Bagian Kedelapan


Rind Dea Putri (Tanah Bumbu)

Mengalirlah di Sungaimu

Teralirlah napas di ujung pusaran jiwa
hanyut pada kedalaman sungaimu
terbentang dari rahim hunianku

kurebahkan kembali ragaku
pada belai jemarimu di ujung helai-helai rambutku
yang memutih dihirup waktu,
rebas semua rasa goyah iman larut dalam kenangan biru
membirukan mata pada pelupukmu
sungai yang kauteduhkan

sungai-sungai yang mengalir dari muara kasihmu
menenggelamkanku dalam teguk murni
selami jiwa-jiwa merana nan mulai berdebu
atau mungkin sudah tenggelam dalam debu

maka dalam sungaimu nan membentang hingga pembaringan suciku,
kusuarakan rindu pada arusmu

Simpang Empat, 2 Maret 2016


Rind Dea Putri, terlahir di Yogyakarta, 21 Agustus 1996 dengan nama Dea Putri Rindriasari. Merupakan lulusan SMAN 1 Simpang Empat, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan pada 2014. Saat ini ia sedang bekerja sebagai staf petugas UKS di SMAN 1 Simpang Empat. Gemar mengikuti lomba maupun even lainnya di dunia kepenulisan.
Sangat menyukai puisi, cerpen, teater, dan kini melebarkan sayapnya dalam dunia gumam dan puisigrafi. Beberapa karyanya seperti cerpen, puisi, dan puisigrafi pernah dimuat di media cetak (koran) dan dibukukan. Pos-El: littlerinddp@gmail.com dan rinddpdenarin21@gmail.com. Facebook: Rind Dea Putri. Twitter: @rinddp. Ig: @rind_dp21. Line: @rind_dp21.

  



Rita Afriana A. (Tanah Bumbu)

Sungai Kusanku

Gemuruh teriakan kelotok
Hilir mudik di Sungai Kusan
Sungaiku
Sungai berwarna kini
Warna kecokelatan   
Warna menyayat hati
Warna membawa luka mata

Dulu, airnya bening serupa intan di bawah pelangi
Aromanya khas membuai diri
Ikan-ikan dan kepiting tampak berenang sesuka hati
Seperti gambaran surga yang meliuk membelah daratan suci

Tapi kini?
Hilang sudah kelestarian dan kejernihannya

Senja pun datang
Sembari menertawai Sungai Kusanku
Di antara limbah yang berenang-renang menuang duka

Simpang Empat, 8 Maret 2016


Rita Afriana A. lahir di Kediri. Kini mengajar di Sekolah Menengah Atas Simpang Empat Tanah Bumbu. Alumnus UMM ini mempunyai kegemaran membaca, makan, dan jalan-jalan.




Rusdi Fauzi (Barabai)

Riak Alir Sungai Benawa

Sungai Benawa sungguh indah permai
saat fajar menyingsing waktu pagi hari
merona warnanya lengkungan pelangi
pucuk daun bambu melambai-lambai

Warna air yang jernih Sungai Benawa
beralun berkilauan pancarkan cahaya
semilir angin berdesir lemah gemulai
terpaku gelora mendekap rasa sunyi

Indahnya sungai mengalir nan anggun
lihat gunung nampak nun jauh di sana
sebagai pertanda sumber kemakmuran
penghujung kerinduan bangunkan jiwa

Di tepinya Sungai Benawa yang merdu
iringi getar bambu membunyikan nada
kecipak dayung bersenandungkan lagu
menyimpan kehidupan di kedalamanya.

Barabai

Rusdi Fauzi. Penulis   kelahiran   Barabai  pada  tanggal 11 Agustus 1971, sejak dulu hingga sekarang bertempat tinggal di Jalan Perintis Kemerdekaan RT 007/RW.003. No. 97 Kelurahan Barabai Darat, Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Mulai bergiat Seni dan Budaya sejak duduk di bangku Sekolah Dasar Negeri Beringin, sekarang SDN Barabai Darat I.
Karya-karyanya pernah dimuat dalam antologi puisi ASKS (Aruh Sastra Kalimantan Selatan) X  di Banjarbaru, antologi puisi ASKS XI di Rantau, antologi puisi ASKS XII di Martapura (2015), Suara 5 Lima Negara (Kumpulan Puisi Penyair Lima Negara, Tuas Media Cet II, 2015), Nyanyian Kacincirak (antologi 6 Penyair Hulu Sungai Tengah, 2015),  antologi Bersama (Puisi Haiku Indonsia 2015),  antologi bersama Tadarus Sastra Ada Bulan Bertabur Bintang, antologi puisi Haiku pribadinya Aksara Yang Terlarung Di Sungai Mimpi (2015), dan antologi bersama Ibuku Mendaki Badai (Tuas Media, 2015).




Rusyda Saffana (Semarang)

Sungai Kesedihan

Ada cerita yang terkadang tak sanggup untuk diceritakan
Ada nama yg terkadang tak pernah sanggup dilupakan
Yang masih melukai setiap kali bergema di dalam raga
Yang masih menimbulkan perih yang tak sanggup diurai
Air mata tak sanggup menjelaskan, tangis tak cukup melegakan
Aku ingin berlari, meninggalkan semua luka
Membiarkannya hanyut bersama aliran sungai yang mengalir perlahan
Tanpa pernah berhenti untuk menatap
Membawa pergi semua yang diserahkan padanya
Seperti air mataku yang tak pernah berhenti terjatuh
Mengalir entah ke mana, sejauh-jauhnya
Meninggalkan semua harapan....
Tentangmu

Semarang, 24 Januari 2016
  
Rusyda Saffana terlahir dengan nama asli Rusyda Tri Nur Saffana di Sragen, 14 Maret 1999. Saat ini duduk di kelas XII SMAN 4 Semarang.




Salama Elmie (Yogyakarta)

Riak Sungai Lukaku

Mengalir tenang
Mengenang kenangan lebih dulu
Jiwaku terdiam mematung tanpa senyum
Dan aku terlanjur lupa memaknai diri

Di suatu siang
Ketika angin mulai semilir mengalir
Gemuruh sungai berteriak
Pada sampah yang berdiam diri
Menikmati luka-lukanya
Inilah kesaksian manusia yang mati dalam hidup

Perlahan malam menjadi sunyi
Meninabobokkan purnama di peraduan
Meninggalkan sisa nasib
Yang sempat kita tinggalkan di sepanjang selokan-selokan
Dan di lorong-lorong

Sampah-sampah itu terus terjebak
daun-daun pun melayang berguguran
Menyusuri sungai-sungai
Warna airnya tergambar kecemasan
Dan aroma bangkai pada airnya yang mengenang
Seringkali memintaku berdiam
Sementara batin ini terjebak pada luka
Yang tempo hari kaubisikkan

Jogja 2016

Penulis kelahiran Kolpo, Sumenep. Alumnus Al-Huda Gapura Timur. Kini tinggal di Yogyakarta menjadi Mahasiswi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddi dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Belajar menulis sastra dan aktif di Komunitas Rudal Yogyakarta, juga bergiat di LPM Humanius UIN SuKa. Antologi puisi bersamanya Sinopsis Pertemuan (2012), Menatap Sebuah Asa, hanya sebuah nyanyian parau bocah jalanan (2013), Gemuruh Ingatan, 8 Tahun Lumpur Lapindo (2014), Jaket Kuning Sukirnanto (2014), “NUN (2015), 175 penyair dari negeri Poci 6 “Negeri Laut” (2015). Sebagian puisinya tersiar di beberapa media cetak, antara lain Indopost, Radar Surabaya, Sinar Harapan, dan Medan bisnis . Penulis dapat dihubungi melalui Pos-El: Salama.elmie@yahoo.com atau nomor ponsel: 089633616393.




Salim Ma’ruf (Martapura)

Sungai di Keningmu
~sarah~

Lampai rumpun bambu mampir sejenak pada dada sungai
mengucap salam kepada pemilik hikayat purba
ada sampan membelah raut kelam wajah keruh arus waktu.
Di ujung ranting karamunting,
duduk membatu seorang pengembara tua
menjinakkan sajak-sajak liar yang menyembul dari rahim sungai
sembari membaca perjalanan pusara daun silara menuju bilik halimun
hingga perjamuan arus kian membawa lanting lewati semadi ilung
yang bermukim di Sungai Barito.
Sarah,
Ada kejenuhan menatap senja dari jembatan ini
membaringkan rindu pada peraduan di pentas lazuardi.
Payau, bermain tangkai-tangkai basah mawar yang usang
sebagaimana angin memanjat daun muda kala kita menyulam gercik sungai
menjadi sebatang metafora dalam lekuk gemalai penari gerimis.
Masih asyik berenang pada dekapan riak sungai di keningmu
melupakan suluh yang hampir padam melawan kesiur bayu
atau pun aku hanya ingin menyudahi kenduri zaman ini
entahlah.
Dan aku kembali berpulang menuju sebidang rumah tua di sudut sunyi
melafalkan jejak-jejak tertinggal pada temali di tiang kelam
seusai isak tangis batu tua di pelataran debu membingkai senja kuning
beraroma melati berujung purnama berambut perak
tanpa kusadari sungai di belakangku menjadi seonggok batu.
Harapku, sungai di keningmu terus mengalirkan hikayat-hikayat nirmala
tiada terpanggang bangunan-bangunan congkak
dan generasi mendatang masih bisa bernapas dalam kearifan sungai.  

Martapura, 10 Maret 2016
  
Salim Ma’ruf, seorang lelaki yang pertama kali menyentuh debur angin dunia pada 22 tahun silam. Begitu mengidolakan seorang seniman Si Binatang Jalang yakni Chairil Anwar. Kegiatan sehari-harinya, selain kuliah, juga aktif dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang seni dan budaya yaitu Sanggar Ar-rumi STAID Martapura dan juga Komunitas Road Show Puisi Kalimantan Selatan. Sering mengikuti acara-acara sastra maupun menghadiri pementasan teater.




Sami’an Adib (Jember)

Hikayat Kali Porong

mulanya sebuah kerelaan dari mata air arjuno
menandai ritual cintanya
menuju percumbuan di muara Selat Madura

kenangan terpahat indah di padas gili-gili
ketika kecipak-kecipung tujuh bidadari
mengalunkan serunai asmara di dada setiap laki-laki
seindah pendar matahari melukis pelangi

entah, suatu kebosanan atau keusangan
jutaan purnama mengubah setiap percik kenangan
menjadi dongeng misteri klasik yang sempurna terprasastikan

pada akhirnya kembali pada kerelaan air mata mata air
menampung setiap kesah
mengusung segala kisah:
tentang lumpur yang meletup-letup mengubur jutaan kisah cinta
setelah tak mampu membawa mimpi ke alam nyata
                selain janji-janji yang entah kapan terwujud merata
tentang orok  yang teronggok kaku di kardus lusuh
             setelah gagal menyembunyikan jejak nista ibunya
tentang ribuan lalat yang asyik mencumbui aroma busuk
             dari sisa-sisa peradaban yang katanya sudah lama berjaya
tentang gelepar tarian ikan
             setelah menikmati kelezatan semu
             dari hidangan kebiadaban manusia
tentang keruh wajah para pemancing yang terpancung
             oleh lapar anak istrinya
             setelah gagal menemukan ikan penopang hidupnya
dan tentang resah anak cucu kita
             setelah cuma kegagalan yang kelak kita wariskan

(Tuban-Jember, 2013)

Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Lulus Strata I pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember (Unej).  Pernah memenangkan Juara III lomba mengarang cerpen yang diadakan BEM Fakultas Sastra, Unej. Puisi-puisinya terpublikasikan di beberapa media cetak dan on line. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Buat Gaza (Gempita Biostory, Medan, 2013), Menuju Jalan Cahaya (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013),  Ziarah Batin (Javakarsa Media, Jogjakarta, 2013), Cinta Rindu dan Kematian (Coretan Dinding Kita, Jakarta, 2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (Forum Sastra Surakarta, 2015), Memo untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta, 2015), Kata Cookies pada Musim (Rumah Budaya Kalimasada Blitar, 2015), Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa (Universitas Jember, Jember, 2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (Disbudparpora Kota Banjarbaru-Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, 2015), dan lain-lain. Aktivitas sekarang selain sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember, bergiat juga di Forum Sastra PendalunganSaat ini tinggal di Jalan Imam Bonjol Gg. KUA 38, Lingk. Villa Tegal Besar, Jember, 68132. Pos-El: samianadib@ymail.com. Nomor Ponsel: 081336453539.
Selamat Bakumpai (Kalteng)

Baritoku

Melalui keruhmu yang seluruh,
Kau kabarkan tentang hutan belantara yang dibabat oleh mesin-mesin raksasa yang menggemuruh, memekakkan telinga, mengusir dan membunuh satwa-satwa liar serta membuahkan banjir-banjir yang menyengsarakan.

Melalui tongkang yang merayap ke muara,
Kau kabarkan tentang bumi yang dijungkirbalikkan dengan pongah demi emas hitam yang melimpah untuk menghidupkan industri dan listrik di pulau seberang sementara di tempatmu sendiri lebih sering gulita.

Melalui riakmu yang miskin kecipak dan sambaran ikan,
Kau kabarkan tentang maraknya penyetruman, penggunaan racun serangga dan potas di seluruh aliran sampai ke paling udik dirimu, untuk kemudian mencipta rerintih dari tubuh-tubuh yang telah teracuni.

Melalui sampah dan limbah yang hanyut,
Kau kabarkan tentang penduduk yang sudah menaik taraf pendidikannya namun tak juga sadar bahwa sungai bukanlah tempat pembuangan akhir yang tepat.

Melalui jamban-jamban yang mengapung sepanjang aliranmu,
Kau kabarkan tentang masih adanya orang-orang yang berpikir setengah primitif atau sebagian lainnya lagi menganggap bahwa itu bagian dari rantai makanan dan manusia adalah bagian dari semesta makhluk hidup.

Melalui arusmu yang kian sepi dari perahu dan kapal yang hilir mudik,
Kau kabarkan tentang telah dibangunnya infrastruktur jalan dan jembatan yang membuka segala akses sampai ke kampung terisolir di pedalaman, kemudian lahirlah gadis-gadis dusun dengan bibir berlipstik dan pandai ber-selfie.

Baritoku,
Melalui seluruhmu kau kabarkan bahwa zaman telah berubah.

Muara Lahei, 14 Maret 2016 

Selamat Bakumpai lahir di Muara Lahei (Kalteng) pada 1 Agustus 1972. Berprofesi sebagai guru SMP di kampung halamannya. Karyanya pernah dimuat di antologi puisi Suara Lima Negara dan antologi haiku 1000 Haiku Indonesia. 

  


Selly Rima Octavia (Tanah Bumbu)

Belenggu Arus

Terbelenggu, mencekam yang seakan memikat untuk bertanya
Siapa, dan apa yang terjadi di dalam sana?
Suara gemuruhmu,
seakan terus menderu resah di telingaku
hingga aku terbawa arus ceritamu,
temani sepi yang tiada tara,
temani resah yang tiada henti.
Namun hanya kebisingan yang terdengar,
Hanya keseganan yang mendekat.
Ronamu bagai asam pelengkap lara.

Simpang Empat, 11 maret 2016

Selly Rima Octavia lahir di Simpang Empat pada 7 Desember 1992 silam. Telah menyelesaikan pendidikan S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dua tahun yang lalu. Saat ini tengah bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Simpang Empat. Wanita energik dan periang ini menyukai sastra terutama puisi. Ia sangat suka menulis puisi sejak SMA sebagai konsumsi pribadi. Ibu muda ini memiliki permata hati yang diberi nama Muhammad Alif Rahmatullah. Dapat dihubungi via Pos-el: mutserli45@yahoo.com, fb: Selly Ro Frc, twitter: @Ccochip_frc12, Ig: @Sellyoctavia90, dan line: @sellyro.



Seloe Rheeo Sudarman (Tanah Bumbu)

Sungai yang Kehausan

Mencengkeram laut berharap muara di bibir sungai
Tentang rindu kami, kaulah hamparan tak bertepian
Liuk-liuk wajah membantarkan keruh serupa perih
Tuas malamku bertasbih, hanyut menawan zikrullah
Ceritamu, duhai sungai pelepas dahaga
Membingkai haru dalam arus deras tak terjamah
Akulah anak-anak sungai
Yang lahir dari rahim bumi
Lelah dalam membahasakan arusmu
Yang tak lagi kutemui
Duhai akulah anak-anak sungai
Yang kehausan kala musim hujan membanjiri takdirku
Kularung lapar berbalut doa
Inilah urat-urat bumi yang kaulukai!
Tik tik tik
Peluhmu belum terobati
Duhai sungaiku yang kehausan
Biarlah mengering, dalam ikhlas tak berbatas
Biarlah melapar, dalam lambung yang kekenyangan
Zikirku tak pernah terputus
Memuja dan memujimu; duhai anak-anak sungai

Tanah Bumbu, 11 Maret 2016 

Seloe Rheeo Sudarman mengabdikan hidupnya pada negara sejak tahun 2008 hingga sekarang, sebagai petugas Penyuluh Pertanian Lapangan dan sebagai Penyiar Radio serta kontributor berita. Sebenarnya sangat menyukai puisi, tapi tak pernah punya waktu khusus untuk menyalurkan kegemaran menulis puisinya.
  



Sulchan MS (Kudus)

Sungai Negeriku

Puing ranting di lembah sungai, mengering
Berserak menumpuk menjalar akar-akar tembikar
Walau kering tertimbun terjarah tanah basah
Gembur berlumut bertumbuh rumput

Ruang-ruang menyempit
Tanah-tanah menghimpit
Air meluap tumpah ke parit
Sawah-sawah menadah terjangan air bah

Bilamana musim hujan tiba
Air meluap tanggul-tanggul disulap
Waduk-waduk tersendat, tertimbun sampah bejibun
Sementera air terus melaju, mengalir deras, merongrong tanggul pembatas

Sungai negeriku kini terkotori
Oleh sampah dan endapan sedimentasi
Ulah tangan-tangan arogan berhasrat memiliki
Mengeruk materi mewariskan limbah industri

Berbau, beracun kini sungaiku
Ikan-ikan pergi dan mati setiap waktu
Ke mana lagi sungai negeriku mengadu
Jika manusia tak lagi peduli dan tak lagi mau tahu

Sungai negeriku bersimbah sampah
Tercemar hingga terdengar di negeri sebelah
Berkubang di antara virus bercampur zat mercury
Tertelan, terminum, terkonsumsi setiap hari  

Jangan bilang ini biasa lantas diam menutup mata telinga
Membiarkan sungai negeriku memangsa nyawa-nyawa tak berdosa
Lantas saling hujat saling caci saling tuding sana sini
Tak memberi solusi hingga berakhir mati 

Kudus, 1 Maret 2016

Sulchan MS juga sering dipanggil dengan sebutan Mangir Chan, laki-laki dan lahir di Kudus, 30 Oktober 1987. Tinggal di Jalan Kudus, Purwodadi Km 17, Desa Lambangan, RT 06 RW 01, Kecamatan Undaan, Kabupaten Kudus,  Provinsi Jawa Tengah, Kode Pos 59372.
Mulai belajar menulis puisi sejak tahun 2009 hingga sekarang. Selain kecintaannya dalam menulis puisi ia juga aktif membina dan berkiprah di dunia teater. Saat ini ia dipercaya sebagai manajer sebuah kelompok teater pelajar di Kudus yang bernama teater Pelangi MA Darul Hikam Undaan. Selain itu, juga ikut aktif membina di teater Lingkar Janji Undaan dan Teater Peace Undaan.
Tak hanya menulis puisi, ia juga belajar menulis naskah teater pendek, di antaranya adalah naskah yang berjudul Fragmen Rokok tahun 2015 telah dipentaskan oleh teater Pelangi dan naskah yang berjudul Membaca Tanda “Gus Jakfar” tahun 2016 telah dipentaskan oleh Teater Peace Undaan.
 Menulis puisi dan berteater adalah dua hal yang bisa mengobati rasa hausnya terhadap dunia seni dan melalui karya, ia ingin mencoba membuka dunia. Semoga tidak hanya fantasi dan mimpi belaka.

Silakan klik Daftar Isi untuk membaca bagian-bagian lainnya.

0 comments: