Wednesday, April 14, 2021

Surat Ayah dari Rantau, Sebuah Cerpen Syafruddin Pernyata


SUNGAI MAHAKAM di waktu malam adalah surga bagi kunang-kunang. Air sungai yang mengalir dari ulu Mahakam tak pernah penat mengantar hilir mudik perahu, kapal motor, speedboat dan ilung bahkan limbah batu bara. Limbah batu bara bagai kolesterol, lemak dalam darah, dengan segala risiko yang bakal ditimbulkannya.

Aku masih duduk termangu di samping jamban yang menjorok ke arah sungai. Hilir mudik ces dan kapal motor memecah keheningan malam setiap kampung di tepi sungai yang dilintasinya. Sesekali terdengar kecipak air dan suara olah yang menyentuh bibir gubang menimbulkan ketukan nada bak ketukan pintu yang lamat terdengar.

Di seberang, kerlap-kerlip lampu menerangi batu bara yang dicurahkan ke dalam tongkang-tongkang milik perusahaan batu bara. Tak pernah henti sepanjang siang dan malam kecuali bila tongkang penuh dan siap ditarik tugboat menuju muara untuk selanjutnya dikapalkan entah kemana. Inilah potret keseharian kampungku: Loa Tebu sejak 30-an tahun yang lalu.

Aku tak pernah tahu, berapa banyak bumi digali dan banyak batu bara yang dibawa ke pulau Jawa bahkan ke luar negeri. Aku orang kampung. Bagiku, memikirkan apa yang akan dimakan esok hari dan minggu depan jauh lebih penting daripada memikirkan ke mana batu bara itu diangkut, berapa duit dari harga penjualan, siapa yang punya, dan siapa-siapa yang dengan gagahnya menjadi sopir alat-alat berat yang selalu mengaum setiap hari bak harimau kelaparan.

"Percuma ayahmu pindah ke Samarinda. Coba pikir, beras beli. Air beli.Minyak tanah beli. Sayur beli. Ikan beli. Di sini, kita bisa menanam padi di gunung dan setiap panen kita makan beras baru yang wangi baunya. Air? Tinggal ambil di sungai. Minyak tanah? Untuk apa? Kayu bisa diambil di hutan atau ngampar di sungai. Dijemur tiga hari sudah bisa digunakan. Sayur, lombok tinggal petik di samping rumah. Ikan? Mau ikan apa? Belida, patin, baung, banyak di sungai. Udang? Labuh jala, kalau hanya empat lima ekor bisa kita dapat. Kadang-kadang udang galah lagi," kata Busu Mudin.

Busu Mudin memang tidak setuju terhadap rencana ayahku yang akan pindah ke kota Samarinda. Bagi ayahku, masa depan keluargaku tidak akan berubah bila tetap tinggal di kampung. Ketrampilan ayahku menyetrika pakaian dan memotong rambut, tukang cukur, bisa menjadi modal untuk bekerja di kota.

Di desa, menurut ayahku, tidak ada orang yang mau mengeluarkan duit hanya untuk mencukur rambutnya. Pun tidak ada orang yang harus mengeluarkan duit untuk ongkos menyetrika baju atau celana. Pakaian dari kain koplin itu cukup ditaruh dibawah tilam semalam juga akan rapi bila diambil esok hari. Kalau kedua ketrampilan yang dimilikinya itu digunakan untuk mencari sesuap nasi di desa itu bagai menggarami air laut, sebuah pekerjaan sia-sia.

Kalau sudah begitu, ayah pun mengatakan maka nasib tidak akan bisa berubah dan kami, anak-anaknya, tidak akan bisa sekolah bila hanya mengandalkan panen padi yang tak seberapa, yang hanya bisa untuk isi perut selama empat bulan. Lantas dua bulannya makan apa? Menanam padi gunung baru bisa dipanen setelah enam bulan. 

Busu Mudin berseberangan pendapat dengan ayah, kakak iparnya. Ia sungkan untuk menyatakan penolakannya terhadap rencana ayah. Ia hanya bersungut-sungut dan menyatakan ketidaksetujuannya kepada kami, tiga orang keponakannya, aku dan dua orang kakakku.

Kami sendiri tidak tahu, mana yang benar, paman atau ayah. Kami masih kecil. Kakakku yang paling besar baru duduk di kelas 4 SD. Yang nomor 2 di kelas 1 dan aku sendiri belum sekolah.

Aku sendiri sukar membayangkan apa yang bakal dihadapi. Di mana kelak kami tinggal. Makan apa? Bukankah ayah tak punya tabungan?

"Ayah akan ke Samarinda besok. Kelak, bila ayah sudah bekerja jadi tukang cukur dan sudah dapat duit, ayah akan kirim ke Loa Tebu setiap minggu. Kalian tetap saja di sini. Ayah berangkat sendiri dulu. Nanti pamanmu mengantar ayah ke kapal selepas isa." Begitu kata ayahku akhirnya mengambil keputusan.

Berat hatiku berpisah dengan ayah malam itu. Kulihat ibuku yang penyabar mengantarkan ayah hingga suara kecipak air dan ketukan olah pada dinding perahu hilang dari pendengaran. Kedua kakakku menangis ingin ikut ayah ke kota tetapi juga ingin tinggal tetap bersama ibu.

Ayah tak mungkin membawa ibu dan kami bertiga karena belum tahu akan tinggal di mana.

"Doakan saja ayahmu sehat dan dapat uang. Ayahmu berjanji akan mengirim uang setiap minggu. Nanti, tunggu saja kapal SBN di dermaga Minggu sore, ayah akan kirim surat dan siapa tahu sudah ada rezekinya", kata ibu menyabarkan kami bertiga yang belum sepenuhnya rela ditinggalkan ayah ke kota.

Samarinda, meski hanya 45 Km dari desa kami, tapi cukup jauh dan memakan waktu setengah hari dengan kapal SBN yang berkekuatan 16 tenaga kuda. Memang hanya itulah alat transportasi menuju Samarinda. Tak ada jalan darat. 

Sejak pukul 1 siang kami sudah duduk-duduk di dermaga. Padahal kami tahu bahwa kapal SBN baru tiba biasanya menjelang Magrib. Terbayang oleh kami akan menerima surat dari ayah dan mengabarkan bahwa ayah sudah dapat duit dari bekerja sebagai tukang cukur dan sudah bisa mendapatkan rumah sewaan.

Ayah memang hanya lulus kelas 3 SR. Tapi ia lancar membaca dan pandai menulis. Buku-buku agama menjadi kesenangannya. Ia biasanya meminjam dari sahabat-sahabatnya di kampung. Ia juga rajin mendengarkan siaran berita RRI setiap malam di rumah tetangga. Setelah warta berita, biasanya ia baru pulang ke rumah.

Kalau ubi yang ditanam di ladang sudah bisa di ambil buahnya, maka ayah harus bermalam di kebun karena khawatir ubi dijarah rombongan babi. Aku masih ingat bagaimana ayah mengajakku tidur di pondok. Aku takut, karena pemandangan indah di sekitar kebun di siang hari berubah menjadi gelap dan menyeramkan di malam hari.

Aku tak kuasa menolak ajakan ayah sebagaimana jika kedua kakakku memperoleh giliran menemani ayah di kebun. Biasanya sebelum tidur aku diajak ayah mengelilingi kebun dengan membawa kentongan bambu.

Mestinya aku senang melakukan tugas itu. Bukankah memukul kentongan itu mengasyikkan? Tidak. Persoalannya bukan memukul kentongan. Persoalannya adalah memukul kentongan di malam hari, yang hanya diterangi oleh obor dan kaki sering tersandung ketika menyisir pagar kebun.

Ayah tenang-tenang saja. Ia menikmati ronda menyisir kebun sebagai sebuah permainan nostalgia ketika ia masa kecil barangkali. Sementara aku gugup dan takut karena jarak pandang hanya dua atau tiga meter sebab hanya sejauh itulah cahaya obor mampu menerangi.

"Nah, itu dia, SBN sudah datang" tiba-tiba kakakku tertua mengarahkan telunjuknya ke ujung tanjung. Sayup-sayup terlihat haluan kapal SBN. Tak terkirakan bagaimana gembiranya perasaanku. Pasti ada kabar ayah. Tak perduli ada kiriman oleh-oleh atau tidak, yang penting ada suratnya dan aku akan mendengarkan baik-baik apa kata ayah dalam surat yang akan dibaca oleh kakak tertuaku.

Awak kapal meloncat ke dermaga. Cekatan sekali padahal badan kapal belum merapat. Dengan tangkas dililitkannya tali kapal hingga kapal itu tak dapat bergerak lagi. Nakhodanya juga cekatan. Ia tahu, jika kapal akan merapat ke dermaga, maka haluan kapal harus mengarah melawan arus air sehingga pergerakan kapal lebih mudah diatur dan kapal tidak babas.

Nakhoda kapal SBN Busu Burhan segera menemui kami. Ia termasuk famili jauh tapi baik pada keluarga kami. Ia menyerahkan sepucuk surat. Ya sepucuk surat dan tanpa lampiran bungkusan. Tapi itu tak penting bagiku. Aku ingin segera tahu apa kabar ayah, dimana dia tidur dan akankah ia bercerita seperti apa rupanya kota Samarinda itu?

Kami segera pulang ke rumah dan di remang senja menjelang Magrib itu, aku dan ibuku, mendengarkan dengan hikmat suara kakakku yang kelas 4 SD itu membaca surat ayah.

Ayah mengabarkan bahwa ia sehat-sehat saja. Selama ini ia menumpang tidur di kios tukang jahit yang ia kenal, hanya 30-an meter dari tempat ia mencukur rambut. Kata ayah, ia diizinkan Pong Amin, pemilik toko cat, untuk menaruh meja tempat ia mencukur di sisi kanan bangunan toko itu. Meja untuk meletakkan alat cukur dan kursi termasuk kursi untuk menunggu jika yang akan bercukur lebih daripada seorang ia buat sendiri dari papan peti bekas. Kayu bekas tempat menaruh mangga yang dikirim dari Pulau Jawa ke Samarinda itu banyak di rumah pak Usman, seorang pedagang mangga. Entah siapa dia, ayah tak menceritakannya secara rinci. Rupanya orang kota itu baik-baik, pikirku.

Sangu ayah yang tak seberapa hasil jual ubi digunakan untuk membeli cermin. Itulah modal ayah. Ayah juga meminta kami bersabar karena belum dapat mengirim uang sebab baru tiga hari menekuni pekerjaan yang sudah lama ditinggalkannya itu. Baru 2 orang, kata ayah, yang bercukur.

"Syukurlah, upahnya bisa ayah gunakan untuk makan selama seminggu. Mudah-mudahan besok-besok kalau orang sudah tahu, yang bercukur banyak dan ayah akan kirimkan sarung untuk kalian bertiga" bunyi surat ayah. 

Aku tak tahan mendengar cerita ayah. Aku menangis. Aku rindu ayah. Aku ingin berada di sampingnya. Aku ingin menemaninya tidur. Aku ingin mendengar cerita-cerita heroiknya ketika ia menjadi nakhoda kapal membawa pasukan merah putih dari Sulawesi ke Pulau Jawa atau sebaliknya. Aku juga ingin mendengar cita-citanya, keinginan besarnya untuk mengubah nasib dan menjadikan kami anak-anak yang cerdas dan sekolah tinggi.

Apakah yang sedang dilakukannya malam ini? Tidurkah ia karena lelah atau ia juga menangis memikirkan kami bertiga dan ibu yang penyabar?

Udara malam semakin menusuk tulang. Tak lagi terdengar perahu ces melintas. Kutinggalkan jamban tempatku termenung, Hanya tinggal seminggu lagi aku bisa duduk nyaman pada malam hari di batang jamban ini. Duduk di batang jamban apalagi pada saat bulan purnama, sangat menyenangkan dan terasa indah dan damai.

Kedua kakakku sudah lelap. Surat ayah masih dalam genggaman kakak tertuaku yang terlelap dalam mimpi-mimpinya. Semua memang sudah tidur, kecuali ibuku yang masih memasang kancing baju kakakku yang tanggal ketika bermain sore tadi.

Tak ada kata lain dari mulut ibu kecuali kata-kata yang memang selalu diucapkannya padaku bila ia melihat aku sudah mengantuk. 

"Bacalah doa. Tidurlah sayang.


Keterangan: 

Ilung: Eceng gondok
Jamban: MCK yang berada di bantaran sungai
Ces: Perahu bermesin
Olah: Dayung
Gubang: Perahu
Tongakang: Ponton
Ngampar: Mengambil kayu yang hanyut di sungai
Labuh: Tebar; menebarkan
Busu: Paman
Babas: Hanyut terbawa arus


Tentang Cerpenis

SYAFRUDDIN PERNYATA, lahir di Loa Tebu, Tenggarong, Kabupaten Kutai (kini Kutai Kartanegara). Ia pernah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Sampe (1978--1999). Sejumlah karyanya pernah diterbitkan dalam buku Merobek Sepi (DKS), Secuil Bulan di Atas Mahakam (DKS), dan lain-lain. 

Karya-karyanya, terutama yang berupa cerpen dimuat di sejumlah media massa, di antaranya di Anita Cemerlang, Ringan, Melati, Puteri Indonesia, Senang, Detektif Romantika, Aneka, dan lain-lain. Ia juga aktif dalam teater, merupakan penggerak utama segala aktivitas bersastra dan berkesenian di Kalimantan Timur. 
--------------------------------------------------------------
Sumber tulisan: Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia 

Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: