Sunday, September 28, 2025

"Wajar" Adalah Jurus Mengelak Terjitu

Ilustrasi: Pixabay

Hari itu ketika seorang anak mengalami patah leher dan dinyatakan meninggal dunia, banyak orang bereaksi. Hal ini karena kronologinya dinilai tak wajar. Sebab, saat berangkat dari rumah si Mansyah ini dalam kondisi sehat. Tetapi, dia pulang tinggal jasad yang kaku di atas kasur. Ya, sebelum pulang, dirinya mendapatkan pelatihan bela diri di sebuah perguruan yang cukup terkenal. 

Dan, apa kata pihak perguruan itu? 

"Yang meninggal dunia hanya satu orang dari 50 murid di perguruan kami. Itu masih dalam batas wajar."

Seandainya peristiwa di atas adalah nyata, sudah pasti publik dibuat benar-benar geram dan ada laporan di kepolisian terkait hal itu. Betapa tidak? Selain janggal, nyawa dianggap hanya sebatas hitungan matematis belaka atau tidak ada harganya. Lebih khusus tidak ada empati dan evaluasi untuk ke depannya. 

Sebenarnya dalam kaitannya dengan kata "wajar" tersebut, publik di dunia nyata sering dibuat tak habis pikir. Misalnya soal rupiah yang jatuh di hadapan dolar Amerika pada era Presiden Jokowi dulu. Pejabat terkait masa itu mengatakan masih wajar. Begitu pula dengan masalah keracunan siswa setelah menyantap menu MBG era Presiden Prabowo Subianto. Kepala Badan Gizi Nasional menganggap kasus keracunan makanan masih dalam batas wajar. Padahal siswa yang menjadi korbannya sudah banyak. 

Kata wajar menjadi jurus terjitu dalam mengelak reaksi publik. Sekaligus, menjadi pernyataan tak bersalah atas hal buruk yang sudah terjadi tersebut. 

Idealnya, kata wajar dalam kasus-kasus demikian tidak perlu digunakan. Lebih terdengar indah jika diganti dengan kata "maaf" yang diikuti tanggung jawab. Pertanggungjawabannya pun haruslah senyata-nyatanya. Tidak boleh sebatas di mulut saja. 


0 comments: