Thursday, April 15, 2021

Galuh, Cerpen Kony Fahran


HAMSANI, KONON menurut pengakuannya ke banyak orang, dirinya pernah berkelahi dengan hantu. Lelaki yang mendapat julukan pemberani itu mengajak Ilham dan Juhansyah memasuki alam gaib untuk sebuah pekerjaan yang bakal dilakukan. Mereka bertiga sudah menyalakan dupa kemenyan. Asap dupa mengepul, menyebarkan aroma wangi. Asap dupa itulah yang dimanfaatkan dalam pemanggilan untuk kegaiban yang bakal mereka masuki.

Malam merambat. Gelap mempertegas kehadirannya. Setelah asap dupa yang disebut perapin dianggap merata menyebar di sekitar mereka, api dupa dimatikan. Semua bentuk fisik api dipadamkan sehingga tidak setitik api pun terlihat. Semua gelap, terkecuali sinar bulan yang malam itu tengah purnama penuh. Angin malam itu nyaris tak ada berembus. Ketiga pria berusia rata-rata 40-an tahun itu mulai merafal ajian setelah ketiganya meyakini tidak ada lagi api maupun bara api di perapin. Sebagaimana diajarkan Guru Gani, sang juru kunci turunan ke-70 Pulau Kadap, mereka terus menerus merafalkan mantra.

Pulau Kadap, diyakini oleh mereka sebagai dunia gaib. Orang-orang pintar di Banjar menyebutnya Pulau Kadap orang subalah, artinya orang gaib, jin. Pulau Kadap dimaknai dalam pemahaman sebagian para pendulang intan sebagai tempat gaib para jin.

Para pendulang intan sebelum memulai dulangannya di lokasi Kampung Cempaka maupun lokasi lainnya di Kalimantan Selatan, kebanyakan mengharuskan diri dengan mendahuluinya kebentuk ritual agar dapat memasuki Pulau Kadap, tentu saja dalam bimbingan Guru Gani. Begitu juga yang dilakukan Hamsani dan kedua kawannya.

Pulau Kadap bukanlah dalam arti yang sesungguhnya sebagai sebuah pulau secara fisik, itu hanya semacam istilah untuk menyebut orang subalah berdiam, atau orang gaib bermukim dan orang subalah bisa ditemui untuk minta ditunjukkan lokasi lubang galian dengan harapan bisa menemukan intan yang bakal didulang. Hamsani yang sudah berpengalaman belasan tahun mendulang meyakini ritual itu mesti dilakukan.

"Aku mendengar suara seperti ada makhluk datang," kata Hamsani setengah berbisik seusai merafal mantra kesekian kali ditingkah tipis sisa wangi asap dupa di tengah malam itu. Angin masih seperti tadi, nyaris tak berembus.

"Aku juga," sahut Ilham menimpali, suaranya pelan nyaris tak terdengar.

Juhansyah yang tidak bersuara sejak lafalan mantranya selesai berkali-kali, hanya membisu dan mencoba menyebar pandangan ke segala arah. Ia berharap bisa melihat sesuatu berupa wujud atau apa saja. Tetapi harapannya itu sia-sia. Ia kemudian hanya menajamkan pendengarannya di tengah hutan dalam gelap tepat di jantung malam, pukul 00.00. Sunyi di sekeliling kian meraja.

“Ssett... dengarlah," ujar Hamsani pelan. “Sepertinya ada yang datang...," sambungnya.

Setelah Hamsani berucap begitu. Satu bayangan tiba-tiba melintas. Berkelebat. Cepat. Lalu lenyap seketika. Ketiga orang itu kembali merafal mantra dengan panduan Hamsani. Nadanya memanggil dan memelas. Beberapa detik setelah rafalan selesai, sebuah bayangan lagi-lagi melintas. Kali ini pelan dan menampakkan wujud.

Wujud itu dalam bentuk perempuan setengah tua, rambutnya terurai sebatas pinggang. Kulitnya putih pucat. Kedua matanya memerah. Menyapu pandang kepada ketiga manusia itu. Tak ada yang bersuara. Malam kian sunyi.

“Kami mendengar panggilan kalian. Kini aku datang mewakili. Apakah gerangan maksud memanggil kami?" perempuan yang tak kelihatan kakinya lantaran tertutup kain panjang itu bersuara, tanpa membuka mulut. Suara itu sepertinya datang dari dalam diri ketiga pria, Hamsani dan kedua kawannya.

Setelah suara itu jelas terdengar, wujud perempuan itu dalam penglihatan mereka bertiga seperti mengambang di udara, hanya sejengkal dari tanah. Angin malam tiba-tiba berembus lemah. Tapi, di sekitar tak terdengar suara binatang malam. Senyap. Kesenyapan yang menyergap.

“Kami berharap mendapatkan petunjuk dari pian Galuh, untuk mendapatkan galuh yang disebar pian di siang hari," suara itu terlontar dari mulut Hamsani, pelan tapi jelas, nadanya memohon.

Perempuan itu mengangguk kecil. Lalu berkata, "Galilah, di tengah..., pergilah kalian." Suara itu masih seolah datang dari dalam diri Hamsani. Setelah itu perempuan tersebut menjauh sambil menyisakan beberapa bisikan yang juga seolah muncul dari dalam diri Hamsani.

Hamsani yang sudah kenyang menangguk pengalaman mendulang, dan untuk kedua kalinya memasuki alam subalah Pulau Kadap memahami ucapan wujud perempuan yang sepertinya sudah memberi isyarat mengizinkan untuk menggali. Ia menghela napas lega diikuti oleh kedua temannya yang sama sekali baru kali itu memasuki alam subalah di awal tahun 1989.

***

Tahun 50-an hingga sekarang di Kalimantan Selatan merupakan wilayah pendulangan intan, terutama di daerah Kampung Cempaka yang dulu ada di Kecamatan Cempaka Kabupaten Banjar-Martapura dan kini menjadi wilayah Kota Banjarbaru sekitar 60 kilometer dari Kota Banjarmasin.

Cempaka, hingga kini menjadi lokasi pendulangan intan yang sangat terkenal di dunia. Orang-orang tempo dulu sangat kuat rasa yakinnya untuk memulai mendulang intan mesti didahului ritual macam yang dilakukan Hamsani dan kedua teman. Ritual mengarah ke misteri gaib dan semua ritual itu masih dianut hingga sekarang oleh sebagian para pendulang tradisional.

Untuk mendapatkan semacam wangsit atau menerjemahkan isyarat letak intan di Cempaka, umumnya para pendulang mesti melewati pintu ritual misteri dengan cara menembus alam subalah, Pulau Kadap.

Pulau Kadap, yang ditembus dianggap misteri oleh para pendulang intan. Bagi siapa saja yang kurang siap mental atawa yang kerap disebut lemah bulu, jangan coba-coba memasuki alam subalah, Pulau Kadap, apabila keliru mematuhi tata tertibnya atau kurang syaratnya, bisa kepuhunan atau terkena tulah, hingga sakit berkepanjangan bahkan bisa meninggal dunia lantaran goncangan mental yang luar biasa yang ditimbulkan oleh ketidaksiapan mental. Ditambah lagi orang subalah yang bersedia ditemui di alamnya itu ragam kemunculannya berbeda-beda. Hamsani dan dua teman termasuk beruntung ditemui perempuan setengah tua berambut panjang yang mau berbagi isyarat dengan kelompoknya. Biasanya yang menemui adalah ragam-ragam yang aneh-aneh dan kebanyakan menyeramkan. Ada dalam bentuk manusia bundar tanpa tangan kaki dan tanpa wajah, artinya di bagian muka tidak terlihat ada hidung, mulut dan mata, bagai semangka besar.

Ada pula dalam ragam lelaki bertubuh raksasa, bertaring dan bermata tiga. Ada juga yang sama sekali tidak bisa bertemu lantaran ada yang keliru atawa si penjalan ritual dalam keadaan kotor pikiran.

Setiap orang yang ingin masuk Pulau Kadap mesti melalui bermacam syarat dan ritual yang harus dipatuhi, setelah lulus dan syarat-syaratnya lengkap, maka sang juru kunci yang dipegang orang pintar secara turun-temurun barulah bisa memasuki alam subalah itu. Pada tahun itu, Hamsani dan kawannya melengkapi syarat ritual itu, juru kunci Pulau Kadap dipercayakan kepada Guru Gani.

Setelah mampu menembus Pulau Kadap, para pendulang diharuskan pula bermalam, minimum tiga malam sebelum memulai kegiatan mendulang intan di Cempaka.

Malam itu merupakan malam ketiga Hamsani dan dua teman mencoba melakukan dialog dengan orang subalah. Sebagai pendulang yang ingin mendapatkan wangsit lokasi tanah yang mesti digali dan di dalamnya diyakini terdapat intan. Hamsani dan temannya sudah menyatakan kesiapan mental. Lebih-lebih tiga pria itu memang dikenal pemberani. Pernah Hamsani mendapat upah menunggu sebuah rumah tua kosong yang dinyatakan banyak orang sebagai rumah berhantu. Selama tiga bulan Hamsani seorang diri menunggu rumah tersebut dan ia memang kerap melihat penampakan dalam wujud yang aneh-aneh, tapi Hamsani tak pernah gentar. Apalagi hanya memasuki alam orang subalah, Hamsani betul-betul siap lahir batin. Kesiapan itu tentu saja diuji terlebih dulu oleh juru kunci Guru Gani yang sudah berusia hampir 70 tahun.

***

"Sekarang wasiat atau yang disebut wangsit sudah sepenuhnya kita dapat. Sudah ada petunjuk tanah yang mesti digali besok dan batu-batunya kita angkat," ujar Harsani kepada Ilham dan Juhansyah. Keduanya hanya mengangguk paham.

"Batu-batu yang nanti kita keluarkan dari dalam lubang lalu diangkut ke kubangan air untuk dilinggang, dari situ akan terlihat adanya galuh atau intan yang kita cari," papar Hamsani.

Linggangan yang dimaksud Hamsani berbentuk kerucut, berdiameter antara 30 sampai 50 centimeter. Dengan linggangan itu batu-batu kerikil berbaur pasir dan tanah dilinggang di kubangan air yang mencukupi untuk melinggang. Bila memang nasib baik, dalam linggangan bisa ditemukan galuh berbagai bentuk dan warna.

Hari itu, sepagi buta Hamsani dan kedua teman barunya sudah siap membawa linggangan, sekrup, linggis, dan peralatan lain termasuk perbekalan mengisi perut untuk memulai mendulang. Namun khusus perbekalan makan itu, Hamsani mewanti-wanti temannya dengan serius agar ketika menyebut makan diganti dengan sebutan muat, karena sebutan makan dipendulangan termasuk yang dilarang dikatakan.

Ketika ketiganya sampai ke pendulangan, matahari mulai menampakkan diri di ufuk Timur. Semburat sinarnya menyapu dedaunan karamunting yang banyak tumbuh di lokasi pendulangan, embun yang tadi menempel di daun-daun itu sudah mengering terhisap sinar matahari. Cuaca hari itu cerah, sinar matahari tampaknya bakal cerah sepanjang hari lantaran sepagi itu tampak di angkasa gumpalan-gumpalan awan putih hampir merata terlihat di cakrawala.

"Semoga saja para Galuh yang menyebar intan hari ini menyebarkan butiran-butiran intan dan semoga kita yang menemukannya," kata Hamsani penuh harap yang disahut oleh kedua temannya dengan ucapan amin yang cukup panjang.

Sebelum menggali lubang persis di tengah-tengah lokasi pendulangan Cempaka terlebih dulu Hamsani meletakkan selembar daun talas di atas permukaan tanah sebagaimana diajarkan oleh nenek kakeknya ketika mengawali menggali. Daun talas yang tidak robek dianggap bisa menyedot hawa-hawa intan dari dalam tanah. Setelah itu ia menancapkan linggis di permukaan tanah yang bakal digali menjadi lubang, diikuti kedua teman.

Galuh yang dimaksudkan Hamsani, tentu saja mahkluk gaib dari alam subalah yang disebut-sebut memiliki panggilan Siti Anggani-Putri Hanjani sang penabur intan secara gaib ke dalam lubang-lubang yang digali dan batu-batunya diangkat oleh para pendulang.

Dalam bisikan mahkluk gaib yang tertangkap batin Hamsani malam itu di alam subalah kepadanya ternyata diiringi pula dengan permintaan persyaratan yang harus dipatuhi oleh ketiganya. Antara lain, mereka bertiga selama mendulang tidak dibenarkan menyalakan api, meski hanya untuk api merokok. Galuh si penabur intan tidak suka dengan api. Ini ada kaitan penciptaan mahkluk gaib--jin, makhluk halus yang diciptakan oleh sang Pencipta, terbuat dari api--sehingga tak mau berdekatan dengan wujud api yang dinyalakan manusia. Penjual rokok di lokasi pendulangan dijamin tidak laku, karena secara turun-temurun para pendulang tradisional mewarisi aturan untuk tidak menyalakan api termasuk api rokok.

Selain itu, tidak boleh membawa ayam baik dalam keadaan hidup maupun ayam yang dimasak untuk lauk para pendulang. Para Galuh penghuni alam subalah tidak suka hewan bernama ayam yang dianggap orang subalah menjijikkan.

Persyaratan lain yang dibisikkan, para pendulang apabila menemukan intan tidak boleh kegirangan, misal menari-nari, bernyanyi, bersiul-siul, sangat ditabukan di kawasan pendulangan. Termasuk juga dilarang keras berpakaian tidak sopan bagi pendulang perempuan, berbaju merah bagi laki-laki maupun perempuan termasuk pelanggaran ketika mendulang, karena Galuh menabur intan tak suka warna merah. Tidak terkecuali juga dilarang menunjuk-nunjuk sesuatu dengan jari telunjuk, maupun bertolak pinggang, lantaran berbuat itu dianggap bersikap sombong. Kalau mau menunjuk sesuatu harus dengan jempol atau ibu jari. Ini juga dilakukan agar tidak mendapat penilaian sombong. Orang subalah tak suka dengan kesombongan.

Bersin dalam lubang galian juga sangat ditabukan. Lebih-lebih bertengkar di lokasi pendulangan sangat dilarang, lantaran Galuh si Penabur intan tidak menyukai pertengkaran Perempuan mengalami datang bulan (menstruasi) termasuk ditabrakan masuk ke dalam lubang galian. Begitu juga mengeluarkan angin kentut serta berkata jorok dalam lubang sangat ditabukan, lebih-lebih buang air besar.

Malam itu orang subalah juga mengingatkan kepada kelompok Hamsani tentang pengucapan kata intan ketika menemukan intan sangat dilarang menyebut intan. "Jadi, sepanjang berada di lokasi pendekatan kita tidak boleh  mengucap intan, kata intan mesti diubah menjadi galuh," ujar Hamsani mengingatkan kedua temannya.

"Lalu, apabila kita pendulang menemukan galuh seberapa pun ukuran karatnya, langsung masukkan ke dalam mulut, tapi jangan sampai tertelan, sedangkan yang lainnya mengucap shalawat nabi," tambah Hamsan yang berkali-kali mengingatkan teman-temannya ketika bersiap menuju ke pendulangan.

***

Persis pukul 06.00 pagi, bertiga mulai menggali lubang seukuran tiga tubuh orang dewasa bisa masuk lubang. Di hari yang sama, ratusan pendulang di Cempaka juga sudah mulai melakukan aktivitas profesi sebagai pendulang.

Ada yang yang sudah menggali kedalaman 25 meter sejak beberapa bulan lalu. Kelompok pendulang itu tidak sedikit jumlahnya, ada 50 orang yang terlibat, ada yang bertugas mengangkut batu, ada pula yang menyedot air di dalam lubang yang terus-menerus mengeluarkan air melalui sejumlah mata air dalam lubang. Penyedotannya menggunakan mesin. Pekerjanya, bukan saja orang dewasa, juga anak-anak di bawah umur 18 tahun, bahkan ada banyak anak-anak berusia 10 hingga 15 tahun ikut membantu orang tuanya yang berupaya menemukan galuh. Anak-anak itu tentu saja tidak mempedulikan urusan pendidikan formal. Bahkan banyak pendulang tradisional turun temurun rata-rata tidak tamat pendidikan dasar. Mereka tahunya menggali dan menggali, melinggang dan melinggang, karena hanya itulah keterampilan yang mereka punya.

Ada pun kelompok kecil Hamsani juga terus menggali. Satu meter tergali, batu-batuan mulai menumpuk ke permukaan galian. Dua meter tergali, bebatuan kerikil campur pasir dan menyatu dengan tanah liat juga terangkat ke permukaan. Ketika lubang sudah tergali lebih tiga meter dalamnya, Hamsani memberi komando untuk berhenti menggali. Matahari sudah lebih sepenggalah menjalani berjalanan rutinnya. Itu berarti sudah lebih tiga jam mereka menggali. Bebatuan sudah menumpuk di permukaan galian.

"Sekarang saatnya batu-batu ini kita angkat ke kubangan air untuk dilinggang," ujar Hamsani kepada Ilham dan Juhansyah, yang hanya menurut saja apa yang diperintahkan Hamsani karena di sini Hamsani yang paling berpengalaman. Mereka mulai melinggang yang diajarkan Hamsani. Ternyata cekatan juga Ilham maupun Juhansyah melakukan yang diajarkan Hamsani dalam waktu beberapa menit tadi.

Matahari terus menyengat. Itu pertanda baik bagi pendulang. Hujan dianggap pertanda buruk, selain bisa menambah kedalaman air di dalam lubang yang memiliki mata air cukup deras, juga di tempat tanah lapang terbuka itu tidak menutup kemungkinan bisa tersambar petir. Itulah, ketika hujan para pendulang memilih menghentikan dulangan sambil menunggu hujan reda, berteduh di dataran terendah dan banyak pohon-pohonnya sekalian mendirikan pondok darurat. Tapi hari itu adalah hari dengan matahari menggantang, panas.

***

Sejak tahun 50-an hingga 1990-an ditemukan puluhan butir intan berbagai ukuran dan warna oleh para pendulang tradisional di pendulangan Cempaka, Dalam kurun waktu itu ratusan butir intan ditemukan, namun ada yang tercatat 27 butir intan yang terkenal lantaran dipublikasikan oleh media massa. Intan-intan itu ditemukan dan sempat diumumkan berbagai surat kabar dan majalah di Banjarmasin maupun dari provinsi lainnya di tanah air. Umumnya intan itu berukuran besar hingga ada yang mencapai 300 karat dengan harga jual saat itu triliunan rupiah.

Hamsani sempat bercerita kepada kawan-kawannya, Intan Trisakti yang menghebohkan di tahun 1965 ditemukan oleh para pendulang, ukurannya mencapai 166,75 karat. Para penemu Intan Trisakti itu adalah Madslam bersama 24 orang kawan. Lubang galiannya di Sungai Tiung Kecamatan Cempaka pada 26 Agustus 1965. Berdasarkan versi piagam Intan Trisakti, intan tersebut oleh Menteri Pertambangan RI waktu, Intan Trisakti hendak dijual oleh para penemu, tapi kemudian dipersembahkan kepada Presiden RI Soekarno saat itu.

Berdasarkan pemberitaan Majalah Sarinah Jakarta yang dikoleksi banyak pendulang, mempublikkan bahwa Intan Trisakti yang ditemukan oleh para pendulang tradisional, waktu itu mendapatkan semacam imbalan ongkos naik haji sebanyak 25 orang ditambah keluarga (istri/suami) termasuk para orang tua mereka lengkap dengan uang saku.

Secara keseluruhan balas jasa (imbalan) itu, berdasarkan catatan Tajuddin yang disalin dari media massa nilai balas jasanya di tahun 1965 itu tidak sampai 10 juta rupiah per orang. Konon harga Intan Trisakti menurut taksiran para ahli batu-batu mulia di tahun sulit itu disebut triliunan rupiah. Setelah itu tidak diketahui lagi di mana dan siapa yang mengoleksi Intan Trisakti.

Pada era sekarang ini, para pendulang intan tradisional di Cempaka mulai terkalahkan oleh aktivitas dulangan intan modern yang menggunakan alat-alat besar dan alat berat pertambangan para pemodal besar dan para pekerjanya, umumnya orang-orang pendatang, yang sama sekali tidak peduli dengan ritual-ritual misteri gaib maupun memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang dilakukan Hamsani dan temannya sebagai pendulang tradisional. Tapi kenyataannya, ada saja intan berukuran besar ditemukan oleh pendulang bermodal besar itu, sehingga saat ini pemujaan ritual mulai luntur.

Kini tidak ada lagi ritual Pulau Kadap sebagai pintu masuk memulai dulangan intan di Cempaka dan di lokasi-lokasi lainnya di Kalimantan Selatan. Di atas keluasan lahan kosong beribu-ribu hektare itu, siapa pun tak ada larangan mendulanginya. Tetapi kendati begitu, para pendulang tradisional tetap saja mengadu nasib peruntungan melakukan dulangan dengan cara lama. Caranya Hamsani dan kawan-kawan. Kalau nasib beruntung, tidak menutup kemungkinan mendapatkan intan besar sampai 300 karat atau intan seukuran telor burung puyuh. Menurut cerita Hamsani kepada teman-teman, setiap hari ada saja para pendulang tradisional menemukan intan, begitu juga pendulang modern yang bermodal besar setingkat pengusaha tambang, tetapi ukuran intan temuannya kecil antara 5 hingga 15 karat yang harga jualnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tapi kalau lagi tidak beruntung bisa berbulan-bulan tidak mendapatkan intan, maka para pendulang tradisional mesti ke luar modal terus bahkan sampai terutang beratus-ratus ribu rupiah setiap bulannya.

Sebagaimana kini dialami Hamsani dan kedua kawan barunya itu. Sudah berhari-hari menggali tidak juga sebutir intan pun mereka dapat. Modal terhabiskan sudah sekian ratus ribu bahkan jutaan rupiah.

***

Di hari kelima puluh sembilan. Hamsani dan dua teman masih giatmengumpulkan bebatuan kerikil maupun batu-batu sebesar buah kelapa yang dikeluarkan dari lubang galian didulang mereka. Itu berarti hampir dua bulan sudah pria-pria itu melakukan aktivitasnya di lokasi pendulangan Cempaka.

Hari itu 5 Juli 1989 di tahun Hamsani dan kawannya mendulang di hari kelima puluh sembilan, dikejutkan kabar beredar di lokasi pendulangan ada orang menemukan intan secara tak sengaja di tepi Sungai Rantau Bujur Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Cempaka. Penemu intan 61 karat itu Husaini si Penjala Ikan.

Pagi itu Husaini menjala ikan, melunta di sungai. Lelaki yang gemar datang ke masjid salat berjamaah di kampungnya itu, pagi seperti biasa sehabis salat Subuh, ia melunta ikan, saat menarik lunta atau alat jala ikan, pandangan matanya bertumbukan dengan bebatuan di tepi kali, di sela-sela bebatuan itu ada sebiji batu memantulkan cahaya matahari pagi tepat ke kedua bola mata Husaini. Ketika batu bercahaya yang sedikit melesak ke batu agak rapuh itu dicongkelnya, ternyata batu itu berwarna bening.

Setelah kabar itu menyebar, sepekan kemudian Majalah Liberty Surabaya memberitakan intan bernama Galuh Anugerah temuan Husaini secara tak sengaja itu dibeli oleh pengusaha Surabaya, So Teng seharga 200 juta rupiah. Begitu inti artikel Liberty.

Gemparlah para pendulang Cempaka, maklum pada tahun 1989 itu uang 200 juta sangat bernilai tinggi, karena saat itu ongkos naik haji sebagai patokan kekayaan seseorang di Kalimantan Selatan masih sekitar 4,5 sampai 5 juta rupiah. Tapi kabar menggemparkan itu berlalu dengan cepat di lokasi pendulangan Cempaka lantaran para pendulang terus disibukkan oleh aktivitas mereka, Tidak terkecuali Hamsani dan kawan-kawan yang terus menggali dan belum mendapatkan sebutir intan pun, meski hanya setengah karat maupun sepiat dua piat sebagai sebutan ukuran intan paling kecil.

Di hari selanjutnya dan hari-hari berikut dua teman, Ilham yang dikenal sebagai tukang gali sumur pekerja serabutan di kampung dan Juhansyah bekas Hansip pasar sudah kelelahan luar biasa, bahkan sudah berkali-kali mereka mengutarakan kepada Hamsani untuk menyerah. Tapi Hamsani sebagai kepala kelompok tetap meminta dua temannya itu untuk tidak menyerah dan terus-menerus memberi semangat.

Kini sudah empat bulan mereka berkubang di pendulangan. Lubang yang digali kedalamannya sudah lebih 9 meter, bahkan sudah dibuat lubang baru di samping lubang yang sudah tergali. Hingga kini sudah 4 lubang mereka gali. Hasilnya tetap nihil. Untung saja semua lubang galian mereka tidak ada mata airnya, sehingga lubang itu tetap kering dan itu memudahkan penggalian.

Di hari berikutnya, datang sekelompok orang yang juga memulai aktivitas penggalian berdekatan dengan lubang galian kelompok Hamsani. Di atas tanah luas dan kosong itu, siapa pun bebas mendulang. Terkecuali menggali lubang galian milik orang atau kelompok lain, itu yang tidak dibenarkan.

Kelompok baru berdekatan lubang galian Hamsani, ada tujuh orang, empat pria yang rata-rata berusia di atas 50 tahun dan tiga perempuan setengah tua. Para penggali baru itu, cara bekerjanya santai dan tidak tampak terburu-buru. Ketika tiba waktu salat, mereka semua salat berjamaah. Setiap usai salat, mereka berdoa berjamaah pula. Begitu seterusnya. Cara menggali mereka tidak seperti kelompok Hamsani yang seolah lupa dengan waktu, bahkan ketika memasuki senja, kelompok Hamsani terus menggali, baru berhenti apabila matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat sana.

Setelah hari kesebelas tidak menemukan intan, kelompok baru itu tampaknya menyerah dan berniat pulang di hari kedua belas besoknya. Namun selepas salat Ashar, terdengar shalawat nabi dikumandangkan oleh kelompok itu bersahut-sahutan sebagai pertanda mereka menemukan galuh. Salah satu dari ketujuh orang itu mengulum sebutir intan dalam mulutnya. Pipi si Pengulum intan terlihat membesar, itu pertanda intan yang ada dalam mulut lumayan besar. Sekejap, mendengar shalawat nabi dikumandangkan bersahut-sahutan itu mengundang para pendulang lain berdatangan ingin mengetahui apa yang terjadi. Seorang dari ketujuh orang itu bercerita menemukan galuh menempel disela-sela bebatuan yang sudah diangkat ke permukaan lubang. Galuh intan itu seperti sengaja menunjukkan wujudnya.

Disaat bersamaan, Hamsani terkulai di dalam lubang.

Lelaki itu pingsan, tampaknya kekurangan oksigen selama berjam-jam dalam lubang menguras tenaga. Tapi beda dengan apa yang dirasakan Hamsani, ia merasa wujud perempuan yang malam itu ditemuinya di Pulau Kadap, seperti melambaikan tangan ke arahnya dengan tatapan kosong. Seolah memberi isyarat perpisahan.

Ilham dan Juhansyah sibuk memberi pertolongan kepada Hamsani dan berharap para pendulang lain peduli.

Samarinda, 20/9/11
Buat Tajuddin Noor Ganie


Tentang cerpenis

KONY FAHRAN, kelahiran Banjarmasin. Mulai menulis cerpen dan puisi sejak 1978. Masa
produktif menulis cerpen pada tahun 80-an hingga memasuki 2000-an. Karya tulisnya ada yang dimuat di Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Merdeka, Sinar Pagi (cerber), Pelita, Majalah Panjimas, Majalah Putri Indonesia (cerber-ditulis ketika masih SLTA-STM Bersubsidi Kayu Tangi Banjarmasin), Majalah Hai (puisi pernah diulas Aswendo Atmowiloto) dan lainnya. Selain bergiat di dunia sastra, Kony juga meniti karier bidang jurnalistik sejak 1984. 

-------------------------------------------------------------

Sumber tulisan: Kalimantan Timur dalam Cerpen Indonesia

Sumber ilustrasi: Pixabay


0 comments: