoyang..
Mataku asyik memandang ke arah langit biru..
Kulihat di sekelilingku yang ada hanya pohon, pohon, dan pohon..

Hutan rimba, hutan hijau, hutan yang rindang indah di pandang mata..
Aku suka hutan, hutan menghidupkan seluruh bumi..
Hutan kau adalah bagian terindah dan terpenting yang dimiliki oleh manusia bumi..
Kaulah hutan yang harus dilindungi.



Puisi Siti Maimunah (Tanah Bumbu, Kalsel)

Selamatkan Hutan Kita

Kurambah pohon demi pohon
Kupijakan kaki mengitari hutan
Ke mana diriku ?
Masih pantaskah tempat ini disebut hutan.
Mata tercengang terpana melihat keadaan ini
Teriris hati tak kuasa menahan sedih

Hutan! Inikah disebut hutan
Terkikis habis oleh ego serakah manusia
Tak memikirkan nasib anak bangsa dan alam sekitar
Lihatlah, Ibu pertiwi menangis tak berair mata
Serentak hutan termakan habis.
Peduli tak tercermin di dalam diri

Hutanku,
Hutanmu,
Hutan kita.
Generasi penerus bangsa
selamatkan dunia
mulai sekarang

Satui, Tanah Bumbu, 15 Juli 2016



Puisi Suaidah (Kudus, Jateng)

Akar Kering di Padang Gersang
                                      
seekor kadal kecil sedang menunggu air dan embun
pada sebuah akar kering di padang gersang
anjing pun tak kalah menyalak lebih keras
sesiapa yang melewat di depan matanya
bahkan keduanya tahu hanya debu dan pasir saja yang dijumpa

rezeki tak pernah memilih sesiapa
rezeki yang paling berkah
adalah ketika hutan kering menunggu air dari langit
dan rindu yang paling rindu dari segala rindu
adalah ketika akar kering di padang gersang menunggu air dan embun

kadal tak henti berharap terhadap akar kering
anjing tak henti menyalak lebih keras
sebuah harapan yang seperti angan kosong
kadang seperti kebencian tak tertahankan
namun, jikalau harapan melebur bersama hujan
laik sabana di padang gersang
seperti fatamorgana di gurun pasir
dan selayak hutan belantara di tanah tropis

Kudus, 15 Juli 2016



Puisi Sulchan MS (Kudus, Jateng)

Apa Kabar Hutan

Mendengar, rumput-rumput mati
Tanah kering kerontang
Tandus retak berlubang

Mendengar, asap-asap liar meracuni
Daun dan ranting terbakar
Hangus rata terkapar

Mendengar, pohon-pohon tumbang
Tunas-tunas terpasung
Gersang tak terhitung

Mendengar, pembalakan liar membabi buta
Merampas, menjarah seenaknya
Tak tersisa, hingga akar-akarnya 

Seketika hati pun merintih pedih
Menyaksikan hutanku yang kini merangkak tertatih
Hilang segala teduh merimbun
Yang dulunya hijau dibasahi embun
Kini rata dengan arang dan sisa asap
Tergeletak, berserak, panas, dan pengap

Apa kabar hutan ?
Bagaimana jika nanti anak cucu bertanya tentangmu
Tentang sejuk rindangmu dan aneka jenis pohonmu
Tentang hijau rimbun daunmu dan subur tanahmu
Tentang rumah satwa berlindung dan istana burung-burung
Tentang nasib berpuluh ribu nyawa darimu mereka bergantung

Apa hanya mampu terdiam bisu
Menyaksikan nasibmu tak lagi sehijau dulu
Menyimpan cerita kelam tentang kebinasaan hutan
Dari muramnya sejarah peradaban

Apa kabar hutan?
Kau kah itu,
Yang kini sedang menjerit bagai diiris sembilu 


Kudus, 27 Juni 2016

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: